BAB 2: 'Mutiara Terpendam'

40 4 0
                                    

Pertemuan perdana sering tak terlupa sampai selamanya ...

Hari Jumat.
Langit Yogyakarta terlihat cerah dengan sedikit awan.

Tak sampai satu jam, pesawat Boeing 737 Garuda Indonesia Airways yang membawa Bramantyo mengudara telah mendarat di landasan bandara Adisucipto.

Hari masih pagi, jam 08.20 wib.
Bramantyo hanya menyeret trolly sebuah travel bag hitam berukuran medium untuk keperluan menginap selama 3 hari.

Ia mengenakan pantalon hitam dan suede ankle booties warna senada. Melangkah penuh percaya diri, berkemeja krem tanpa dasi dengan luaran blazer casual double breasted warna kopi dari Borgoffiori.

Tanpa perlu menunggu, dilihatnya seorang pria setengah baya ala demonstran menjunjung tinggi sebuah karton berukuran A3 bertuliskan: "Bp. Bramantyo, dari PMU, Jakarta".

"Selamat pagi, anda pasti dari Langgeng Travel. Saya Bramantyo, dari Persada Media Utama," sapa Bramantyo seraya mengulurkan tangan.

"Betul, Pak. Saya Prasojo dari Langgeng Travel, yang bertugas mendampingi Bapak bepergian selama di sini. Selamat datang di Yogyakarta. Mohon maaf, hanya ini bagasi Bapak?" tanya santun pria itu.

"Ya," angguk Bramantyo.

"Mohon berkenan saya bawakan," pintanya penuh hormat.

Walau terlihat kurang setuju, terpaksa Bramantyo membiarkan pria yang tak lagi muda itu mengambil alih travel bag -nya dan memimpinnya menuju tempat parkir. Sebuah Camry hitam yang elegan dan mengilat telah menunggu di tempat teduh.

Bramantyo dibukakan pintu kiri belakang mobil dan dipersilahkan masuk dengan sopan.

"Langsung ke hotel, Pak?" tanya Pak Prasojo kemudian sambil menstarter mobil.

Bramantyo membaca alamat di sebuah memo, dan membuat keputusan,
"Coba langsung ke Desa Tegalrejo, Pak. Ke perusahaan batik bernama Canting Cantik."

"Ooo... ke Canting Cantik, to? Nggeh, tidak sampai empat puluh menit dari sini, Pak. Jalan ke sana juga bagus dan lancar, searah tempat wisata Candi Kalasan."

"Pak Prasojo sudah pernah ke sana?" tanya Bramantyo ingin tahu.

"Beberapa kali, Pak. Perusahaan batik itu di sini cukup terkenal," jawab pria itu dengan aksennya yang kental lalu mulai menjalankan mobil.

Beberapa menit setelah ke luar dari area airport, pengemudi itu membuka obrolan.

"Batik Canting Cantik itu selain terkenal karena motif batiknya yang cantik, juga terkenal karena yang punya perusahaan itu cantik, Pak ...," celoteh Pak Prasojo penuh semangat. Walau mengobrol, ia tetap waspada dan piawai mengendarai mobil.

Bramantyo tertawa dalam hati. Kelihatan sekali pria tua ini ngibul. Almarhumah neneknya sudah tujuh puluh tahun lebih waktu meninggal, mana mungkin bisa dibilang cantik? Yahh ..., tapi mungkin saja beliau terlihat cantik, tapi ... duluuu ... semasa perang kemerdekaan! pikir Bramantyo merasa lucu.

"Anda sudah pernah bertemu? Bukankah beliau meninggal beberapa waktu yang lalu?" tanya Bramanto seraya memperbaiki sikap. Agak salah tingkah saat bertatapan dengan sopir paruh baya itu di kaca spion. Entah kenapa seperti khawatir pria itu tahu pikirannya barusan.

"Oh iya, berarti yang Bapak maksud, Ndoro Sepuh, yang sudah meninggal tiga bulan yang lalu. Tapi yang saya maksud adalah cucunya yang selama ini mengelola perusahaan, Pak. Beliau itu masih muda dan cantik sekali, seperti bintang filem," jelas Pak Prasojo berusaha meyakinkan Bramantyo.

KONSPIRASI 5/8  (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang