18. The Spark of New Romance

593 75 3
                                    

Beberapa tahun kemudian.

Saat ini gue menjalani kehidupan yang menakjubkan di hutan Semenanjung Kamchatka Rusia bersama harimau dan macan tutul Siberia, menjalani hubungan cinta yang menggairahkan bersama Tarzan yang nggak pernah tahu apa itu institusi pernikahan, jauh dari mami yang makin bawel, dan ingatan gue akan Afrika sudah di-obliviate sama Victor Krum. The End.

I wish.

Oh my God.

Di antara milyaran manusia di dunia ini, gue menangis di depan anak ingusan berwajah hampir semulus Afrika yang berkali-kali berusaha menyentuh pipi gue hanya untuk memastikan gue benar-benar bisa meneteskan air mata. Maksud gue, kami bahkan nyaris nggak saling kenal, kok dia kayak ngeliat mutiara aja jatuh dari mata gue. Seaneh itu emang gue nangis? Kalau dia tahu gue nggak menangis di depan sembarang orang, dia bakal makin gede kepala.

Ya ampun, Kenya, what were you thinking???

Tepatnya, ya, gue sama sekali nggak bisa mikir apa-apa. Tau-tahu pandangan gue buram, lalu pipi gue basah. Tentu saja, air mata gue nggak mengucur deras seperti air mata Afrika, begitu menetes juga langsung menguap kena debu dan dosa, tapi ini benar-benar prestasi yang luar biasa. Sial. Harusnya gue nangis di depan mami, atau Frey supaya dua cewek itu ingat masih ada satu perempuan lagi yang tinggal di dalam rumah, lalu berhenti menahan haus tiap kali isi galon kosong pas gue nggak ada di rumah, atau mulai menyimpan nomor telepon tukang genteng buat jaga-jaga kalau ada atap yang bocor. Kenapa gue mesti nangis di depan manager kemarin sore yang ngotot minta dipanggil bapak setelah sisi maskulinnya terintimidasi hanya gara-gara gue katain habis balik dari Korea, kemudian menimbulkan dendam kesumat berkepanjangan?

"Gue nggak tahu kalian sampai putus." Oh Sehun menundukkan kepala khidmat penuh rasa bersalah.

Gue menjejalkan segigit besar nasi kepal isi tuna mayo buat ngisi perut yang keroncongan. Gila nih perut, sejak ngeliat angka yang tertera di lembar kontrak gue dia jadi manja banget. Apalagi mami sekarang makin sayang ama gue, sarapan dan makan malam selalu bau daging meski kadang daging benerannya cuma seupil.

Oh iya. Terus terang aja, demi menyamarkan rasa malu, gue sengaja diem aja waktu Oh Sehun ngotot semua ini salahnya, sampe rela beliin gue makanan segala. Sebenernya asyik juga sih ngeliat dia ngerasa berdosa gini, tapi kok gue lebih seneng liat mukanya yang ngeselin daripada memble. Ntar deh gue lurusin habis makan. Takutnya kalau mulut gue ngerusak mood-nya lagi, jajanan gue bakal disita.

"Ngomong-ngomong ... gue kayak pernah lihat cowok lo," gumamnya.

Oh palingan dia lihat muka Data di majalah.

"Mirip banget sama seseorang—"

"Siapa?"

Oh Sehun KW ngeliatin muka gue sekilas, tapi lalu geleng-geleng kayak boneka india.

"Well ... first of all, sorry kalau bikin lo kecewa," kata gue, lalu meneguk minuman buat ngedorong sisa nasi yang nyumbat tenggorokan.

Nasinya udah gue telen, kok, gue selalu ingat pesan Afrika. Jangan minum kalau di mulut masih ada makanannya, jorok. Soalnya dia pernah gue sembur dengan mulut penuh kunyahan makanan setelah minum. Salah siapa ngomongin kegiatan seksualnya sama Jamal pas gue lagi makan, itu kan sensitif buat gue. Habis itu dia nggak pernah ngomongin anal seks lagi di meja makan pas mami nggak ada. Kalau mami ada mah dia selalu jadi anak manis, jangankan ngomongin seks, nonton adegan kissing drama korea aja mereka berdua tutup mata sok imut gitu. Halah. Mami juga sama aja, kayak gue nggak tahu bikin anak gimana caranya.

Sambung gue, "Gue putus bukan gara-gara lo kali."

"Serius?"

Gue ngangguk. "Kalau nggak ada lo juga pasti kami tetap putus," desah gue sendu, lalu dengan cekatan bak Michael Jordan, gue berhasil menyarangkan bungkus onigiri ke tempat sampah. "Emang udah jatahnya."

Kenya The Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang