Hurting With You

54 6 0
                                    


"Elo keliatan beda sekarang, Ry." Satria memulai pembicaraan setelah kami duduk berhadapan di sebuah warung bakso di pinggiran kota. Tempat dimana kami sering menghabiskan waktu bersama –dulu.

"Biasa aja." jawabku singkat. lebih tepatnya aku sedang menentramkan debaran jantungku.

Satria mengajakku makan malam bersama setelah kemarin kami bertemu di kantorku. Dia ternyata menjadi model iklan majalah fasion di perusahaanku. Aku tidak bisa mengelak saat dia langsung meminta nomor Telephone-ku dan menerorku mengajak bertemu. Entah apa yang menyumbat otakku sampai aku mengatakan akan mengajak Sean juga. Dan betapa aku ingin memecahkan kepala ini saat Satria mengatakan akan mengajak pacarnya juga.

Dasar Tolol.

Bodoh.

Dungu.

Memangnya kamu sudah siap melihat Satria bermesraan dengan pacarnya di depan wajahmu sendiri? Bertemu dengannya saja aku rasanya mau pingsan berbulan-bulan. Apalagi harus melihatnya bersama perempuan lain. Lebih baik aku mati saja.

"Lo selama ini ngilang kemana?" dia menatapku tajam.

Aku sudah tau dia akan bertanya seperti ini. dan aku sudah mengantisipasinya. Tapi tetap saja menatap wajahnya membuatku gelagapan sendiri.

"Ada," aku tersenyum kecut.

"Tapi nggak di Indonesia." lanjutku kemudian.

Seorang pelayan mengantarkan minuman yang kami pesan. Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan mengaduk-aduk minumanku.

"Elo nggak pamit dulu sama gue. Nggak bilang-bilang dulu. Lo tau nggak sih gue tuh nyariin lo kemana-mana." nada bicaranya sudah mulai mengintimidasi. Membuat tubuhku meremang.

"Gue udah mau bilang sebelum berangkat. Gue sempet ke Base Camp. Kata Bobby elo lagi jalan sama cewek lo. Jadi gue nitip salam aja sama dia. Bobby nggak bilang?"

Satria menarik nafas berat.

"Dia bilang. Tapi kenapa elo nggak coba telephone gue?"

"Telephone lo nggak aktif."

"Emang lo nggak bisa nungguin gue dulu sebelum lo pergi?"

"Gue harus berangkat besok paginya, Sat. nggak ada waktu buat nungguin lo." aku berkata datar. Ingin rasanya aku tumpahkan tangisku sekarang juga.

"Karir lo lebih penting dari pada gue?" aku mendongak menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.

"Apa gue juga lebih penting dari pacar-pacar lo itu, Sat?" aku menatapnya tajam. "Dimana lo saat gue butuh lo? Dimana lo saat gue butuh Support dari sahabat terbaik gue?"

Satria diam tapi tatapannya seperti menusuk. Ini yang membuatku belum siap bertemu dengannya lagi.

"Gue minta maaf." dia berkata lirih. Aku hanya menarik nafas berat.

"Kapan gue nggak maafin lo, Sat." aku tersenyum setulus mungkin. Meski hatiku terasa begitu nyeri.

Sean dan pacarnya Satria (aku tidak tau namanya) belum kelihatan batang hidungnya. Padahal kami sudah duduk disini selama lima belas menit. Tetapi kedua mahluk itu belum muncul juga. Aku jadi panik sendiri berduaan dengan Satria begini. Aku takut nanti aku jadi keceplosan memuntahkan isi hatiku yang rasanya ingin aku keluarkan karena sudah terlalu lelah untuk aku simpan sendirian selama bertahun-tahun.

Bagaimana tidak? Di depanku berada seorang laki-laki yang aku cintai mati-matian dan sangat ingin aku lupakan mati-matian juga. Sedang duduk menunduk sambil membaca menu dengan sedikit bersenandung kecil. Dengan wajahnya yang segar rambutnya yang sudah agak panjang tapi rapi dengan kumis tipis yang menghiasi bibirnya yang penuh itu. dan kulitnya yang agak kecoklatan apa ya namanya? Belum bisa di sebut Hitam manis mungkin sawo matang dan.... Macho.

Meant To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang