BAB 10: Ayo Bicara!

42 3 10
                                    

Bila mata mulai bicara,
dusta dan sangkal tak mendapat tempat di sana.

Sesampainya di bandara, Bramantyo bergegas mengangkat sendiri travel bag -nya dan segera ke ruang check in.

Lima belas menit kemudian dia ke luar dan mengajak Kartika ke kafetaria di sudut ruang tunggu. Mereka duduk di salah satu meja di bagian pinggir yang agak privat.

Bramantyo memesan 2 potong beef sandwich dan mixed fruits juice. Kartika memesan tuna sandwich dan lemon tea ice. Pesanan segera siap, lalu mereka makan tanpa banyak bicara.

"Boleh aku merokok?" tanya Bramantyo setelah menghabiskan makanannya. Melihat anggukan Kartika, ia memanggil waitress untuk memesan secangkir coffee O. Kartika hanya minta tambahan air mineral dingin.

Kopi pesanan pria itu datang tepat selesai Bramantyo menyulut dan menghisap rokok filter -nya. Ia menghembuskan asapnya ke arah lain.

"Mas Bram sering merokok?" tanya Kartika ingin tahu sambil membuka segel tutup botol air mineralnya, memasang pipet dan menghirup beberapa teguk.

"Tidak terlalu ... paling dua atau tiga bungkus dalam seminggu. "Biasanya sehabis makan, kalau sedang pusing karena urusan kantor atau pas sedang banyak pikiran. Kau sendiri?" tanyanya, cermat mengawasi Kartika.

"Aku?" tanya balik Kartika, ia menarik napas beberapa detik. Lanjut bicara dengan suara perlahan. "Dulu, waktu di Sidney, beberapa kali iseng dengan teman-teman waktu lagi ngopi di kafe. Di sini tak pernah lagi."

Ia merasa tak perlu menyembunyikan hal itu dari pria ini. Seperti ada 'kebebasan' tersendiri saat bicara dengannya.

"Kenapa?"

"Klise, tidak sehat dan tidak pantas dilihat orang," jawab Kartika tenang.
"Aku harus tahu tempat ..."

"Eyang Sri tahu?" alis Bramantyo naik.

"Kalau beliau tahu hal-hal yang dianggapnya tak pantas tapi pernah kulakukan, sama artinya dengan mengantarnya berpulang lebih cepat," ujar datar Kartika.

Bramantyo tergelak, senang dengan keterbukaan Kartika.

"Pribadimu sering mengejutkan aku," komentar Bramantyo, menghembuskan lagi asap rokoknya.

Kartika menatap Bramantyo tenang, tak berkomentar.

Kini Bramantyo memandang lurus tepat ke bola mata Kartika.

"Sebelum kembali ke Jakarta, aku perlu menyampaikan rasa terima kasihku yang dalam atas segala perhatianmu selama di sini. Kau Nona Rumah yang baik."

Kartika membalas tatapan Bramantyo, agak waspada ..., dalam hati menduga-duga, Bramantyo bermaksud menyindir ironistis atau bicara apa adanya.

"Santai saja, Tika. Jangan menatapku seperti 'musuh'. Aku sama sekali tak berniat jahat padamu," ujar Bramantyo menahan senyum.

"Tiga hari terlalu singkat untuk menilai pribadi orang, Mas. Aku hanya berusaha bersikap semestinya walau tak sesuai harapanku ...," balas Kartika berusaha tetap kalem. "Aku hanya berusaha hati-hati, atau memang ... perlukah aku curiga dan buruk sangka padamu? Atau kau memang pantas kucurigai dan kuburuksangkai?"

KONSPIRASI 5/8  (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang