01. Penjara kematian

52 2 0
                                    

Setelah golok itu melayang dan membentur bagian tubuhku, detik itu juga pandanganku gelap dan jiwaku seolah melayang.

Golok Ignor yang mampu memutuskan kematian vampir yang di lahirkan abadi itu sudah menyambar tubuhku. Rasa panas dan nyeri membuat tubuh bagian dalamku hancur.

Apakah hidupku sudah berakhir? Keabadian sebagai salah satu penghisap darah pun tiada lagi. Tiada kehidupan selanjutnya, tiada yang namanya reinkarnasi ketika dihakimi dengan cara eksekusi.

Malangnya bagi kaum vampir ketika dirinya sudah mencapai titik kematian, vampir tak tahu akan menuju kemana. Tiada penghakiman, dan penimbangan dosa. Hanya mampu berjalan lurus dan termenung, merenungkan dirinya sendiri kenapa dilahirkan menjadi sesosok vampir bukan manusia.

Bahkan malaikat maut yang ditugaskan untuk mengantarkan manusia untuk mendapatkan penghakiman di alam baka pun menolak untuk menemani para vampir.

Apalagi khususnya vampir Clerrous dimana darah murni mengalir di setiap bagian tubuhnya, bahwa tidak ada sisi kemanusiaan yang masih melekat di dalam tubuhnya melainkan hanya tersisa sang iblis manusia yang gila darah.

"Aku hanya seorang gadis yang hanya ingin merasakan bagaimana cinta. Tapi naasnya cinta yang besar membuat diriku menuju kematian."

Seperti mimpi ketika aku duduk di gelapnya alam baka dengan sendiri. Sepi dan hening, bahkan suara seranggapun menolak untuk menemani sesosok gadis vampir yang sedang nelangsa.

"Aku sudah mati, aku benar-benar mati. Mati dari segala kehidupan duniawi untuk selama-lamanya. Tidak ada kelahiran lagi untuk kehidupan selanjutnya hanya ada kehidupan hampa dan gelap di sini yang akan kujalani untuk ke depannya."

"Asteria Theodora."

Suara yang kukenal memanggilku. Suara itu dan goloknya yang menentukan takdirku.

Aku meneliti dengan sangat frustrasi. Lantas dari mana sumber suara itu berasal? Yang ada hanya ada kabut hitam mengelilingiku saat ini.

"Apakah itu kau?" Aku bertanya memastikan bahwa itu bukan halusinasi.

Sang gadis vampir yang masih berharap akan kebangkitannya itu terus mencari sumber suara dengan resah.

"Ria, ikuti cahaya itu!" katanya.

Suaranya terdengar samar di dalam kabut hitam yang sudah menghilang, lalu diganti dengan kabut cahaya putih yang bersinar menyilaukan.

Aku dengan cepat mengikuti perintahnya, berjalan lurus memasuki cahaya itu. Namun ketika tubuhku menyentuh cahaya itu yang kudapatkan justru respon buruk, tubuhku merasakan sakit yang teramat dahsyat.

Seperti sel-sel peredaran darah diputuskan, seperti semua bagian organ dalam diambil paksa, seperti ribuan pasak menghujami jantung,  seperti jari-jari kaki dan tangan dipatahkan secara bersamaan.

Nampaknya aku merasakan kematian kedua kali, tapi ini justru lebih sakit dari golok Ignor yang menebas leherku.

"Hiraukan sakitnya Ria, sebentar lagi. Sebentar lagi kau bebas!" teriaknya menyemangatiku yang entah di mana dia sekarang. Memberitahuku untuk menahan kesakitan yang diberi cahaya itu pada tubuhku.

"I-iya," lirihku.

Aku terus melangkah memasuki cahaya itu dengan sekuat tenaga, menahan semua rasa sakit pada sekujur tubuhku.

Tiba-tiba tubuhku terseret seperti magnet dan mataku melihat bahwa sebentar lagi menuju pada titik pusat ujung cahaya itu. Namun akan tetapi  ditengah perjalanan pertahananku runtuh ketika gelembung besar melintas ke arahku lalu melahap tubuhku.

Kematian vampir hanya satu kali dan kematiannya hanya bisa disebabkan satu faktor yaitu; mati dibunuh oleh sang master vampir yang memiliki kedudukan tinggi yang terlahir dari Pureblood. Contohnya Ignor raja dari kerajaan Theodara dan raja dari kerajaan lainnya yang memiliki darah pureblood.

Aku terlonjak dengan melebarkan mataku, arwahku seperi dimasukkan kembali pada inangnya. Bagaikan benturan keras dari guntur membuatku sangat terkejut.

"Ria!"

Arcanda pamanku tersenyum. Setetes air mengering di bawah kelopak matanya.

Aku menatapnya dengan bingung, sebab bukankah aku sudah mati? Tapi kenapa sekarang aku melihat Arcanda yang masih hidup? Dan gelembung besar itu apakah yang membawaku kembali ke dunia?

"Paman bagaiamana mungkin aku hidup kembali?" Aku langsung menghujaminya dengan pertanyaan inti.

"Minumlah dulu, kamu butuh banyak intisari."

Dia menyodorkanku segentong darah manusia yang sangat segar. Karena rasa haus dan tenggorokanku serak aku tak menolaknnya mengambilnya untuk segera kuminum.

Setetes demi setetes darah yang mengalir pada tenggorakan mampu membuat energiku kembali. Kesakitan pada tubuhku mendadak hilang terganti dengan memar yang muncul disetiap bagian tubuhku.

Meletakkan kembali gentong yang sudah kosong itu, duduk berhadapan dengan menyilangkan kaki menatap Arcanda.

"Kenapa aku bisa selamat dari golok ayah yang beracun? Dan kenapa kepalaku masih utuh?"

Usapan penuh kasih sayang membuatku menghangat. "Kau pikir paman tega membunuhmu?" katanya pelan.

Aku menatapnya tak percaya seraya meraba leherku. Dan sekarang aku paham bahwa kejadian eksekusi itu, Arcanda tak memenggal kepalaku melainkan menggoresnya saja hingga sayatan itu membekas panjang pada leherku.

"Tapi, aku sudah berada di alam baka dan aku merasakan kematian."

Dia menggeleng, tatapannya sangat tulus seperti seorang ayah. "Itu hanyalah efek dari golok raja Ignor sehingga membuat dirimu terpenjara dalam pikiranmu sendiri," jelasnya.

Jika efek tergores saja seperti merasakan kematian dan bahkan terkurung dalam pikrian diri sendiri, bagaimana jika golok itu menebas kepala yang justru sudah tak diragukan lagi karena kematian sudah jelas.

"Semua vampir yang mendapatkan hukuman dari raja Theodora akan di siksa melalui pikiran dan raja Ignor  menyebutnya adalah Penjara Kematian."

Aku mengerti apa yang terjadi pada diriku sekarang, tubuhku masih utuh namun jiwa dan pikiranku tersiksa olehku sendiri.

Ayah pandai sekali dalam membuat hukuman. Bukan secara langsung melainkan lewat batin dan pikiran.

Victor. Apakah kekasihku dia merasakan dua kali lipat kesakitan yang benar-benar teramat sakit. Apakah dia juga terpenjara sementara di pikirannya sendiri sebelum dipindahkan ke alam baka.

Aku memejamkan mataku ikut merasakan kesakitan, kesepian dan kegelisahan darinya.

Oh tidak, Aku sangat merindukannya.

"Bergegaslah pergi sebelum ada yang mengetahui keberadaanmu," ujar Arcandan menyadarkanku.

"Aku tak tahu harus kemana paman," jawabku jujur.

"Bersembunyilah sementara di wilayah Esco karena di sana satu-satunya kerajaan yang aman untukmu sebagai tempat persembunyian."

De EscoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang