[ Y O O N ]

358 49 7
                                    

Yoon buka kacamata hitamnya dan ngipas-ngipasin mukanya pake tangan. Hampir lupa dia gimana panasnya negara asalnya dia dibanding sama Inggris. Tapi yah, senyaman apapun tempat tinggal dia di negara orang, tetep masih paling nyaman di negara sendiri.

Kurang dari setahun lagi dia beres kuliah. Kecuali kalau dia dapet beasiswa lagi untuk nempuh postgraduate, dia rencananya mau pulang dan ngewujudin mimpinya buat kerja di firma arsitektur multinasional. Tapi kalau nggak pun dan harus nyari yang di luar negeri, ya nggak apa, yang penting ilmu yang dia enyam nggak sia-sia.

Setelah jalan-jalan di sekitar pusat kota dua hari sebelumnya, Yoon mutusin untuk ngunjungin almamater lamanya. Rencananya dia bakal balik ke kotanya besok, jadi paling nggak dia mau ngunjungin kampusnya dulu sambil liat udah kayak apa sekarang.

Ya, di universitas inilah dia pertama kali nerima orientasi seksualnya sebagai bisexual setelah dia ketemu War. Nggak butuh waktu lama untuk dia damai sama dirinya sendiri, apa lagi saat itu dia punya War di sampingnya. Mereka nemuin preferensinya masing-masing dari satu sama lain, sama-sama belajar untuk nerima diri mereka bareng-bareng. Walaupun pada akhirnya hubungan mereka harus berakhir, Yoon masih belum bisa sepenuhnya ngelupain mantan pacarnya itu, bahkan setelah tiga tahun lamanya dia tinggal jauh dari War dipisahin jarak dan waktu.

Yoon yakin War sekarang pasti udah tingkat 4, udah siap-siap TA kecuali kalau ada ngulang. Kecualinya itu kayaknya nggak mungkin sih, karena Yoon tau, walaupun War kadang suka males dan terkesan cuek, dia termasuk anak yang ambisius sama akademiknya.

Itu jugalah yang memacu Yoon dulu untuk ngeberaniin diri ikut seleksi beasiswa yang sekarang ngebiayain dia kuliah di Inggris.

Perasaan Yoon mendadak berubah pahit kalau inget apa yang terjadi hari itu, hari ketika presentasi seleksi itu dilakuin. Penyesalan emang selalu dateng terakhir.

Tanpa disadari, kakinya Yoon bukan bawa dia ke fakultas arsitektur, tapi ke fakultas teknik, fakultas di mana War masih kuliah.

Yoon masih hapal dengan denahnya, karena dia selalu main ke sini waktu dia masih kuliah di universitas ini, selalu makan siang di kantinnya bareng sama War. Dia masih inget, menu kesukaannya itu nasi gorengnya, sedangkan War biasanya mesen beda-beda tiap hari.

Rasa kangennya dia sama War makin menjadi waktu dia sampe di pelataran di mana kursi-kursi dan meja-meja batu disiapkan di bawah pohon-pohon rindang buat mahasiswa fakultas itu. Biasanya mereka ngabisin waktu di sana untuk sekedar nongkrong bareng temen-temen atau pun belajar. Yoon bukan anak fakultas teknik, tapi pelataran itu juga tempat yang dia kunjungi waktu masih pacaran sama War.

Tiba-tiba, kedengeran suara ketawa khas yang dia masih hapal betul. Sayup-sayup emang, tapi Yoon bakal ngenalin suara itu di mana pun.

Dia jalan di sekitar pelataran itu sambil noleh kanan dan kiri, berusaha nyari sumbernya, sampai akhirnya mata dia nemuin grup kecil terdiri dari empat orang yang salah satunya adalah War. Dia kenal Bever, dia kenal juga sama Prat, tapi satu mahasiswa lagi, yang lengannya meluk pinggang War dengan nyaman dan intim, dia nggak kenal.

Mahasiswa ngga dikenal itu, Yoon harus akuin, ganteng banget. Tapi yang paling ngehujam jantung Yoon adalah ketika bibir mahasiswa itu nyium pipi War dengan lembut, tanpa peduli siapa yang mungkin liat.

"Ih! Di kampus, Anan bego!" Yoon bisa denger War ngeluh walapun muka merahnya nunjukin kalau dia nahan senyum.

"Nggak peduli, biar pada tau Kakak punya aku," kata mahasiswa yang dipanggil War dengan nama Anan itu jawab sambil senyum.

"Pesen tiket ke Mars aja, kuylah, Bev!" Suara Prat kedengeran yang paling kenceng.

"Cape gue ngontrak di Bumi, woy!" Bever ngeluh.

Kak War! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang