Sepuluh - Beranjak dewasa.

792 118 40
                                    

Gadis ini tersenyum melihat punggung pemudanya perlahan menjauh, Ia menarik nafas sejenak kemudian berjalan menaiki anak tangga menuju kamarnya. Sejujurnya Puri menyadari bahwa semuanya adalah salah, Menjalin kisah cinta dengan pemuda yang juga dekat dengan sahabatnya. Puri mengenal Arya lebih dahulu karena banyak memiliki kegiatan bersama, Terlalu sering bertemu sampai akhirnya menjadi dekat, Lalu Andin datang memutus ikatan yang mereka sambung kuat-kuat sayangnya Arya sedikit goyah dan berakhir bertanggung jawab atas Andin karena keluarga Andin menitipkannya padanya. Lalu sialnya lagi adalah ketika mereka menyadari bahwa Puri dan Andin adalah sahabat sejak bertemu.

Puri membuka pintu kamarnya lalu menyadari ada sebuah kantung belanja tergantung disana, Ada beberapa kotak susu dan roti. Ia menautkan alisnya bingung, siapa yang menaruhnya disini?tak ada catatan apapun didalamnya.

Ia segera mengaktifkan ponselnya yang sedari pagi sengaja ia matikan, Beberapa pesan muncul salah satunya dari sahabatnya, Andin.

Kantung plastik yang ia pegang jatuh terjuntai ketika Puri menyadari pesan terakhir Andin dikirim lima menit yang lalu itu berarti kemungkinan besar Andin melihatnya bersama.... Ahh tidak!

Puri kembali mengunci kamarnya dan berjalan cepat menuruni anak tangga mencoba mencari jejak Andin yang mungkin saja belum terlalu jauh.

"Mbak Puri tadi ditunggu sama temennya lho" langkah Puri terhenti mendengar ucapan penjaga kosannya.

"Sekarang dimana pak?"

"Tadi sih mau nunggu disana, Masih ada gak ya?soalnya dari sore dia nunggunya"

Tanpa sepatahkatapun Puri berjalan keluar pekarangan tempat tinggalnya sambil berusaha menghubungi Arya. Nafasnya terburu benar-benar tak mau jika Andin menjadi salah paham dengan semuanya, Puri berjalan menyusuri sekitarnya namun Nihil, Ia benar-benar tak menemui Andin.

"Kak Arya! Andin...... Andin ngeliat semuanya"

****

Selamat malam sinar bulanku, Datang dan peluklah aku erat-erat.

Andin menutup matanya sejenak ketika ayunan yang ia naiki bergerak cepat, Rambutnya ikut bergerak ditiup angin malam, senyumnya merekah merasakan kebahagiaan kecil ini. Ditemani sinar bulan dan angin menerpa wajahnya.

Selamanya kamu tidak akan pernah beruntung Andin......

Pikirannya penuh dengan ucapannya sendiri, Memikirkan betapa ia tak pernah mendapat keberuntungan tentang cintanya. Selalu berakhir dengan hal-hal tragis semacam ini, Ia tak menangis karena seperti sudah terbisa dengan ini. Ia hanya sedikit hmmmm kecewa? Bagaimana bisa ia begitu percaya dengan orang-orang terdekatnya? Bagaimana ia selalu menunggu Arya memperjelas hubungannya, Bagaimana ia selalu bercerita tentang Arya pada Puri. Apa Puri juga terluka ketika ia terus bercerita tentang Arya?

Bodoh!

Bagaimana ia tak pernah menyadari bahwa Puri dan Arya banyak memiliki kesamaan?

Satu minggu setelah Andin pulang dari Jakarta, Puri mengatakan bahwa oleh-oleh darinya sudah habis namun Andin menemukan ada sekantung oleh-oleh berbeda di kamar Puri, Apa itu pemberian Arya?

Arya datang membawa dua bungkus makanan tanpa Andin beritau bahwa sedang ada Puri dikamarnya.

Arya dan Puri yang sama-sama sedang menjauhi dirinya sekarang.....

Bukankah itu sudah terlihat jelas? Apakah Andin terlambat menyadari semuanya?

"Aku lelah" gumamnya sendiri pada bayangannya.

"Berlebihan! Jangan jadi manusia paling menderita karena cinta Andini!" Tegasnya lagi pada dirinya sendiri, Setelah berlama-lama diatas ayunan ini Andin akhirnya bangkit dari duduknya. Langkahnya ia percepat menuju pulang kerumah.

Jam menunjukan pukul setengah dua belas malam dan Andin masih terus berjalan tanpa rasa takut sedikitpun, yang ia pikirkan hanya sampai dirumah, beristirahat dan melupakan yang terjadi hari ini.

Andin tersenyum simpul ketika bangunan serba putih itu sudah terlihat didepan matanya, Namun langkahnya seakan membeku ketika matanya bertemu dengan pemuda itu.

Pemuda itu menatapnya lekat, Matanya sayu dan memerah seperti memendam kesedihan, Andin terdiam beberapa langkah darinya.

"Hai!"

"Ndin...... ceritakan tentang apapun..... saya senang dengar cerita kamu"

*****

Aldebaran melempar sekotak rokok yang baru saja ia beli di minimarket, Pikirannya sedang kalut namun ia sudah berjanji untuk tidak menyentuh barang itu lagi. Ia menyalakan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya entah kemana, Ia hanya ingin menghirup udara malam, Rasa kecewanya sudah tak bisa dibendung, Betapa ia gagal kembali untuk menjalin kisah cintanya.

Mungkin selamanya ia tak akan pernah beruntung tentang cinta.

Mobilnya berjalan membelah kota Malang yang mulai sepi ini dan berhenti pada bangunan serba putih. Bahkan dalam keadaan kalut seperti ini ia masih hafal menuju pada bangunan ini.

Aldebaran menepikan mobilnya lalu keluar dan bersandar pada dinding dipinggir jalan,untuk apa disini? Sudah larut malam, Yang ditunggu juga tak akan datang.

Tapi nyatanya......

Gadis mungil itu berjalan lunglai dari ujung jalan, tubuhnya terhuyung terbawa angin malam ingin sekali Aldebaran merengkuhnya membawanya dalam pelukan.

Mereka saling bertatapan, Menyadari apakah mereka akan saling membutuhkan?

"Hai"

"Ndin...... ceritakan tentang apapun..... saya senang dengar cerita kamu"

"Ada apa?" Tanya Andin mendekat, menatap mata Aldebaran begitu lekat.

"Saya mau dengar ceritamu"

"Aku punya cerita lucu"

"Saya mau dengar"

"Ini mobil kamu kan?"

"Ya..."

Malam paling aneh yang mungkin Andin dan Aldebaran rasakan, Duduk berdua didalam mobil ditemani suara jangkrik dan dinginnya malam.

"Hari ini sangat lucu" Andin menautkan tangannya menahan dingin.

"Kenapa?"

"Kamu tau Arya kan?" Tanya Andin dengan nada yang begitu ceria.

"Ya...."

"Kamu tau? Hari ini aku menemukan fakta mengejutkan! Arya pacaran sama sahabatku sendiri" Suara Andin terdengar riang walaupun Al paham bahwa matanya juga menampilkan kesedihan sama dengannya.

"Oh ya?"

"Ya! Puri panggil dia sayang padahal sama aku pun Arya ngga memperjelas apapun"

"Kamu ngga sedih?"

Andin menggeleng "Rasanya seperti...... sudah biasa"

"Maaf"

"Kenapa kamu yang minta maaf?" Andin menepuk bahu Al pelan.

"Kamu boleh menangis kalau kamu mau"

Andin menggeleng "Aku gak mau nangisin laki-laki kaya dia"

"Bukan untuk dia, tapi untuk rasa kecewamu" Aldebaran menatap Andin lekat.

Andin terdiam kemudian menarik nafasnya perlahan, susah payah ia menahan tangisnya namun akhirnya luluh juga. Tangisnya pecah ketika Al menepuk pundaknya perlahan.

"Aku capek......"

"Dia ngga bolehin aku dekat dengan siapapun, Tapi dia dekat dengan sahabatku"

"Kenapa aku ngga pernah beruntung......"

Aldebaran menyandarkan kepala Andin pada bahunya, Membiarkannya sejenak meluapkan semua rasa kecewanya, Mengubur kesedihan yang sebenarnya sedang ia rasakan juga.

Tuhan, Biarkan seperti ini dahulu.

The Second Change {Book two}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang