06. Persetujuan

33 1 0
                                    

Mata gelapnya menusuk ke dalam tatapanku di bawah sinar rembulan yang menyorot dari sela ventilasi jendela.

"Baiklah," katanya menyetujui apa yang aku minta sebagai syarat jika ingin terikatnya antara kita berdua.

"Bagaimana jika raja Christopher tahu siapa diriku?" aku berkata dengan keresahan. Memaksanya untuk kembali berpikir.

Ada sedikit ketakutan di matanya walau hanya sekilas setelah menatapku sebentar kemudian berpaling.

Walau bagaimana pun tetap saja yang berkuasa sepenuhnya atas Esco ialah raja Christopher, Xerxes hanya menjadi pewaris selanjutnya tapi upacara itu belum dilangsungkan membuat dirinya tak berhak sepenuhnya atas kerajaan Esco.

"Kau tak usah khawatir akan kuurus semuanya," terangnya. "Dan apa kau yakin tentang rahasia di kapal Auntinum?"

Mengingat kembali tragedi di dalam kapal membuatku kembali serius untuk segera menjelaskan apa yang aku ketahui di sana. Aku ingin membebaskan para manusia yang tak berdosa itu dengan mengadu pada tuan muda Xerxes yang katanya tidak menyukai adanya perbudakan.

Aku mengangguk yakin. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa mereka memperbudak manusia dengan cara tragis menguras darahnya dan menyiksanya."

Dia memejamkan matanya membawa perkataanku pada pikirannya. Seolah merasakan bagaimana nelangsanya para manusia yang diperbudak pada kaum vampir.

"Kau pemimpin selanjutnya apa kau tak mengetahui tentang masalah besar ini? Apa yang kau lakukan selama menjadi tuan muda, apa kau sibuk berdiam diri di kamar layaknya batu?" sarkasku. Sengaja menyindir di depan mata agar dia tahu bahwa negerinya butuh kepemimpinan dengan status bersih.

Ucapanku membuat dirinya tak suka dia sudah menatapku nyalang ingin segera menerkam.

"Diam jika tak tahu apa-apa tentangku putri Theodora yang malang dan bukankah seharusnya kau yang harus mendapatkan wejangan? Tak mengikuti aturan yang dibuat kerajaan lebih memilih berlari bersama kekasih lumpurmu itu?"

Aku tertohok dengan balasan darinya, sejauh mana dia mengetahui sepenuhnya tentang diriku?

"Wah... Rupanya kau juga suka mendengarkan gosip ya?" aku terkekeh kecil.

"Apakah semua yang kau lakukan hanya sekedar gosip? Jika benar, mengapa kau bisa di sini?" elaknya seraya menyengir kemenangan ketika aku terdiam menatapnya kesal.

Jika saja bukan disaat situasi seperti ini yang dimana aku lebih membutuhkannya mungkin sudah kutarik dirinya ke Medan perang. Namun, aku sadar bahwa dia saat ini adalah satu-satunya harapanku mau tak mau hanya meredam amarahku.

"Bagus... Setidaknya kau sadar dengan siapa kau berhadapan."

Aku memalingkan wajah dengan menancapkan taringku ke dalam gusi memaksanya untuk tidak ditampilkan pada tuan muda menyebalkan itu.

"Sepertinya kau butuh istirahat dan membersihkan diri." Dia mengamatiku dari atas sampai bawah.

"Aku tahu tapi tidak usah menatapku dengan berlebihan seperti itu," hardikku tak suka. Seolah aku seperti sampah dia menatapku dengan tatapan jijik seperti itu.

Dia berjalan mengabaikanku, kaki jenjangnya berirama di gelapnya lorong.

"Jika kau terus berdiri di situ, mungkin pengawal akan membawamu Putri Theodora." Dia berkata mengingatkanku, suaranya bergema di lorong.

Dengan gerakan cepat aku menyusulnya, tidak tahu dia membawaku ke mana yang kulakukan hanya bisa mengekornya dari belakang.

Dia berbelok ke kanan, berhenti tepat di depan sebuah pintu hitam besar. Membalikkan badannya menyuruhku untuk masuk dengan ekor matanya.

Pertanda bahaya, secara refleks aku menutupi badanku dengan menyilangkan tangan pada dadaku dengan erat. Memberinya tatapan geram, apa ini syarat terakhirnya? Bermalam bersama dirinya? Tidak dipungkiri ternyata tuan muda Esco pria yang mesum.

Dia mencebikkan bibirnya. "Melihat gelagatmu seperti itu membuatku berasumsi untuk menghabisi mu malam ini!"

Aku kembali bersikap normal tersenyum tipis tak enak padanya. "Tapi kenapa kau menyuruhku untuk masuk?" tanyaku berterus terang.

"Aku menyuruhmu masuk karena aku memiliki rasa simpati! Membiarkan tamu untuk istirahat!"

Aku mengangguk paham lalu melangkah melewatinya menuju pintu yang sudah terbuka itu.

"Dan bersihkan dirimu itu yang seperti panci gosong!"

Aku kembali tertohok, tapi kali ini aku lebih memilih mengabaikannya dengan menutup pintu itu secara kasar hingga menimbulkan suara dentuman dari pintu kayu itu.

Melihat ruangan kamar dengan tatapan meneliti, satu ranjang besi di pojok kanan, satu meja rias di sampingnya dan barang-barang hiasan kamar

De EscoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang