16. My Younger Brother

548 75 9
                                    

Begitu mobil Data terdengar menderu pergi, suara langkah menderap menaiki tangga dengan buru-buru tertangkap telinga gue. Gue melompat dari kasur persis seperti Akiko tiap kali Afrika mendekat, melesat meraih pintu dan berniat menguncinya. Sayang, Afrika lebih dulu mengayun pintu hingga nyaris menabrak hidung kalau gue nggak menjauh sedetik lebih cepat.

Kami saling songsong.

Matanya memelotot kaget kayak nggak pernah sekalipun dalam hidup, gue menghindarinya. Sebelum dia ngomel, gue pasang tampang kesel duluan. Gue tinggalin dia di ambang pintu dan kembali menutup muka dengan bantal.

"Sekali aja ... pernah nggak sih lo belajar ngehargain orang yang mencintai lo, Key?" tanyanya. Terdengar pintu ditutup dan kamar gue pun kembali gelap. Afrika menyalakan lampu. "Di saat gue bergelut dengan susahnya ngadepin kenyataan pisah dari orang yang gue sayang karena nggak ada pilihan, lo malah sia-siain kesempatan untuk bahagia. Jujur, gue bingung. Lo tuh udah tua, bentar lagi juga muka lo keriput. Belum tentu beberapa hari lagi kalau lo berubah pikiran, Data akan tetep mau sama lo. Bisa jadi dia akhirnya sadar selama ini dia udah buang-buang waktu."

Damned it. Suara Afrika terdengar serius. Beberapa kali saat ejekannya terlontar, gue nyaris menyela, tapi nada suaranya bikin gue urung menyambar.

"Gue lagi nggak mau ngomongin itu," kata gue di balik bantal.

Percuma. Dia nggak akan ngerti, orang gue aja kadang nggak ngerti.

Tadinya pacaran sama Data itu enak-enaknya aja yang di kepala gue, karena gue cinta, sayang, dan dia satu-satunya cowok yang bisa bikin gue meneteskan air mata. Jangan anggap enteng itu. Kalau lo baca baik-baik buku pertama, lo pasti tahu betapa susahnya gue menitikkan air mata dan betapa cinta gue pada Data mengubah pandangan gue akan sulitnya meminta dan memberi maaf. Gue pikir itu cukup, ternyata enggak. Rasa takut gue masih lebih besar dari rasa cinta gue ke dia.

Kalau gue ditanya apa yang gue takutkan, jawabannya ada banyak.

Gue masih ingin jadi pacarnya Data, gue masih sayang sama dia, mungkin setelah malam ini berlalu gua akan sangat menyesal dengan keputusan ini. Tapi, Data benar. Keinginannya itu bikin gue tertekan. Lagian dia kenapa sih pengin banget nikah? Kan dia udah pernah sekali, meski bukan dengan tujuan membentuk keluarga, tapi kan udah. Kalau dia berdalih ini bukan soal sudah pernah nikah atau belum, kenapa dia selalu bawa-bawa rencana pernikahan Delta?

Gue sendiri nggak pernah dengar apa alasannya selain terus-menerus menyebut hubungan serius dan udah berapa lama kami pacaran. Apa coba enaknya maksa-maksa gue buat bilang iya, sementara gue belum siap? Kalau ditanya kenapa belum siap, gue juga nggak tahu kenapa pastinya. Apalagi ditanya kapan siap? Memangnya ada angka pasti buat menentukannya? Nanti kalau meleset, dikira PHP, mengingkari janji menikah, terus kena pasal. Kan cowok bisa kena pasal kalau mangkir dari janji nikah, masa perempuan nggak bisa?

Oke, nggak bisa. Gue mengada-ada.

Emangnya dia pikir asyik apa jadiin gue bininya, gue nggak bisa masak dan dia bisa angkat galon sendiri. Nggak kayak mami. Gentengnya juga nggak akan bocor, dia tinggal di apartemen mewah. Anak? Nah ini dia ... gue nggak sanggup ngebayangin punya anak kayak gue, apalagi kayak Afrika. Terus kalau suatu hari terjadi hal-hal yang nggak gue inginkan ... apa gue bisa bertahan sekuat mami? Bagaimana kalau gue nggak bisa jadi orangtua yang baik?

Gimana kalau gue nggak bisa berkorban untuknya?

Gimana kalau suatu hari anak gue gagal dalam hidupnya, apa gue nggak akan merasa berdosa sebagai orang yang bertanggungjawab melahirkannya ke dunia? Seorang anak nggak pernah ingin dilahirkan, mereka lahir karena keputusan dua orang dewasa yang menginginkannya. Gimana kalau ternyata gue ... nggak menginginkannya?

Kenya The Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang