Opening

18 0 0
                                    

Namaku Han, pada tahun 2015 aku memutuskan untuk melanjutkan studiku di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Atlas. Dengan berat hati kedua orang tuaku mengijinkanku untuk merantau. Sebelumnya ibuku menyarankanku agar menyewa kos di rumah kos yang pernah ditinggalinya dulu ketika beliau masih berkuliah di kota itu.

Tepatnya pada tahun 1990an. Ya, rumah kos tersebut sudah berdiri sejak lama bahkan tahun 70an hingga saat ini. Aku pun menyetujuinya, hingga pada akhir bulan agustus 2015 sebelum ospek dimulai keluargaku mengantarku ke rumah kos tersebut. Kami disambut hangat oleh Bu Wati, beliau terlihat sangat tua, semua rambutnya sudah memutih, dia tinggal disini bersama anak-anak kos sedangkan anak semata wayangnya yang sudah berkeluarga tinggal di rumah lain.

Rumah kos ini ber-letter L, ada 4 kamar tidur dan 1 kamar mandi yang jarang digunakan di bagian depan, sedangkan di bagian belakang sekaligus berlantai 2 ada 8 kamar, 5 di atas dan 3 di bawah.  Jendela di ruang tamu depan dan belakang dihiasi oleh horden merah, sofa klasik dengan bantalan berwarna merah bahkan hiasan pun serba merah. Mungkin Ibu Wati penyuka warna merah lampunya juga redup. Dan yang paling membuat kita-kita kesal, lampu di bagian lorong menuju depan hanya dinyalakan setahun sekali.

Aku, Kak Salsa, dan Bu Wati tidur di kamar bawah, oh iya kamar kami juga bersebelahan sedangkan Kak Angel, Kak Ratna, Kak Eni, Kak Ayu, dan Yani tidur di kamar atas.

Suatu ketika aku dan Kak Salsa hendak menyetrika dan menyalakan lampu di lorong sebelah . Sebelumnya, aku melihat lorong itu dengan sedikit kengerian begitu juga Kak Salsa. Masing-masing dari kami membawa pakaian yang belum disetrika. Tanpa berkata-kata dia menekan tombol on, cahaya lampu redup itu setidaknya bisa meminimalisir kesan angker dari lorong itu.

Di sela-sela kegiatan, kami mengobrol santai, hingga beberapa saat kemudian ibu kos datang dan,

"Ini kenapa lampunya dinyalain?" beliau bertanya dengan nada sedikit jengkel.

Aku membulatkan mata sambil menatap Kak Salsa, kami berdua tidak bisa menjawab hanya saling memandang.

"Jangan dinyalain ya mba!" ujar ibu kos sembari mematikan lampu dan al hasil lorong itu kembali gelap.

Beliau berjalan pelan dan kembali ke kamarnya. Melihat pakaianku masih banyak yang belum disetrika, aku memilih untuk melanjutkan besok, begitu juga kak Salsa dia tidak mau disitu sendirian.

3 hari sebelum ospek dimulai, ruangan depan sudah dihuni oleh 4 orang maba, mereka menempati 2 kamar saja, 1 kamar diisi oleh 2 orang. Nanda dengan Silvi menempati kamar yang bersebelahan dengan kamar mandi utama yang biasa dipakai oleh semua orang, Elli dan Wanda menempati kamar paling depan. Kamar Elli dan Nanda terpisah oleh 1 kamar tidur dan kamar mandi yang tidak pernah digunakan oleh siapapun.

Di wilayah depan juga ada ruang tamu yang cukup besar serta lemari tua besar dengan cermin besar sebagai pintunya. Disitu juga remang-remang karena hanya ada 1 lampu. Bisa dibayangkan bagaimana creepy-nya saat malam ketika menghadap ke lemari itu.

Aku sendiri pun masih teringat suasana  dan bentuk lemarinya yg terlihat suram dengan lampu kuning 5 watt yang terpasang di atasnya, sedangkan di sebelah lemari itu ada garasi tapi bentuknya lorong yang gelap sekali karena tidak dipasang lampu, bahkan teman-teman  kosku tidak ada yang berani ke garasi itu menjelang maghrib sampai esok pagi meski hanya memarkirkan motor milik mereka sendiri, mereka lebih memilih untuk meletakkan motor mereka di luar kos daripada di garasi itu setelah lewat dari jam 6 sore.

Happy reading...

Rumah Kos Tua Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang