Aidan dan Kirana sedang duduk di tepian sungai Han, menikmati kerlip lampu yang menghias di sepanjang jembatan. Air sungai ikut berkilau saat terbias oleh cahaya lampu, sepoi angin malam terasa dingin, namun tidak semenusuk pada cuaca musim dingin.
Melihat semua itu, perlahan beban dalam pikiran Kirana mulai terasa terangkat. Setidaknya untuk sementara waktu, dia hanya ingin menikmati semua itu semua tanpa harus berkutat dengan rasa khawatir dan kebimbangan. Seolah mengerti dengan apa yang Kirana inginkan, Aidan hanya diam tanpa berani menyela. Tidak ada perbincangan di antara mereka, yang ada hanya tubuh yang saling berisisian dengan pemikiran masing-masing.
Kirana merasa semua itu sudah cukup, bahkan langit malam juga tampak begitu cerah, bintang seolah menyaksikan kebisuan yang terjadi. Dia merasa hangat saat Aidan menyampirkan sebelah tangannya di pundak Kirana, hal tersebut membuat gadis itu menoleh, lalu Kirana mendapati senyuman terbaik dari seorang atasan yang menawan.
Andai dia tidak ingat sedang hamil anak pria lain, mungkin saat dia mengutarakan perasaannya—saat itu juga dia akan menerima lamaran pria itu.
Lama mata mereka saling memandang, Kirana melihat banyak hal romantis dalam sorot mata tersebut. Tatapan sayu namun penuh cinta, tatapan yang mampu membuatnya terhipnotis. Kirana merasa tubuhnya berubah seperti jelly saat tangan kanan Aidan mengusap halus permukaan wajahnya, jari tangan pria itu mengusap pipinya dengan pelan. Hanya dengan sentuhan kecil seperti itu, sudah membuat Kirana merasa semakin lemah. Tanpa sadar hal tersebut membuatnya memejamkan mata.
Deru nafas Aidan terasa semakin mendekat, dan Kirana meyakini bahwa saat ini jarak di antara mereka hanya tinggal beberapa inci, jantungnya bertalu seolah ingin keluar dari rongga dadanya, Kirana takut dirinya akan berubah kkak—jika pria itu benar-benar akan melakukan hal yang telah dia prediksi—saat bibir Aidan sedikit lagi menyentuh permukaan bibir Kirana, dering ponsel dalam saku Jeans-nya memekik dengan sangat keras. Membuat mereka sontak menjauh dengan posisi canggung.
"Halo, Ya! Baiklah aku akan segera kesana," Aidan tampak frustasi saat dia menjawab panggilan tersebut, Kirana merasa dilepaskan dari kungkungan rasa suka cita yang membuncah, entah ini rasa kecewa atau memang dia merasa lega karena tidak jadi dicium oleh pria itu.
"Kiran-ah," Aidan terlihat bimbang dengan apa yang akan dikatakannya, "Aku harus pergi sekarang, aku akan memesan taxi untukmu, maaf karena tidak bisa mengantarmu pulang, ada keadaan darurat yang tidak dapat menunggu," tercetak jelas raut wajah bersalah dalam wajah tampannya, dia merasa tidak tenang karena harus membiarkan Kirana pulang sendiri.
"Pergilah, jangan khawatir," Kirana tersenyum lembut, "Aku bisa pulang sendiri," dia kembali mengulum senyum, meyakinkan dan memintanya untuk percaya bahwa dirinya akan baik-baik saja. Dengan berat hati akhirnya Aidan beranjak pergi, tapi Kirana masih tidak ingin beranjak, dia tetap di sana untuk menikmati malam tenang yang terasa nyaman, karena hal itulah yang membuat dia ingin lebih lama berada di alam bebas.
Kirana mengambil ponsel miliknya dari dalam tas, dia menghubungi nenek bahwa dirinya akan pulang sedikit terlambat. Setelah menelpon, dia kembali berdiam diri. Menikmati setiap hembusan angin, sementara pikirannya berkecamuk pada setiap kata yang diucapkan oleh Aidan, dia tidak dapat berpikir dengan baik untuk mengambil keputusan, dirinya juga tidak mempunyai cukup keberanian untuk menghubungi Nathan, karena bagi Kirana, Nathan Lee tetaplah seperti langit yang tidak mungkin dapat dia raih, mengharapkan pria itu untuk memberi lebih pada dirinya, maka hal itu sama saja seperti mimpi di siang hari.
Tapi jika bayi dalam kandungannya lahir tanpa ayah, akan bagaimana jadinya? Nenek pasti akan sangat malu dan kecewa. Mungkin Kirana memang merasa siap dan dapat menerima segala kemungkinan. Tapi nenek belum tentu dapat menerima itu semua. Semua itu terus berputar, menguasai pikirannya yang tidak tentu arah, Kirana hanya butuh seseorang dan kepastian untuk bersandar.Dia melihat jam di layar ponsel sudah menunjukkan pukul delapan malam, dengan berat hati Kirana memaksakan diri untuk beranjak, kakinya melangkah pelan menuju jalan raya. Mungkin dia memang harus mencari taxi, mengingat halte terdekat cukup jauh, Aidan tadi sempat memberikan uang padanya, dan Kirana tidak dapat menolak karena pada kenyataannya dia lupa membawa dompet. Saat tadi siang Aidan menjemputnya, Kirana hanya membawa ponsel yang dia kantongi dalam saku mantel yang dipakainya.
Saat hendak menyebrang jalan, tiba-tiba langkah Kirana terhenti ketika mobil Audi SUV warna silver berhenti di dekatnya dengan lampu menyala, dia dapat melihat seorang pria yang mengenakan jaket dan celana Jeans, lengkap dengan topi dan masker berjalan keluar. Sosok pria itu membuatnya Kirana berpikir kalau dia merasa mengenal siapa pria di balik penyamaran tersebut.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?" Oh tidak, suara itu. Hati Kirana seketika bergetar, tubuhnya seketika terasa kaku, bagaimana mungkin Tuhan mempertemukan mereka tanpa pemberitahuan terlebih dulu? Itulah yang melintas dalam benak Kirana, dia masih tidak bergeming, sampai akhirnya dia lengah dan pria itu dengan sigap menarik tubuhnya menuju mobil. "Nathan-ssi, apa yang kau lakukan?"
"Aku mohon tetap diam," Kirana mendengar nada tegas dalam suara pria itu, "Aku akan mengantarkanmu pulang," Nathan membuka pintu mobil, "Tapi nanti setelah kita selesai bicara," akhirnya Kirana hanya dapat menurut, dia hanya pasrah saat pria itu menyuruhnya untuk naik ke dalam mobil, selanjutnya Natha memacu kemudi dengan kecepatan sedang, mobil yang dikemudikannya bergerak menuju kawasan Cheondamdong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Winter Flower [Flower Series #1]
Romance"Ini tentang memilih orang yang harus bertanggung jawab, atau orang yang ingin mempertanggung jawabkan kesalahan orang lain." -Winter Flower-