✴️ 3 : Hadiah Sang Ratu - 9 ✴️

37 3 0
                                    

Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.

Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.

“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”

“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”

Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”

“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali, Levi tidak tahu.”

“Bukannya tidak tahu,” sanggahku. “Aku hanya mengira jika kami akan menghabiskan sisa hidup di bumi.”

“Tapi, sepertinya langit juga menarik,” sahut Elya. “Ada penghuni lain di sana? Kehidupan sana? Bagaimana kalau mandi di sana? Kalian juga punya kolam berenang?”

Aku tidak sanggup menjawab pertanyaan bertubi-tubi darinya, terlebih akan hal yang bahkan tidak kuingat sama sekali. Hanya matanya berkilau menatapku, tampak semangat bertanya.

Frederic tersenyum. “Kehidupan sana berbeda, kamu mungkin memilih untuk menetap.”

Alis Elya terangkat sebelah, wajahnya sedikit cemberut. “Itu tidak menjawab, apa memangnya?” Dia bertanya lagi. “Dan oh, jangan lupa pertanyaan penting ini, apa kalian ada rencana membangun peradaban baru?”

Ingin sekali aku tanggapi dengan pertanyaan balik, kenapa dia juga ingin tahu. Namun, selama ini aku belum pernah berpikir akan hidup kembali di sana bersama para Guardian, sementara tubuhku lahir kembali di dunia yang jelas berbeda. Mereka pun tampak tidak beda jauh dari penghuni tanah ini, apa penduduk Shan berbeda rupanya? Lantas, mengapa di mimpi semua tampak serupa?

“Mana ada begitu!” Suara Robert membuatku refleks mundur saking kagetnya. “Kami hanya ingin pulang, itu saja.” Rupanya dia berdiri tepat di belakangku.

Frederic mengelus pelan rambut Elya. “Dia hanya ingin tahu, lagipula orang tuanya juga dulu tinggal di sana.” Gadis itu menahan tangan Frederic yang mengelus rambutnya, tidak senang dibelai.

Pandangan Robert beralih pada Elya dengan tajam. “Kau tidak perlu tahu, keluargamu lebih pantas tinggal di sini.”

Frederic berdehem, menegurnya. Tatapan tajam Robert beralih padanua, meski kemudian melunak begitu dibalas dengan isyarat tangan dari Frederic untuk tenang.

“Dari tadi Tuan dengar?” Elya bertanya.

“Tidak kok,” balas Robert dengan nada sarkastis. Tanpa menunggu tanggapan siapa pun, dia tepuk bahuku. “Ayo, pulang.”

Aku turuti saja kemauannya, kuraih tangan Robert dan melambai sesaat untuk Frederic. Sebelum pergi, kulihat Frederic terus memandangi kami dari kejauhan, begitu juga dengan Elya meski hanya dengan tatapan bingung, hingga bayangan mereka lenyap dari pandangan.

***

“Cerewet sekali,” keluh Robert. “Kukira dia hanya akan mengobrol santai denganmu, bukan menikammu dengan tumpukkan pertanyaan aneh.”

“Tapi, aku juga jadi penasaran,” jawabku jujur. Berharap dengan kedekatan kami sejauh ini dapat membuka hatinya.

“Kau akan tahu nanti.” Robert meneruskan langkah menuju kegelapan hutan, tempat di mana dia menetap. “Untuk saat ini, kau harus tetap waspada. Ada banyak yang mengintai.”

Apa yang dia ucapkan ini ada kaitannya dengan makhluk menyeramkan itu? Atau justru teror yang melanda kota ini?

Barusan aku hendak bertanya, dia kembali bicara. “Bagaimana sekolahmu?” Robert mengubah topik.

“Lumayan,” jawabku meski aku tidak tahu harus berkomentar apa selain itu. Pertanyaan sama dari Frederic juga, meski terkesan ingin meringankan suasana, tapi juga membuatnya canggung di saat yang sama. “Teman-teman sekelasku saling bercerita tentang pengamanan rumah mereka dari iblis.”

“Kita terlebih dahulu melakukannya,” sahut Robert tanpa menoleh, pandangan lurus pada pepohonan dan semak.

Aku mengiakan. Sejauh ini rumah para Guardian bisa terbilang aman dari serangan iblis, seperti pagar rumah Arsene yang menjulang tinggi dengan sedikit duri menghias guna melukai siapa saja yang nekat memanjat. Rumah Guardian lain juga terkesan jauh dari pemukiman, kecuali rumah Gill yang megah. Bermalam di sana, justru kedatangan rubah putih raksasa.

Aku lanjut bercerita. “Aku jadi ingat, kenapa kamu menitipkanku ke Panti Graves?”

Robert diam saja, seakan menunggu lanjutannya. Mata cokelatnya terus memandang lurus ke depan, mengawasi setiap gerak-gerik dalam hutan, entah mendengarku atau justru mengabaikan. Namun, aku pun juga diam, menunggu jawaban darinya. Menanyakan lagi bisa jadi Robert akan tersulut amarahnya. Sejak dia muncul di Kapel, aku menebak saat ini suasana hatinya buruk entah apa penyebabnya. Bukan saatnya bicara, tapi Robert pun masih ingin mengucapkan sedikit kata padaku.

Setelah jeda yang lumayan panjang, Robert akhirnya buka suara. “Ada yang menganggumu, Pangeran?”

Suasana menjadi canggung, dia tidak salah merespons seperti itu, jauh dari para Guardian tidak pernah membuatku tenang, meski juga berisiko dikejar bahaya. Namun, entah mengapa aku merasa tersudutkan akibat nada bicaranya yang terkesan menusuk.

“Maksudku, anak-anak di sana sangat aneh,” komentarku sedikit berbisik, berharap dia tidak tersinggung. “Mereka seperti Nemesis.”

“Nemesis?” Robert terdengar bingung. Ingatlah aku jika para Guardian yang bereinkarnasi akan memiliki nama berbeda dari kehidupan mereka di Shan.

“Salah satu Guardian,” balasku, melihat tidak ada komentar, aku coba menambahkan dengan harapan dia paham. “Dia yang bisa menjadi kabut dan ... um, bermain musik gesek–biola!”

“Oh, pemandu sorak kita di Shan, pemegang violin itu.” Robert menyahut, masih terdengar sedikit ketus. “Ah, ya, si Killearn.” Oh, ternyata Robert tetap memanggil sesama Guardian dengan nama belakang terlepas betapa lama mereka hidup berdampingan.

Aku pun melanjutkan. “Intinya, anak-anak panti seperti vampir. Kukira kamu tidak ingin mencelakaiku, nyatanya justru membawaku ke sarang mereka.” Aku memberanikan diri bicara seperti itu. Kuharap Robert tidak marah dan kalau misal terjadi, aku merasa tidak bersalah dalam situasi ini. Alih-alih menitipkan pada Guardian lain, dia memilih tempat seperti itu. Hanya kemudian dia bawa aku keluar dalam keadaan panti yang berisi anak-anak yang terkapar. Namun, Robert tidak berkomentar. Terus melangkah dengan tangannya menggenggam jariku.

Kami tiba di rumah, Robert langsung membuka kunci rumah lalu menguncinya kembali begitu aku masuk. Petang baru saja tiba, tapi dia masih waspada, meski sebagian makhluk jahat yang menghantui kami lebih sering berkeliaran di malam hari. Barangkali mendekati waktu sudah.

Robert duduk di tempat kami biasa mengobrol bersama. Dia letakkan satu tangannya ke meja, menekan sesuatu. “Aku tidak mungkin memutuskan tanpa berpikir, Pangeran. Semua sudah aku siapkan sejak lama, bahkan di hari di mana aku ingat takdirku–jadi seorang Guardian.”

“Benarkah?” sahutku penasaran. Tidak bisa kutebak apa yang dia pikirkan saat itu. Namun, sepertinya Robert memang tergolong orang yang selalu mengatur segalanya sejauh ini.

“Mereka tidak berani menyentuhmu karena aku sudah memenuhi perjanjian. Namun, justru wanita itu tidak memenuhi janji itu,” lanjutnya. Nada bicaranya pun tidak menunjukkan secara kentara apakah dia kecewa. Namun, jelas semua orang tidak senang jika dikhianati.

Aku pun menunggu, membiarkan dia jeda dan lanjut bercerita. Robert berdiri mengambil dua gelas, dia isi dengan dua air putih. Aku teguk guna memuaskan dahaga sembari menunggunya selesai minum.

Begitu Robert letakkan gelasnya yang kosong, dia kembali bicara. “Payah sekali kalau mereka menginkari janji itu, padahal aku sudah memperingatkan satu hal.” Robert mengangkat jari telunjuknya. “Bahwa aku bisa menyeret mereka kembali ke tempat asalnya hanya dengan sekali jentikan jari.”

“Seperti apa?” balasku, mencoba memahami. Seperti ketika anak nakal di sekolah, langsung dipulangkan pada orang tuanya? Memangnya anak-anak panti punya orang tua di luar sana? Kukira mereka tinggal di panti karena tidak punya. Lantas, ke mana mereka akan dikembalikan kalau hal itu terjadi?

“Mereka tidak menyadari ada duri dalam setiap daging yang mereka telan.” Robert meneruskan.

“Maksudnya?” Aku kembali bertanya, lebih tepatnya bingung dia bicara apa. Aku waktu itu hanya berusia sepuluh tahun, Robert malah bicara seakan tengah bersama sesama orang dewasa, nada bicaranya juga terkesan seperti seorang yang membacakan puisi. Namun, aku kembali diam, takut jika dia tersinggung dengan sikapku.

Untungnya, Robert balas dengan tenang. “Mereka tidak tahu diri.” Aku menyerah untuk bertanya lebih jauh. “Nah, sekarang sudah malam, sebaiknya kau segera tidur, besok sekolah.”

Aku pamit dengan ucapan selamat malam. Meski masih sedikit bingung perihal hubungan setiap penghuni aneh di Panti Graves dengan Robert. Barangkali Robert tidak ingin membahas lebih jauh denganku, mengingat aku mungkin hanya anak kecil yang tidak akan paham.

Aku pun memejamkan mata dan menyambut dunia mimpi.

***

M

ataku terbuka. Esok hari belum tampak juga, meski langit mulai sedikit menerang, menandakan hari akan segera tiba. Rupanya aku bangun terlalu dini. Sedikit bangga karena berarti sudah menjadi sosok pangeran yang pernah Robert katakan. “Seorang pangeran harusnya bangun lebih dahulu.”

Aku menoleh ke sambil, Robert masih terlelap di sisiku. Sejak beberapa malam terakhir aku merasa lebih nyaman jika Guardian tidur di sisiku, beberapa waktu terbangun tengah malam dengan mimpi buruk bukan pengalaman yang aku inginkan lagi. Robert tidak protes, tidak juga tampak ingin mengubah kembali kebiasaan tidur kami yang terpisah tempatnya. Melihat Robert masih tidur, kukira dia sudah bangun dan melakukan kegiatan rutinnya di tempat yang kuanggap sebagai dapur kecilnya.

“Robert!” Aku coba membangunkannya dengan sedikit tepukan di pipi.

Dia membuka mata, matanya menatapku tajam tanda dia tidak senang dibangunkan sedini ini. “Ya?” Meski baru bangun, dia tetap bersuara dengan nada netral. Tidak lelah maupun kesal dengan sikapku.

“Aku sudah bangun lebih dini,” ucapku dengan bangga.

Dia diam sesaat. “Bagus, teruskan.” Dia kembali memejamkan mata. Sedikit mengecewakan, padahal di saat itu juga aku ingin membahas perkara mimpi beberapa waktu lalu.

Perlahan, aku bangkit dari kasur dan melangkah keluar dari kamar. Tujuanku ke ruang depan tempat kami biasa makan dan bicara atau bahkan saling mendiamkan, itu tergantung suasana hati Robert. Aku menatap sekeliling ruang, mencari sarapan kalau saja ada sisa kemarin yang masih layak dikonsumsi. Sayangnya, hanya segelas air biru yang kulihat di meja dan tampaknya itu cairan yang biasa diracik Robert. Aku tidak ingin ambil risiko, jadi kubiarkan saja.

Mataku beralih ke jendela, kalau-kalau salju sudah turun. Nyatanya belum, sepertinya masih sedikit lebih lama. Aku lupa berapa lama satu musim berlalu, yang kutunggu-tunggu itu waktu musim salju di mana aku bisa menciptakan boneka salju dan merebahkan diri dalam es.

Saat masih membayangkan diriku di tengah kepingan salju, terlihat helaian rambut biru di jendela. Sosok itu mendekat ke jendela, dia tadinya berdiri dekat pintu. Tatapan kami bertemu. Aku membeku lantaran terkejut akan kedatangannya sepagi ini.

“Elya?” Aku menyebut namanya.

Elya menepuk tas kecil yang melingkari pinggangnya. “Tuan ada di rumah? Ada yang mau kubahas.”

Kali ini aku update lagi, waduh.

Ini bab yang cukup lama digarap mengingat beberapa hal diganti dan anui gitu. Cuma kuharap masih pada ingat, ya.

Sampai jumpa di bab berikutnya!

Guardians of Shan [4] : NawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang