Tujuh - Ada yang hilang.

376 81 9
                                    

Tentang kebetulan, Apa benar didunia ini tidak ada yang namanya kebetulan? Lalu mengapa akhir-akhir ini ia selalu dipertemukan kembali dengan masa lalunya? Keadaan seperti ini jujur saja membuatnya kembali berpikir tentang yang dulu, Apakah ia adalah ujian untuk Aldebaran yang akan segera menikah? Tapi Andin tidak ada niat sedikitpun untuk merebutnya, Bertemu tak sengaja saja sudah membuatnya senang, ehh..... senang?

"Andin!"

Andin membenarkan helmnya yang hampir menutupi mata, Kesadarannya pulih ketika panggilan Arya menggema.

"Denger ngga sih?" Bentak Arya pelan.

"I....iya denger kok"

"Apa?"

"Eummm...." Andin menggigit bibir bawahnya, tak tau harus menjawab apa.

"Kamu dari tadi bengong aja, Mikirin apa sih?" Suara Arya terdengar meninggi.

Andin menutup matanya sejenak mencoba mencari alasan "Mba Vani, emmm kasian dia"

Arya diam tak bergeming, Melanjutkan perjalanan menuju Rumah sakit untuk mengantar barang-barang milik Vani. Andin sudah minta tak diantar tetapi Arya memaksa, Padahal ia tau di Hari Minggu pun Arya akan sangat sibuk dengan kegiatannya.

"Aku tunggu sini, Cuma sebentar kan?" Arya membuka helmnya ketika telah sampai diparkiran rumah sakit.

"Kak Arya...... marah ya?"

Arya tetap tak menjawab, Pura-pura fokus pada ponselnya.

"Kak...."

"Udah sana Ndin, cepetan"

"Ka Arya....." lirih Andin benar-benar tak ingin terjadi kesalah pahaman.

Pemuda ini memasukan kembali ponselnya, Menatap Andin dengan dingin "Kamu tau gak sih seberapa khawatirnya aku?"

"Aku kan udah bilang Handphone ku mati" jawab Andin tau arah pembicaraan Arya.

"Ya memangnya kamu gak punya otak untuk berpikir gimana caranya buat hubungin aku?"

"Kak...." Andin sedikit kaget dengan cara berbicara Arya yang terdengar kasar.

"Apa? Gak punya? Ohhh atau sengaja biar bisa sekalian keluar malem-malem"

Andin mengerutkan keningnya, benar-benar tak mengerti dengan sikap Arya hari ini "Kak, Ini cuma masalah kecil ya"

"Kecil kamu bilang?"

"Yang pentingkan sekarang aku gapapa, Aku disini sama kamu"

"Otak kamu yang kecil"

Hati Andin mencelos pertama kalinya mendengar ucapan-ucapan Arya yang begitu menusuk telinganya, "Kak Arya silahkan pulang, Terimakasih sudah mau antar aku kesini. Aku mau lama disini"

"Terserah kamu Ndin, Harusnya kamu bersyukur masih ada yang khawatirin kamu"

"Kalo gitu mulai sekarang gak usah khawatirkan aku"

Andin berjalan cepat menuju lobby rumah sakit, Hatinya juga lumayan sakit mendengar ucapan-ucapan Arya yang kasar, Masalah yang menurutnya sederhana kenapa harus dilebih-lebihkan dengan ucapan yang tak menyenangkan? Ini bukan Kak Arya!

Entah pemuda itu punya masalah apa dengan keluarga atau teman-temannya tapi meluapkannya pada Andin benar-benar tak masuk diakal.

****

Suara klakson dan periwit menghiasi perjalanan Andin malam ini, Earphonenya ia pasang namun tak ada satu lagupun yang ia dengarkan sedari tadi. Perasannya sedang tidak baik-baik saja. Seharian dirumah sakit menemani Vani ternyata lumayan melelahkan, Agendanya untuk tidur seharian harus pupus seketika.

Chatnya untuk Puri tak kunjung dibalas, Andin mengerti karena memang setiap Sabtu dan Minggu Puri pulang kerumah orang tuanya dan sudah pasti jarang memegang ponsel.

Kemudian ia kesepian. Bingung meluapkannya kepada siapa.

Ada apa dengan hari ini? ada apa dengan Kak Arya?

Tak terasa Andin sudah berjalan hampir lima belas menit dan sampailah ia pada pekarangan kosannya, Hawa kesepian makin melekat padahal ia sudah harus beristirahat.

Anak tangga ia lewati dengan malas-malasan, Membuka pintu kamarnya yang sedari tadi ia tinggalkan. Lalu matanya menangkap sebuah jaket hitam yang sengaja ia gantung dekat tempat tidurnya membuat ia mengingat kejadian kemarin.

"Kamu..... sudah bahagia ya?" Lirihnya sendiri.

*****

"Al boleh gue ngomong tentang sesuatu?"

Aldebaran mengerutkan keningnya, "Dari tadi juga kan lo ngomong"

Diujung telefon Aldilla terdengar terkekeh pelan seperti merasa tak enak harus mengatakannya, Padahal sedari tadi ia sudah bicara panjang lebar pada adiknya. Namun masih ada yang mengganjal didalam hatinya.

"Eumm Nara...."

"Kenapa?" Balas Al cepat.

"Apa dia ngga berniat untuk datang kesini jenguk Ibu?"

Tak ada jawaban dari Aldebaran, Membuat Aldila kembali bersuara "Semenjak lo pindah Nara sama sekali ngga hubungi Ibu ataupun Gue.....Apa dia lagi sibuk?"

"Dia lagi sibuk dengan Novelnya"

"Ohh pantes, Jangankan datang jenguk Ibu, Nelfon tanya kabar Ibu juga dia gak pernah Al"

"Ya.... Mungkin dia belum sempat mba"

"Eumm kalau lusa dia bisa datang ngga ke toko Ibu?Ibu ada menu cake terbaru siapa tau Nara mau coba"

"Yaudah nanti gue kabarin ke dia mba"

"Lo sehat-sehat ya Al disana, Makan yang bener" pesan Aldila sebelum mematikan sambungan telefonnya.

Al menarik nafasnya panjang, Sejujurnya beberapa hari terakhir komunikasinya dengan Nara sedang tidak baik-baik saja. Ada saja hal-hal tak penting yang menjadi masalah. Dan sekarang masalah datang lagi.

Bukan masalah sejujurnya, Jika Nara mau menghubungi Ibunya duluan. Tapi itulah Nara, Jika tanpa Aldebaran disampingnya ia tak akan mau berkunjung kerumahnya walau hanya sekedar berbasa- basi pada calon Ibunya juga. Nara seoarang yang pemalu dan sulit untuk membuka percakapan basa-basi.

Tapi bukanlah sekarang itu terlihat penting?Apalagi melihat statusnya yang sebentar lagi akan menjadi keluarga. Untuk mengambil hati Ibunya saja, Sepertinya Nara belum mampu. Aldebaran tak mau memaksa, Ia mengerti tentang kepribadian Nara. Tapi untuk Ibu dan keluarganya? Mereka hanya ingin Nara berusaha berkenalan dengan semuanya.

Mungkin ia akan kembali menghubungi Nara nanti disaat semuanya sudah membaik.

***

SENIN.
Andin cukup membenci hari ini karena mata kuliahnya selalu panjang dihari Senin, Dari matahari baru muncul, matahari diatas kepala sampai matahari hampir tenggelam Andin masih setia ditempat ini.

Ia berjalan sendiri dikoridor yang hampir sepi ini, Ditinggal Puri yang sedang terburu- buru karena akan berkumpul dengan organisasi yang Andin tidak tau apa lagi, Karena terlalu banyak kegiatan yang Puri ikuti, Sama seperti Arya.

Ahh Arya.

Pemuda itu sedang bersama teman-temannya diujung koridor, Andin menunduk ketika melewatinya tak mau berpapasan atau sekedar menyapa Arya hari ini, Karena pemuda itu sama sekali belum meminta maaf atas ucapannya kemarin.

Lalu benar, Arya dan Andin hanya saling melewati tanpa saling bertegur seolah tak saling mengenal. Tak masalah untuk Andin, Ia juga bisa sendiri dikota ini tanpa bantuan Arya dan keluarganya. Masih ada Puri atau Mbak Vani yang akan membantunya ketika ia butuh, dan sekarang juga ada Al...... Andin tolong berhenti!

Ah ya! Ngomong-ngomong bagaimana caranya ia mengembalikan jaket milik pemuda itu? Haruskah ia bertemu lagi?

The Second Change {Book two}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang