Menerima Perjodohan

41 8 0
                                    


Hidup itu kadang memang tidak bisa di tebak. Hidup punya jalan yang di namakan takdir. Takdir seseorang yang di tentukan oleh yang kuasa yang tidak bisa di tolak ataupun di tawar. Dan mungkin memang takdirku harus seperti ini. Akan menikah dengan orang yang bahkan belum aku cintai dari hati tulusku.

Mamak menjodohkanku dengan sahabat masa kecilku dulu, Alif. Menurut mamak Alif adalah laki-laki yang baik, santun, dan Masih banyak kelebihan lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Dan yang lebih penting aku sudah mengenalnya luar dalam.

Mamak memintaku menikahi Alif karena di usiaku saat ini aku bahkan belum memiliki pacar lagi. Dan tanpa perdebatan panjang ataupun Mamak yang harus meminta ratusan kali. Aku pun langsung menyetujui permintaan Mamak. Karena kata orang dulu pilihan orang tua itu yang terbaik. Aku juga tidak punya alasan untuk menolak perjodohan ini. Karena memang aku sedang sendiri dan aku sedang –patah hati. Mengharapkan Satria juga tidak mungkin karena kini dia sudah menjadi milik orang lain.

Aku masih memandangi pegunungan Teh di hadapanku. Kami melaksanakan pertunangan kami di kota kelahiran Alif. Dulu, Alif sengaja pindah ke kampung di mana aku tinggal karena perkerjaan Ayahnya. Mamak memaksaku cuti segera untuk melaksanakan pertunangan ini. Aku mengelus jari manisku dimana terdapat cincin yang seolah mengikat hati dan tubuhku. Seolah mengingatkan ku bahwa aku kini sudah menjadi milik Alif. Dan aku harus berusaha mencintai dia.

"Lagi ngelamunin apa?" Alif tiba-tiba muncul di sampingku dengan senyuman teduhnya

"Nggak ngelamunin apa-apa. Aku cuman nggak nyangka aja sahabatku sebentar lagi akan menjadi suamiku." Aku tersenyum tipis.

"Kamu tau nggak, Ry? Saat Mamak kamu dan Ibuku memutuskan untuk menjodohkan kita. Aku langsung setuju."

"Kenapa?"

"Karena aku sudah mencintai kamu sejak dulu, Ry." katanya lirih.

Aku spontan menoleh kearah Alif dengan tatapan kaget, heran, tidak menyangka. Hatiku terasa di aduk-aduk.

"Sejak kapan?" aku Masih berusaha menahan gejolak hatiku.

"Sejak dulu. Saat kita Masih jadi sahabat paling dekat di dunia ini." dia tersenyum tulus. Aku menatap matanya.

Air mataku luruh. Aku tau bagaimana rasanya mencintai orang diam-diam. Itu sangat menyakitkan.

"Kenapa nggak bilang dari dulu?" suaraku tercekat di tenggorokan

"Aku takut kamu nggak suka sama aku. Aku takut kamu jadi menjauhi aku. Aku takut kamu jadi membenci aku. Jadi lebih baik aku simpan perasaan ini dalam-dalam. Asal kamu tidak membenci aku, itu cukup." Alif mengelus wajahku dengan gerakan lembut.

"Maaf," hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

Betapa bodohnya aku selama ini. Mengejar seseorang yang bahkan tidak pernah mencintai aku. Tapi di sisi lain ada laki-laki yang menungguku dengan Sabar.

"Kenapa nangis sih, Aku salah ya?"

Aku menggeleng. Tapi tak bisa mengatakan apapun.

"Kamu mau kan kita mulai semuanya dari awal. Sebagai sepasang kekasih?" dia menatapku dengan tatapan memohon.

Aku hanya membalas pertanyaanya dengan senyuman yang sekuat tenaga aku ukir di wajahku.

Aku mengangguk mantap. Alif tersenyum sumringah kemudian membawaku ke dalam pelukanya. Ajari aku aku mencintai kamu Lif. Mungkin memang kamu yang di takdirkan untuk jadi teman hidupku.

***

"Lo nggak pernah bilang kalau selama ini lo punya pacar." Tembak Cinta saat aku baru saja tiba di apartemen bersama Alif.

Meant To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang