✴️ 3 : Hadiah sang Ratu - 10 ✴️

40 5 0
                                    

Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.

“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi.

Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.”

“Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia olah?

Belum sempat aku bersuara, Elya sudah pergi. Sepertinya dia tahu aturan tidak tertulis di rumah ini, untuk tidak membiarkan siapa pun masuk tanpa seizin Robert selaku pemilik rumah. Padahal bisa dibilang hubungan mereka tidak hanya sekadar saling tahu nama saja. Aku dengar Elya menyebutnya sebagai guru. Namun, sepertinya aturan itu juga berlaku untuk semua orang. Aku tahu walau dalam hati tetap tidak mengerti, antara Robert terlalu disiplin dengan aturannya sendiri atau aku yang belum terbiasa.

Aku berpaling dan berniat mencari sarapan. Beberapa menit berlalu dengan aku memakan sedikit guna mengganjal perut, menunggu Robert bangun dari istirahat tambahannya. Tidak ada niat membangunkan, kuanggap itu menganggu.

Tengah memandangi beberapa botol terjejer rapi di rak, aku tahu itu sudah jadi bagian dari rumah. Silih berganti setiap hari, Robert bawa beberapa botol baru, kadang ambil juga sebagian untuk diantar ke suatu tempat seperti Kapel. Saat memicingkan mata, kulihat beberapa tulisan alamat tertulis di beberapa botol, aku lihat masih ada yang perlu diantar ke Kapel.

Suara langkah kaki terdengar, Robert akhirnya bangun. Aku membalikkan badan, melihat pelindungku sudah merapikan diri. “Siapa itu?” Dia jelas dengar suara pintu terbuka. Entah dia tidak mendengar atau mencoba melihat reaksiku, aku jawab dengan saja alih-alih mempertanyakan itu, daripada nanti harus melihat dia marah pagi ini.

“Tadi ada Elya, katanya dia akan datang malam ini,” laporku. “Dia menitipkan ini.” Aku serahkan tasnya.

Robert membuka tas kecil itu, tertegun sejenak sebelum kembali ke melangkah belakang. “Bagus, berarti hari ini kita tidak ada kegiatan.” Ya, memang karena ini hari libur walau besoknya aku akan sekolah lagi.

“Robert,” panggilku. “Aku boleh bermain di luar?” Berharap sedikit setidaknya hari ini bisa lebih bebas bermain. Aku bersiap jika Robert menolak, keberadaanku di dunia saat ini lebih jadi mangsa, lebih baik tetap di rumah bersamanya. Namun, aku pun terkadang ingin bermain.

Robert sibuk menyusun beberapa benda kecil yang dibungkus dalam lipatan kertas kecil. Dia tabuskan beberapa dalam wadah kecil. Untuk sesaat aku perhatikan dia sibuk menyusun rempah-rempah berian Elya tadi. Ingin kembali bertanya, tapi kuberi dia waktu. Tidak kuduga, ini balasannya. “Bermain saja sesukamu.”

Entah dia menantang–karena biasanya itu bentuk ancaman halus darinya–atau memang sudah mau melepasku sejenak. Melihatnya tidak menoleh saat aku buka pintu, sepertinya dia mengizinkan. Aku keluar dari rumah dan pergi meninggalkannya.

Berbaring di antara dedaunan merah yang berguguran, aku susun beberapa lembar daun yang lebih besar di telapak tangan sebelum melemparnya lagi, seperti tetesan hujan aku coba bermain menangkap daun. Di tengah permainan, muncul bayangan bocah mendekat.

Guardians of Shan [4] : NawalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang