-semua orang tidak ingin terluka apalagi kehilangan.
###
Rifa tampak mengerjap-ngerjapkan matanya, tak lama kemudian kedua kelopak itu terbuka sempurna. Ia sedikit meneliti sekitar, tampak berbeda dari kamarnya. Sedetik kemudian helaan nafas pelan terdengar dari bibir mungilnya. Ia sempat lupa bahwa sekarang ia berada di rumahnya, rumah yang sesungguhnya, Indonesia.
Setelah merasa nyawanya telah terkumpul, Rifa membangkitkan dirinya menuju kamar mandi sekedar untuk mencuci muka.
Gadis itu kemudian bergegas menuruni tangga saat indra penciumannya mendeteksi aroma sedap dari sebuah ruangan. Jujur saja saat ini cacing-cacing di perutnya tengah berdemo meminta asupan, dari kemarin ia tak sempat makan apapun selain sebotol air mineral dan dua buah snack saat di pesawat. Kemudian tamparan, dan makian serta pertengkaran dari Amora yang membatnya melupakan rasa laparnya dan berakhir ia tertidur sampai pagi ini.
Membelokan dirinya ke sebuah ruangan yang ia yakini sebagai dapur, gadis itu di kejutkan dengan pelukan tiba-tiba dari seseorang.
"Ayy... akhirnya lo pulang."
"Maaf, gue pergi terlalu lama. Dan gue sangat berterimakasih, karena lo udah ngejaga mereka dengan sangat baik. Makasih buat semuanya, buat tujuh tahun ini, gue terlalu banyak merepotkan lo, entah dengan apa gue harus bales semua kebaikan lo. I'm here now, mulai sekarang lo cuma harus fokus buat Hilsa dan anak kalian. Sisanya biar gue yang urus," balas Rifa membalas pelukan Key yang sekarang menjadi lebih tinggi darinya.
"Lo gak perlu berterima kasih untuk apapun, mereka juga keluarga gue. Udah jadi kewajian gue buat menjaga mereka kan?" ujar Key, pemuda itu memegang erat kedua bahu Rifa, menyiratkan bahwa ia tidak akan membiarkan Rifa pergi lagi.
"Dengan lo pulang aja dan tetap di sini, tinggal bareng kita, itu udah lebih dari cukup buat membayar kepergian lo 7 tahun ini," lanjutnya.
"Dia gak seberarti itu, lo harusnya suruh dia buat pergi lagi, Key. Gue muak liatnya," seloroh Amora yang sedari tadi melihat interaksi antara adik dan adik iparnya itu.
"Mora gak boleh gitu," peringat Hilsa yang mulai menyajika nasi goreng buatannya pada masing-masing piring. Meski ia juga marah dan kesal pada Rifa, tapi aebagi penengah dan orang yang paling waras di antara mereka Hilsa selalu dapat bersikap lebih dewasa.
"Ayo sarapan," ujarnya kemudian.
Rifa dan Key mulai mendudukan dirinya. Tatapan Rifa tertuju pada sosok mungil di depannya yang nampaknya sedari tadi terus memperhatikannya. Gadis itu tersenyum kecil, keponakannya sudah besar,
"Hai," sapa Rifa kecil.
"Hai."
"Boleh aunty antar Arga ke sekolah?" tanya Rifa saat meneliti tampilan Arga yang siap untuk berangkat sekolah.
"Jangan mau, dia cuma mau caper," pungkas Amora. Sungguh berbeda dengan balasan Arga.
"Boleh, tapi izin Mama Papa dulu." bocah itu lantas menatap kedua orang tuanya bergantian, meminta persetujuan.
"Boleh, lagi pula terjamin kamu akan lebih aman di antar sama aunty Rifa dari pada sama aunty Mora," ujar Key yang membuat Amora melotot tak terima.
Baru saja hendak menjawab, Rifa terlebih dahulu mengalihkan pembicaraan. "Ayah mana?"
"Ke kampung," jawab Hilsa singkat, namun mampu membuat Rifa mengernyitkan dahinya.
"Ngapain?"
"Jenguk kakek mu, lagi sakit. Katanya pengen ketemu Ayah."
Rifa tertawa begitu renyah. "Gue kira udah mati, ternyata lagi mau mati. Ribet banget pengen ketemu segala, mati mah mati aja. Percuma inget dosa pas udah sekarat, gak akan bikin luka itu tetiba kaya gak pernah ada. Dan apa lo kata tadi? Kakek gue? Gue gak pernah punya kakek, nenek, uwa, bibi atau apapun itu."
"Lo dan gue yang paling tau gimana sabar dan baiknya bonyok kita. Cuma mereka dan si baik Hilsa yang masih baik-baik aja dan dengan begitu mudahnya maafin mereka setelah apa yang mereka lakuin,'" balas Amora.
"Dan lo tau apa yang lebih parah?" jedanya. "Dua taun setelah kepergian lo, si bego Hilsa ngajakin Ayah buat jengukin mereka dan Ayah setuju gitu aja. Dan yang lebih-lebih parahnya lagi mereka bahkan ngasih uang dan bahan makanan!! Bisa lo bayangin gimana gendoknya gue, gimana emosinya gue saat itu! Kalo Key gak halangin udah gue seret mereka pulang dan ambil kembali uang sama makanan itu!" cerita Amora menggebu-gebu.
BRAK
"Gue ngerti dan gue bisa rasain apa yang lo rasain waktu itu!" seru yang langsung berdiri setelah menggebrak meja. Tentu saja tindakannya itu membuat Key, Hilsa dan juga Arga terjengkit kaget, terkecuali Amora tentunya.
"Harusnya emang lo seret aja mereka, atau lo bakar aja uang sama makannya waktu itu. Lo terlalu nurut sama Key, sih!" ujarnya kemudian.
"Ya gimana gak nurut, dia ngancam gue gak akan ngasih duit belanja." dengus Amora.
Secara bersamaan kedua gadis itu memasang wajah julidnya, jika sudah menyangkut keluarga neneknya mereka akan sangat-sangat kompak. Rasa kecewa dan sakit hati atas ketidak adilan yang di alami keluarganya membuat kedua gadis itu menjadi sama-sama keras dan memiliki dendam yang begitu membara. Sangat berbeda dengan sifat Hilsa dan kedua orang tuanya yang lebih cenderung pemaaf dan lembut.
###
"Arga sekarang kelas berapa?" tanya Rifa memecah keheningan di dalam mobil itu.
"Kelas satu."
Rifa mengangguk mengerti. "BTW, kita belum kenalan ya... aku Rifa a-"
"Aunty Rifa, adiknya Mama dan aunty Mora, temen deket Papa juga," potonng Arga dengan mata yang fokus melihat keluar jendela.
Rifa menatap sekilas pada keponakan nya itu. "Kamu tau? Aku kira Hilsa gak ngasih tau soal aku ke kamu."
"Gimana aku gak tau sama orang yang udah mengbikin Mama nangis setiap hari, bahkan buat Papa sama Aunty Mora selalu sedih dan melamun. Dan yang selalu ngebuat Kakek gak bisa tidur sambil menatap fotonya," balas Arga yang kini memandang penuh pada Rifa, dan justru membuat gadis itu tak berkutik karena ucapannya.
Rifa berusaha untuk menampilkan senyumnya meski terlihat sangat kaku. "Hahaha, kamu tau dari mana kalo mereka sedih-"
"Meski aku masih kecil dan mereka gak pernah bilang apapun tentang aunty, selain aunty adalah aunty aku yang hebat, yang bisa berkuliah di luar negeri dengan beasiswa karena kepintaran aunty. Tapi aku paham apa yang sedang terjadi, ternyata kepintaran aunty menurun ke aku hingga hanya dengan mengamati kebiasaan Mama, Papa, aunty Mora, dan Kakek, dan menyimak setiap ucapan mereka tentang aunty, seolah puzzle yang berhasil aku gabungin, akhirnya aku bisa nyimpulin semuanya. Ternyata kuliah cuma kedok yang aunty jadiin alesan buat pergi ninggalin kami," papar Arga dengan gamblang. Dan sekali lagi ucapannya membuat Rifa tak berkutik.
Sudut bibir Rifa tertarik miris. "Alesan aku buat pergi? Ya aku gak munafik dari dulu aku memang ingin pergi, sangat-sangat ingin pergi dari lukaku waktu itu. Dan aku ga bisa nyia-nyiain kesempatan untuk pergi dengan alasan beasiswa itu yang sebenernya aku sangat berusaha keras buat dapetinnya. Terkadang egois itu harus, sebagai salah satu bentuk mencintai diri sendiri agar tidak selalu merasa sakit dan kecewa."
"Aku gak ngerti bagaimana jalan pikiran kalian sebagai orang dewasa, menyembuhkan satu luka dengan melukai yang lainnya."
"Mereka gak seharusnya merasakan luka itu.'
"Itu yang harusnya dulu aunty katakan pada diri aunty sendiri, saat dulu aunty merasa terluka. Apa aunty bisa? Enggakan. Karena perasaan itu gak bisa di kendalikan, andai bisa memilih semua orang tidak ingin terluka apalagi kehilangan."
***TBC
HEEYOWW APA KABAR PEMBACA KESAYANGAN RIFA?? BAGAIMANA PART INI? MASIH MAU LANJUT WALAU UP NYA LAMA??
Salam sayang dari Rifa buat kalian yang setia dan sabar sama ini cerita;3
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Yang Belum Usai
Teen FictionSeason 2 Look At Me ••• 7 tahun hidup jauh dari keluarga dan teman-temannya, apakah telah membuat luka di hati Rifa, sembuh sepenuhnya? Setelah janjinya pada mereka tidak pernah ia tepati. Janji untuk segera kembali, janji untuk saling mengunjungi...