"Maaf, Nyonya, sepertinya ada yang sedang menempati gazebo," ucap seorang pelayan pada Duchess Sofia.
Saat ini, sang nyonya Foxton sedang berjalan-jalan di taman mawar kesayangannya, menikmati udara pagi yang berembus semilir dan kicauan burung-burung kecil. Ini adalah kegiatan rutin beliau setiap dua kali seminggu, sembari memeriksa bunga-bunga mawarnya, apakah dirawat dengan baik oleh si tukang kebun atau tidak.
Ditemani oleh dua pendamping wanita dan seorang pelayan, biasanya sang Duchess akan berjalan-jalan mengelilingi taman mawar selama beberapa menit. Setelahnya, beliau akan singgah di gazebo, untuk sekadar minum teh sambil menikmati pemandangan dan mengobrol bersama kedua pendampingnya. Baginya, saat-saat seperti itu adalah yang paling membahagiakan.
Namun, niat itu harus segera diurungkan hari ini, ketika ia mendengar kabar dari pelayannya tadi.
"Ada yang menempati gazebo? Apakah itu suamiku?" tanya Sofia. Ia dan suaminya memang kadang kala menikmati teh bersama, bila sang kepala keluarga sedang tidak sibuk.
Pelayan itu menggeleng. "Bukan, Nyonya. Tapi, Tuan Lucas dan Tuan Linden yang ada di sana."
Kedua mata Sofia pun langsung membuka lebar. "Apa? Lucas dan Linden? Mereka berdua sedang bersama-sama?"
Si pelayan mengangguk. Spontan, Duchess Sofia berlari kecil, meninggalkan para pendamping yang mengawalnya sedari tadi. Keduanya pun mengekor cepat-cepat di belakang. Sofia tergesa-gesa. Ia ingin melihat pemandangan langka yang tak terjadi selama bertahun-tahun.
Langkah kaki sang nyonya berhenti. Gazebo telah terlihat dari pandangan matanya. Memang benar, di sana ada kedua putranya. Lucas tampak sedang bersandar di dinding gazebo, sementara Linden sedang duduk sambil memakan sesuatu. Lucas terlihat senang. Linden terlihat sedikit cemberut, tetapi bukan marah. Mereka berdua tampak akrab, seperti waktu kecil dulu.
"Ah, mereka sudah berbaikan?" Tanpa sadar, setitik air muncul di pelupuk mata sang nyonya. Sudah lama sekali, ia merindukan untuk bisa melihat kedua anaknya bercengkerama seperti waktu kanak-kanak dulu. Akan tetapi, sejak mereka beranjak dewasa, tekanan dari suaminya pada Lucas sebagai penerus menjauhkan mereka berdua. Kini, Sofia melihat seolah semua telah kembali.
Sofia ingin menyapa kedua putranya itu di gazebo. Namun, matanya menangkap ada sosok-sosok lain. Ada seorang gadis yang sedang sibuk dengan kuas dan kanvas di hadapannya. Sofia memicingkan mata sejenak. Ia menyadari, bahwa rupanya Linden sedang dilukis.
Sosok kedua adalah seorang gadis pelayan. Tadinya Sofia berpikir bahwa itu adalah pelayan biasa yang membawakan kereta makanan ke gazebo untuk Lucas dan Linden. Akan tetapi, makin dilihat, segala tindak tanduk dari gadis itu tidak mencerminkan sebagai pelayan kebanyakan.
Dengan santainya, gadis itu bersandar di sebelah Lucas sambil tertawa-tawa. Sesekali, ia terlihat memperbaiki pose Linden yang sedang dilukis, lalu berbicara sejenak dengan si gadis pelukis. Semua itu terlalu aneh bila ia hanya seorang pelayan biasa.
"Siapakah gadis yang memiliki rambut ungu itu?" tanya Duchess Sofia pada si pelayan. Yang ditanya pun langsung menoleh, hendak melihat wajah orang yang dimaksud.
"Namanya Fiona, Nyonya," jawab si pelayan.
Duchess mengangguk-angguk, seraya menggoyangkan kipas tangannya ke arah wajah. Viscountess Maria Winston -- salah satu pendamping Sofia -- bertanya, "Apakah kita akan tetap pergi ke gazebo, Duchess?"
Sofia memandangi sejenak gazebo di hadapannya, lalu berpaling pada Maria seraya tersenyum. "Kurasa hari ini tidak perlu. Aku sudah cukup senang meski tanpa menikmati pemandangan hari ini."
Rombongan sang nyonya pun kembali ke dalam kastel. Sebelum menghilang dari pandangan, Sofia menoleh ke arah gazebo sekali lagi dan menggumam, "Fiona, ya ... ."
***
Setengah jam telah berlalu sejak Linden akhirnya bisa pergi melanjutkan latihan paginya. Setelah sang objek gambar menghilang, Liana melanjutkan lukisannya hanya dengan imajinasi saja, berpatokan pada garis-garis basis yang sudah terlukis di atas kanvas.
Biasanya, bila ada pesanan untuk melukis wajah seorang bangsawan, para pelukis akan diminta menggambar pose yang sedang duduk diam, memandang ke depan atau ke samping. Sang bangsawan sendiri pun umumnya memakai jas dan jubah untuk memperlihatkan betapa tinggi kasta mereka. Perhiasan di sekujur tubuh tak lupa dikenakan juga. Tadinya, Liana berpikir ia akan melukis Linden Foxton dengan gaya yang seperti itu.
Namun, yang sedang dikerjakan Liana saat ini cukup membuatnya tercengang. Tadi ia melukis Linden hanya dengan pakaian tunik putih dan celana panjang sederhana yang biasa digunakan untuk latihan fisik. Posenya pun bukan berdiri tegak menghadap ke depan, melainkan sedang memakan semangkuk sup daging. Liana tak mengerti sup daging apa yang baru saja dilukisnya, tetapi aromanya sangat sedap. Berkali-kali Liana menahan liur agar tidak terpancing untuk menyantap salah satu objek gambarnya itu.
Linden Foxton yang mengenakan tunik sederhana dan sedang makan. Ia jadi tak tampak sebagai seorang bangsawan di dalam lukisan Liana. Meskipun ketampanannya tetap terlihat, gadis pelukis itu sempat ragu dan bertanya pada Fiona. "Apa Anda yakin, cukup seperti ini saja?"
Fiona mengangguk mantap. "Yang diperlukan adalah wajahnya dan pose makannya saja."
"Apa tidak apa-apa, pakaian Tuan Muda sederhana seperti ini?" tanya Liana lagi memastikan.
"Kau jangan khawatir. Justru kami memang tidak ingin menampilkan atribut kebangsawanan elite dalam lukisan adikku itu," terang Lucas.
Mengobrol berhari-hari dengan Fiona mengenai rencana-rencana gadis itu di masa depan, membuat Lucas memahami isi pemikirannya sedikit demi sedikit. Teknik pemasaran yang pelayannya itu miliki sangat bagus.
Seperti misalnya, Linden sengaja tidak dipakaikan jas atau jubah karena sasaran jual rawon mereka adalah kelas menengah. Pakaian mahal seperti itu akan mengesankan kalau rawon hanya untuk masyarakat kelas atas. Mereka dari kelas menengah bisa mundur dan tak jadi membeli bila melihat seorang bangsawan memakannya.
Fiona ingin menanamkan pemikiran bahwa rawon adalah makanan rakyat, bisa dikonsumsi oleh semua orang. Meski gadis itu memang berencana untuk merambah pasar elite juga, tetapi tidak untuk perkenalan pertama seperti saat ini.
"Kalau sudah selesai, aku ingin kau menambahkan gambar uang kertas di bawah lukisan Tuan Linden," ucap Fiona tiba-tiba pada Liana. Lucas dan si pelukis langsung menoleh heran. "Uang?"
Fiona mengangguk, lalu menatap Lucas. "Apakah Anda punya seratus ribu chimpe?"
Lucas mengeluarkan dompetnya dari dalam kantung dan menyodorkan uang kertas berwarna biru pada Fiona. Tulisan yang tertera di atasnya adalah Chimpe 100.000.
"Untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Lucas.
Fiona menyerahkan uang kertas tersebut pada Liana. "Kau bisa menggambar ini di bawah lukisan Tuan Linden?"
"Tentu, aku akan mencobanya." Liana meletakkan chimpe senilai seratus ribu itu di atas meja. Uang sebanyak itu setara dua puluh bulan gaji Fiona sebagai pelayan di kediaman Foxton. Seratus ribu juga setara lima kali pesanan melukis dari bangsawan bagi Liana.
"Untuk apa melukis uang seratus ribu?" tanya Lucas lagi.
Fiona tersenyum penuh makna pada majikannya itu. "Tuan, kita sedang dalam proses membuat sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya di dunia ini."
"Apa itu?"
"Iklan bergambar."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Kedai Rawon di Isekai (TAMAT - Republish)
FantasyFiona si mantan karyawati digital marketing dan penyuka masakan rawon, tiba-tiba terlempar ke dunia dalam webtoon. Ia merasuki tubuh figuran budak dari tokoh antagonis Lucas. Ingin terbebas dari ikatan perbudakan, Fiona harus membantu Lucas mengolah...