• lembaran terakhir.

59 12 0
                                    

Langit kini dilindungi oleh awan abu-abu menggelapkan seluruh kota dengan kata lainnya; hendak menurunkan sang tangisan cukup mendalam. Langit, tidak pernah memberitahu kapan dan bila ia menjatuhkan air matanya pada tanah yang kehausan akan tangisannya.

Langit sama sekali tidak pernah memberitahu sang makhluk di muka bumi saat ia hendak turun menyerang duniawi. Tidak pernah sama sekali, yang ada hanyalah memperlihatkan awan-awan menggelap serta kilat kecil terpapar di atas sana.

Sadari dari pagi sampai siang, langit tak kunjung berubah, tetap mempertahankan diri — membuat para manusiawi mengeluh karena terganggunya hendak keluar dari rumah, menjemur pakaian ataupun itu sama sekali tidak berpihak kepada langit.

"Mau sampai kapan kakak begini?"

Suara yang teriak tak jelas mendadak menjadi lemah dan lesu. Bulan menatap sang kakak laki-lakinya memandangi langit yang satu-satunya merasakan apa yang ia rasakan sekarang. Langit, kali ini ia berpihak pada Kamal.

"Sampai kapanpun," jawab Kamal perlahan, sangat perlahan.

Entahlah, sejak kemarin mendengar kabar baik dan buruk dari bulan, seharusnya ia senang, suatu sisi, ia harus berpisah dengannya. Entah mengapa ia mendadak tidak senang, jikapun ia sudah menjalani hubungan dengan orang lain bukan dirinya setidaknya ia tidak pindah dari tempat itu.

Tempat yang menjadi sebab ia keluar dari kamar, tempat yang menjadi sebab ia bangun pagi. Sejahat itukah alam semesta memisahkan mereka? Atau hanya menukarkan takdir mereka?

Bulan, gadis itu memilih duduk di sisi ranjang kakaknya yang menekuk tubuhnya memandang jendelanya. Hatinya gelisah, kecewa dan kesal dalam satu perasaan.

"Kakak ga boleh menyerah, ada kesempatan!" Seru bulan menatap lurus ke jendela, terlihat bagaimana daun-daun pohon terpaksa menahan dari ratingnya agar tidak terputus darinya. Sanggup menahan sakit demi bertahan.

"Ga ada, lan." Kamal menatapnya lemah, "ga ada, dia bakal pindah dan lupain kakak—"

"Kakak ga guna, sana siap-siap! Temuin kak adena di taman, bawa payung juga!"

Belum juga menamatkan katanya, tubuhnya didorong ke lemari pakaian, bulan sudah memotong perkataannya dengan mata membesar. Sungguh, apakah itu adiknya?

"Tapi—"

"Jangan bikin kak adena kecewa kak, padahal dia berharap banget kakak datang malah ga datang-datang. Kakak mau pertemuan kalian berakhir dengan dua pengganggu?"

Mengunci bibirnya adalah pilihan terbaik untuk Kamal, bibirnya hendak berbicara pun dikurung semula. Hendak menolak permintaan Adena pun terkurung karenanya.

"Kakak, bulan tunggu di bawah!"

Kamal menatap pintu kamarnya tertutup rapat, meninggalkannya begitu saja dengan baju pilihan sang adiknya yang mencoba mencari yang terbaik untuk pertemuan terakhirnya.

Sungguh, dia tidak inginkan perkara ini berulang lagi. Dia akhirnya memutuskan untuk menemukannya setidaknya untuk membuat kenangan kan?

Matanya bergerak, mengamati pakaian yang terakhir dikenakannya, ternyata sangat pas untuknya sederhana tapi sangat indah. Selanjutnya, ia menata rambutnya agar terlihat rapi dan menarik.

Memakan waktu cukup lamanya, bulan sudah berkeringat cemas karena kakaknya tak kunjung turun menghampirinya. Apakah Adena akan menunggunya disaat hujan hendak turun begini?

Bagaimana Adena tidak ada di situ dan hanya menambahkan kekecewaan mendalam dalam diri raga Kamal. Dan bagaimana jika Adena juga merendam perasaan kecewanya?

"Bulan,"

Pandangannya pada pintu utamanya kini tertuju kepada Kamal yang baru saja turun dari lantai atas. Tapak kakinya menginjak lantai dengan kerasnya, bergegas menarik Kamal keluar dan memberikan payung kepadanya.

Another Day • Hueningkai Yuna ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang