Patah Hati (Lagi)

77 9 0
                                    

Ribuan orang berdesak-desakan memadati Bandara Soekarno-Hatta. Jelas saja ini Masih H+1 libur Lebaran.

Di sini aku dan ribuan orang lainnya sedang berdesak-desakan. Mencoba membelah kerumunan orang-orang dengan membawa koper serta Hand Bag-ku. Dengan muka kusut. Rambut acak-acakan. Perasaan yang campur aduk. Serta perut yang seperti di aduk-aduk. Bagaimana tidak, aku sudah lelah dengan perjalanan serba mendadak ini.

Jam 12 malam memecah keheningan malam menuju Palembang perjalanan lima jam penuh tantangan di pagi buta. Dengan jalan yang Masih banyak berlubang serta tikungan dan tanjakan yang membuat bulu kuduk merinding. Di tambah lagi dengan mataku yang tidak mau di ajak kompromi –Selama perjalanan dari Kabupaten ke Palembang sama sekali tidak tidur. Sesampainya di bandara Sultan Mahmud Badarudin aku langsung membeli tiket. Dan berlari sepanjang gate mengejar waktu karena pesawat sebentar lagi akan take of. Hanya duduk selama kurang lebih 45 menit di pesawat. Tertidur selama dua jam di taksi menuju Apartemen dan bergegas membereskan keperluanku selama dua minggu di bali. Dan tidak lupa aku membawa Atm Card ku. Bergegas kembali ke Bandara Soekarno-Hatta lagi. Karena pesawatku take of jam 11 jangan tanyakan kenapa aku masih bisa mendapatkan tiket pesawat padahal masih dalam suasana lebaran. Aku tidak perduli karena kantor yang menyiapkan semuanya.

Aku mengutuk sejadi-jadinya saat tau Pesawat yang aku tumpangi delay mungkin sampai dua jam. Padahal dari apartemenku, Aku terburu-buru menuju bandara. Di tambah jalanan Jakarta yang macet membuatku hampir gila. Aku terduduk lemas di bangku tunggu bandara. Dengan peluh mengalir di tubuhku. Rambut kusut, Muka lelah dan perut yang sudah berontak minta diisi. karena semenjak tadi belum ada seteguk airpun masuk di tenggorokan-ku, apalagi makanan.

"Hei!" aku mengupat kepada seorang laki-laki dengan ransel besar yang berlari menyeruduk tubuh kecil-ku. Laki-laki itu bahkan tidak menoleh sama sekali. Aku menggerutu dengan sebal.

"Kamu nggak apa-apa?" suara di sampingku.

Aku baru sadar bahwa kini ada dua tangan yang menumpu tubuhku dari belakang supaya tidak jatuh.

"Nggak apa-apa. Makasih ya, Dee." aku tersenyum kepadanya. Dan dia membalas senyumku.

"Yuk," ajaknya menggenggam tanganku.

Ada rasa aneh yang menjalar keseluruh tubuhku. Rasa yang hanya aku miliki sendiri. Aku memandang punggung laki-laki di depanku ini. Laki-laki yang sedang menggandeng tanganku seolah takut aku di culik. Mencium samar-samar wangi parfumnya yang bercampur keringat.

Aku menarik nafas panjang, terasa sesak di dadaku. Ini adalah pertemuan kami yang pertama semenjak tiga bulan lalu dia di tugaskan di Surabaya. Tiga bulan yang terasa panjang bagiku. Tidak ada yang merebut menu makan siangku. Tidak ada yang memarahiku saat aku melakukan kesalahan. Tidak ada ritual saling injak sepatu setiap hari. Tidak ada yang hobby mengacak-acak rambut-ku lagi.

Entah harus senang atau kesal ketika dia menyapaku dengan senyum manisnya saat aku terduduk lemas di kursi tunggu bandara. Meledek dandananku yang saat ini seperti orang gila. Aku yang lemas hanya bisa membalas hinaaanya itu dengan wajah kuyu kurang gizi.

Aku masih shock atas kejadian hari ini. Dengan keadaan tubuh gemetar karena belum makan. Di tambah lagi kemunculannya di depanku secara tiba-tiba. Rasanya aku mau pingsan saja. Aku sudah berharap tidak akan bertemu dia lagi semenjak tiga bulan lalu itu. Aku tidak ingin termehek-mehek lagi mencintai seseorang diam-diam, dan lebih parahnya lagi dia sudah bertunangan.

SHIT!

"Kamu banyak diem sekarang. Masih laper?" Ini percakapan pertama setelah pesawat take of 30 menit yang lalu.

"Nggak, cuma capek aja."

Aku menyandarkan kepala di bangku pesawat. Memalingkan wajahku darinya. Mencoba untuk tidur karena kepalaku sudah sangat berat.

Aku mengutuk sebal saat tau kami duduk berdampingan. Aku bukan tidak suka, aku justru sangat suka. Tapi aku tidak mau membuat perasaanku tumbuh lagi. Dia sudah punya tunangan, Dan aku baru tau setelah tiga bulan kebersamaan kami. Saat dia memberiku undangan pertunangannya. Ini memang bukan salahnya. Tapi ini salahku. Terjebak dalam situasi friend zone atau mungkin bisa di sebut hubungan kakak-adik zone. Menyukai seseorang setelah dua tahun hatiku kosong. Tapi seseorang itu hanya menganggapku sebagai adik yang bisa di ajak hangout, teman curhat, sekaligus teman bertengkar.

Dia sering bercerita apa saja tentang dirinya kepadaku. tapi tertutup tentang statusnya. Pernah beberapa kali aku menyinggung soal statusnya. Tapi tidak pernah menemukan titik terang. Sehingga aku menyimpulkan bahwa dia tidak punya pacar. Tapi kesimpulan itu akhirnya menjadi boomerang untukku.

"Nggak seru ah." rajuknya.

Aku tidak meladeninya dan lebih memilih memejamkan mataku. Dan dia juga sepertinya tau bahwa aku lelah. Sehingga dia hanya diam saja.

Aku menghapus air mataku yang tanpa komando keluar begitu saja. Ada rasa sakit yang aku tahan sendiri saat melihat cincin yang melingkar di jarinya.

Aku masih sangat ingat betapa tampannya penampilan dia tiga bulan lalu. Dengan menggunakan jas hitam. Dasi bergaris-garis. Serta rambut yang rapi. Dan di sampingnya berdiri wanita cantik dengan menggunakan gaun putih. Mereka pasangan yang serasih. Aku bahkan tidak pernah lupa bahwa wajah laki-laki di sebelahku ini sangat bahagia malam itu. Sedangkan aku memasang senyum munafik.

"Ry, udah sampe." Dia menepuk bahuku pelan.

Aku memicingkan mata memaksakan mataku terbuka. Sepertinya aku menangis sampai tertidur sehingga sekarang mataku terasa perih.

"Kamu kenapa, Kok nangis?" Aku melihat matanya yang penuh kekhawatiran.

"Nggak, cuman capek."

Aku berdiri mengambil Hand Bag-ku. Dan melangkah gontai tanpa mengindahkannya sama sekali. Aku lebih banyak diam. Dan ingin cepat-cepat sampai ke Hotel supaya bisa istirahat. Sakit kepala karena jetlag ini benar-benar menyiksa. 

Di dalam taksi menuju hotel pun aku memalingkan wajahku darinya. Berpura-pura melihat pemandangan Bali. Aku memang baru pertama kali ke-Bali. Walaupun mataku seolah melihat pemandangan di sampingku, Tapi pikiranku entah kemana.

***

"Kamu baik-baik aja kan?" Dia menggenggam tanganku saat kami sarapan di Restaurant hotel.

"Kamu banyak diem sekarang." tambahnya

"Nggak apa-apa, cuman capek aja." Aku melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Baru nggak ketemu tiga bulan kamu udah banyak berubah. Kenapa sih?" dia menatapku tajam. Membuatku jengah.

"Apaan sih, nggak ada yang berubah kali aku cuman capek. Itu aja." Aku memalingkan wajahku darinya. Ada rasa sebal menyeruak di hatiku. Kenapa pula dia sok peduli dengan keadaanku.

"Nomer Handphone kamu nggak aktif, Bbm apa lagi. Whatsapp, line semua nggak ada yang bisa di hubungi. Gimana aku nggak mikir kamu berubah coba?" nada suaranya sudah mulai meninggi.

"Come on Dee. Ngapain sih sok peduli gitu. Kamu kan udah punya tunangan. Aku Cuma menjaga jarak supaya tunangan kamu nggak cemburu." Suara ku ikut meninggi. Sekarang semua orang di Resto ini melihat kearah kami.

Great. Kenapa aku paling tidak bisa menjaga emosi ku.

"Apa karena pertunanganku membuat kamu jadi berubah sama aku, Ry? Kamu nggak suka aku tunangan sama Angel?" dia menatapku tajam. Meskipun nada suaranya sudah mulai merendah.

Pertanyaannya membuatku jadi salah tingkah. Seperti maling yang tertangkap kering mencuri.

"Sebentar lagi meeting-nya di mulai." Aku melirik jam tanganku, dan beranjak bangun dari kursiku tanpa menjawab pertanyaanya yang membuatku mual.

Kami berjalan bersisian tapi seperti orang yang tidak saling kenal. Saling diam larut dalam pikiran Masing-Masing. Aku bahkan tidak suka berada di sini. Meskipun itu bersamanya.

-------------------------------------------------------------------------------------------


ada yang lagi di posisi-nya Riani?

Meant To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang