5. BUKAN UNTUKKU

0 0 0
                                    

Renjana duduk di bangku kereta paling sepi, ia memeluk buku catatan yang selalu dibawa kemanapun. Tatapannya memandang hamparan laut sawah dari dalam kereta. Renjana termangu dengan pikirannya.

[Renjana]

Beberapa bulan yang lalu sebelum semuanya jelas, satu per satu firasat berdatangan. Bagiku mendapat bukti pesan lewat perantara firasat lebih sakit daripada harus melihatnya langsung. Aku masih ingat.

"Astaga Renjana, jangan suka main menghilang gini! Kak Giri khawatir tuh di Rumah." Ia berjalan menghampiri diriku dengan wajah penuh kepanikan.

Kepalaku menoleh sebentar tanpa menggubris omongannya barusan. Kemudian ia turut memposisikan duduk tepat di samping diriku.

"Lihat itu." Sambil mataku menunjuk kearah dua anak kecil yang sedang menikmati es krim diatas ayunan.

"Iya, seperti biasa kamu yang traktir," ia mengikuti arah pandanganku.

"Sudah, pulang yuk." Sambungnya kemudian.

Hening cukup lama, hanya terdengar kebisingan sekitaran. Amel paham dengan kondisiku, ia tidak akan memaksa jika aku tengah melakukan tingkah laku yang lepas kendali ini. Dia akan memberiku ruang dan menunggu.

"Dia." Akhirnya aku membuka suara lagi.

"Jumantara tak akan datang. Aku dengar, hari ini dia pergi dengan teman-temannya." Amel cepat paham siapa yang sedang aku bicarakan.

"Aku sudah tahu, dia memberitahuku kemarin." Bersamaan aku menoleh kearah Amel.

"Selamat bertambah usia untuk sahabatku, tetap menjadi Renjana yang kuat. Semangat, kamu pasti sembuh." Amel langsung memelukku begitu erat ditengah rimbunnya pepohonan taman kota. Untuk mengantisipasi, ia meredam emosiku dengan pelukan.

"Jumantara tidak sungguh denganmu Renjana. Jika benar-benar sungguh, dia pasti menemui kamu. Jangan terlalu keras pada perasaanmu sendiri." Ia berbisik agar aku cepat sadar.

"Aku pikir kamu akan ingat dengan hari ini. Tidak apa-apa walaupun hanya ucapan singkat darimu. Ternyata aku salah besar." Batinku masih berharap.

Mataku terpejam menikmati pelukan hangat dari seorang sahabat. Disisi lain, tanganku menggenggam sangat erat buku catatan. Halaman terakhir telah terisi.

Merasakan keruntuhan untuk kesekian kalinya dan lagi-lagi saya harus kalah lalu memilih beranjak.

Kamu dan saya sama-sama tumbuh.

Kamu dan saya berjalan beriringan.

Namun, lebih baiknya kita berjalan pada arah yang berlainan saja.

Sebab firasat ku berkata bahwa, kamu telah menemukan tambatan hati yang kamu pilih sebulan yang lalu atau mungkin lebih. Jika itu memang benar adanya, saya akan mengucapkan selamat paling akhir.

Teruslah menggapai mimpimu dan bahagia selalu. Ingatlah diriku walaupun hanya sekejap mata. Saya segera menghilang, tapi jika kamu terkadang butuh, saya masih ada. Saya selalu ada didalam setiap jejak kalimat-kalimat baik yang pernah saya tinggalkan selama kita beriringan pada waktu kemarin.

Pahami bahwa kita tidak akan pernah kembali. Hingga waktu mengijinkan kita untuk bertegur sapa kembali dan disaat saya telah lebih membaik.

Terima kasih telah saling bercerita singkat dalam durasi yang cukup lama dan maaf pada akhirnya saya yang kalah. Satu lagi, maaf karena saya belum pantas untuk dibanggakan menjadi perempuan yang kamu inginkan selama ini.

Saya menyayangimu dengan perasaan begitu tulus. Bukan keinginan saya begini, namun waktu memukul saya untuk mundur agar saya tetap selamat.

Sebab saya tidak terlalu sabar seperti ibu, maaf untuk itu.

Jumantara, sikapmu begitu mudah untuk saya tebak. Saya menulis catatan ini di bulan istimewa dan kelak kamu akan membaca tulisan ini.

Di tempat yang berbeda, Jumantara sedang asik dengan dunianya. Benar sekali, ia bersenang sorai bersama teman-temannya saat itu. Dia lihai meyakinkan diriku bersama kebohongannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DARK ON INSIDE OF YELLOW LIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang