✴️ 3 : Hadiah Sang Ratu - 5 ✴️

55 7 0
                                    

"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya.

"Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus.

"Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan.

Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert.

Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan keputusannya sendiri.

Suara Robert kian meninggi. "Awas saja kalau gagal!" ancam Robert. Tangannya memukul kepalan tangannya sendiri, tanda amarah telah menguasai dirinya.

Aku menarik napas, gemetar mendengar suaranya. Robert mungkin lebih sering terlihat datar tanpa ekspresi, tapi ekspresi kedua darinya tentu saja amarah, mengingat banyak sekali momen di mana suaranya meninggi tanpa ada niat melembutkan suara, kecuali jika dia didiamkan lebih lama guna menenangkan diri sesaat.

"Tidak baik bilang begitu di depan anak, dia akan menirunya," tegur Frederic, suaranya masih lembut sembari memandangku dengan kening berkerut, barangkali cemas akan masa depanku bila meniru cara Robert bicara.

Robert kali ini diam, tangannya kini beralih untuk memegang bahuku, tapi sekarang lebih kencang pegangannya. Pandangannya mungkin tidak tajam lagi, tapi terus mengarah pada temannya tanpa kedipan.

Melihat reaksi Robert masih belum mereda, Frederic berpaling. "Mari, kita berdoa dulu." Barangkali hanya untuk memenangkan hati dan suasana yang memanas barusan.

Robert ikuti langkahnya, masih berpegangan tangan. Aku hanya menyusul dalam diam, tanpa berani mengucapkan komentar apa pun mengingat amarah Robert barangkali masih tersembunyi dalam dirinya. Kupandangi kapel sesaat, mencari pemandangan yang sekiranya bisa menenangkan hati. Namun, ada bayangan melintas. Begitu aku berkedip, dia sudah raib.

***

Baik aku maupun Robert tidak mengucapkan sepatah kata selagi mendengarkan lantunan bunyi lembut keluar dari mulut Frederic. Entah kenapa, bunyi itu juga membuatku sedikit terbuai dalam ketenangan. Inilah doa, sudah lama aku tidak mendengar. Menginggatkanku dengan doa Bibi panjatkan di panti dulu, meski sedikit berbeda. Entah kenapa justru suara Bibi tiap kali melakukannya membuat aku merinding, seakan setiap kata perlahan mengelus leher.

Frederic memanjatkan doa dengan suara merdu, entah apa yang dia pinta kepada-Nya. Aku ingin bertanya apa arti doa yang dipanjatkan tadi. Namun, kurasa itu tidak sopan di saat seperti ini. Firasatku mengatakan itu perkataan yang baik, jadi aku mengamini saja. Dalam setiap jeda, aku mengiakan dalam hati, berharap setiap keinginan yang disampaikan dalam lantunan bunyi lembut itu dapat tercapai.

Robert hanya diam sepertiku, meski sesekali kudengar bisikan, melakukan hal yang sama denganku, menyimak dan mengamini saat Frederic jeda dari melantunkan bunyi merdu tadi. Matanya tertutup, seakan menyerap ketenangan dari ruangan dalam kapel yang diterangi cahaya lilin.

Beberapa saat hanya begitu, aku seakan tenggelam dalam sebuah pelukan hangat. Suara-suara itu telah membuai diriku, mata terasa berat seiring dengan lantunan bunyi merdu terus menggema. Tanpa sadar, pandanganku mulai menggelap, menyisakan tubuhku yang perlahan berbaring menyambut kegelapan.

Guardians of Shan [4] : NawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang