The bond that links your true family is not one of blood, but of respect and joy in each other's life.
- Richard Bach
❁❁❁
Delyn
Di umur yang udah mau mencapai seperempat abad, gue masih aja selalu merepotkan Kak Kendra. Sampai sampai gue mikir, apa gue menjadi salah satu faktor kenapa Kak Kendra enggan mencari pasangan.
"Makaila. Kakak udah bilang, kan, sampai kapan pun kamu enggak akan pernah jadi alasan Kakak putus dengan seseorang."
Tapi, setiap kali gue tanya, Kak Kendra selalu punya jawaban yang sama sampai-sampai gue enggak berani bertanya lagi.
Sakin merasa gue menjadi beban, pernah gue bertanya pada Kak Valen dan Kak Yasa tentang gue di mata Kak Kendra. Ya walau gue tahu, gue juga enggak bisa mengharapkan jawaban lebih karena pertanyaan gue cukup tiba-tiba dan abstrak.
"Lo lihat gue sama Sita gimana, Del? Ya, itu gimana gue lihat elo sama Kendra. Dia memang se-care itu, Del."
"You know how much he cares his beloved one more than he loves himself, Dek."
Dan gue enggak pernah menyangka akan mendapatkan jawaban yang kayak gitu. Sehingga gue merasa, oke, gue harus berhenti menambah masalah pada Kak Kendra. Tapi, kenyataannya, ketika gue enggak bisa menceritakan suatu hal pada Mama Papa dan Nina pun juga bingung, gue selalu mencari Kak Kendra setiap kali gue udah mumet enggak tahu harus berbuat apa.
Buktinya seperti situasi kayak gini. Walau gue berusaha enggak menelepon Kak Kendra, tapi pada akhirnya Kak Kendra seakan tahu kalau gue lagi kesusahan. Menemani gue yang keras kepala enggak mau pulang hingga akhirnya menginap di Ragastara sampai mengantarkan gue ke rumah Oma.
"Lala sama Kendra ati-ati, ya. Kalau lagi gak sibuk main-main ke sini." Oma memeluk gue kemudian menepuk bahu Kak Kendra.
Sebagai saksi bisu kedinginan Oma, gue enggak pernah menyangka pada akhirnya Oma bisa memeluk gue seperti ini dan akhirnya benar-benar menganggap gue sebagai cucunya.
Bahkan Kak Kendra sekali pun enggak pernah menyangka seorang nenek yang membentaknya di rumah sakit kala itu bisa mengelus bahunya lembut.
Panjang banget cerita, gue saat kecil pun awalnya enggak mengerti kenapa Oma bisa seenggak suka itu sama Papa. Yang pada akhirnya gue tahu kalau perselisihan ini awalnya muncul karena Papa yang lahir dari keluarga sederhana tidak seperti harapan Oma terhadap satu-satunya menantu laki-lakinya itu. Kemudian semakin bertambah Mama Papa yang udah menikah lima tahun belum dikaruniai anak.
Mungkin sebagai orang tua apalagi Mama adalah satu-satunya anak perempuan di keluarganya, Oma punya ekspektasi sangat tinggi terhadap suami Mama sehingga Oma yang memilihkan jodoh buat Mama. Tapi, Mama menolak dan memilih menikah dengan Papa.
Hubungan semakin merenggang ketika Mama dan Papa belum punya anak setelah lima tahun menikah. Oma langsung skeptis dan menyalahkan Papa perihal produktivitas dan lain-lainnya sampai-sampai anaknya belum hamil.
Puncaknya adalah ketika kaki kanan Mama enggak lagi bisa berjalan sempurna dan harus menggunakan kruk sepanjang hidupnya untuk alat bantu berjalan.
Dan sampai sekarang gue enggak pernah tahu hal apa yang membuat Oma datang dan menginjakkan kakinya ke rumah yang enggak pernah Oma datangi sebelumnya, rumah anak perempuan dengan sang suami berserta sang cucu.
"Kakak selalu salut lihat kamu enggak pernah marah apalagi benci sama Oma. Gak kayak Kakak gini," sahut Kak Kendra sambil memakai seat belt-nya.
Gue menggeleng. "Oma itu butuh seseorang untuk jadi pelampiasaannya dan aku cuma ngalamin secara gak langsung. Tapi, dulu Kakak selalu ngalamin secara langsung." Gue ikut memakai seat belt.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playlist: Gemercik
General FictionSebab dari bunyi air hujan yang jatuh melukiskan sebuah kisah yang baru. [Playlist ; Collaboration project 2.0] ©Written by Pitachynt January 4th, 2021