BAB 16: Pulih karena Kasih

17 2 6
                                    

Perhatian dan kasih yang tulus merupakan pemulih yang mujarab ...

Kartika baru selesai mandi, badannya  segar setelah penat seharian.  Baru saja mengenakan baju rumah, samar-samar didengarnya suara Bramantyo memanggil.

Untuk mempercepat waktu, akhirnya Kartika membuka kunci pintu penghubung ke kamar Bramantyo, dalam beberapa detik ia telah ada di sisi pria itu.

“Sudah bangun, Mas.  Bagaimana perasaanmu?  Mas perlu sesuatu?” tanyanya, tangannya secara otomatis meraba kening Bramantyo.  Ternyata panas badannya sudah mulai turun.

“Aku malah sudah ke kamar mandi dan pakai baju,” sahut Bramantyo sambil berusaha tersenyum. 

Ia menyibakkan selimutnya sedikit. Memperlihatkan dirinya telah pakai t-shirt tipis berleher V warna abu-abu dan celana pendek biru tua yang telah tersedia di lemari. 

Tak peduli dengan wajah Kartika yang tersipu karena spontanitasnya, kini Bramantyo malah memegang tangan Kartika yang masih meraba keningnya, lalu membawanya ke depan mulut, mengecup dan meremasnya lembut.

Jantung Kartika berdegup kencang sehingga bibir dan jemarinya gemetar.
Bramantyo pasti tahu itu, tapi ia tak melepaskan tangannya. 

Sekarang ia malah mengusap-usapkan tangan Kartika perlahan pada pipinya yang sudah mulai ditumbuhi seper sekian mili rambut karena belum bercukur tiga hari ini.

Kartika menahan napas, kulit tangannya merasa sedikit geli, kasar dan tajam.  Rasanya begitu mesra, begitu intim dan mendebarkan.

“Mas Bram makan malam dulu, nanti minum obat lagi ya,” ucap Kartika agak gemetar sambil menarik tangannya secara halus.

“Aku mau, tapi kamu suapi, ya?” pinta Bramantyo.

“Bukannya Mas Bram sudah bisa ganti baju sendiri?  Masa belum bisa pegang sendok?” alis Kartika terangkat.

“Itu sudah tenaga yang terakhir, Tika.  Kau tentu gak tega ‘kan, kalau aku terkapar kelaparan hanya karena kau tak sudi ‘nyuapi aku makan?”

“Kau memang pintar memojokkan orang, Mas,” bibir Kartika merapat, merasa lucu dan gemas.

“Bukannya kau memang suka dipojokkan?” sanggah Bramantyo dengan bahasa mendua, ia menatap wajah Kartika  yang sedikit berubah.

“Kalau Mas Bram mulai ngomong yang enggak-enggak, aku gak mau nyuapi,” Kartika pura-pura mengancam.

“Iya deh, maaf ...   Aku minta tolong ya Den Ayu Tika, please..., ”  Bramantyo mendesah, ia memejamkan mata dan tersenyum.  Meniru mengucapkan nama panggilan Kartika yang sering disebut oleh staf rumah.

Kartika jadi ikut tersenyum, Bramantyo memang pintar mengambil hati.

Untuk ukuran orang yang sedang sakit, makan Bramantyo termasuk banyak. Semua yang dibawakan Yu Parmi di atas nampan, licin tandas. 

Bramantyo bahkan menghabiskan sisa teh jahe merah yang masih setengah gelas kecil dan meminum tablet penurun panasnya yang kedua. 

Ia tersipu karena tanpa dapat ditahan berkali-kali bersendawa dengan suara keras.  

Kartika tidak mengolok-oloknya, gadis itu malah tersenyum lebar dan terlihat lega.

Jam dinding menunjukkan pukul 10.15 malam.

Kartika membetulkan letak selimut Bramantyo. 

Tadi tak sampai satu jam mereka mengobrol hal-hal yang ringan sampai kantuk pria itu datang karena pengaruh obat. 

KONSPIRASI 5/8  (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang