Flashback...
Selama perjalanan pulang, baik Malika maupun Shean sama-sama asik dengan pikiran masing-masing. Malika dengan rasa malunya, sedangkan Shean memikirkan sesuatu supaya nantinya tidak canggung.
“Sebenarnya...
Malika memutus apa yang ingin ia katakan begitu saja. Ia sadar kenapa merasa terbuka dengan orang asing, padahal mereka baru kemaren bertemu—itu pun tidak sengaja.
Shean menoleh dan menatap aneh Malika yang ternyata juga melihat ke arahnya.
“Apa?” Tanya laki-laki itu, yang kemudian dijawab gelengan dari Malika.
Terlihat menimbang, Shean menoleh lagi ke Malika.
“Mbak.” Panggilnya.
“Hm?”
“Saya mau minta bantuan boleh?” tanya Shean hati-hati.
“Tergantung, tapi aku usahain.” Jawab Malika.
Shean sedikit menimbang, dan menghela nafas setelah yakin. “Mau jadi pasangan saya?"
“HAH?!” Pekik Malika yang bersamaan dengan laki-laki itu menginjak rem ketika di lampu merah.
“Ma-maaf mbak, maksudnya—aduh gimana ya.” Shean bingung sekarang.
Malika diam, sekaligus syok dengan pertanyaan Shean tadi, terlalu cepat.
“Aduh mbak jangan salah paham, maksudnya mbak mau jadi pasangan saya pas datang ke nikahan mantan saya ngga. Gitu maksudnya.” Jelas Shean dengan sedikit kelabakan.
“Oh...” Malika mengangguk paham.
“Sebagai gantinya, nanti saya bisa temani mbak ke nikahan mbak juga.”
“Saya ngga datang.” Sahut Malika cepat.
“O-oh oke.”
Canggung sekarang, sama-sama bingung.“Kenapa harus saya mas?” tanya Malika.
Laki-laki itu mengusap lehernya. ‘iya ya kenapa harus Malika.’
“Apa karena mas tau semua masalah saya, jadi cari kesempatan gitu?”
“Nggak mbak, astaga maaf jika saya lancang. Mbak boleh pukul atau tampar saya, tapi nanti kita lagi dijalan, bahaya.” Kata Shean.
“Saya juga minta maaf kalau kesannya mencari kesempatan, tapi jujur saya tidak bermaksud apa-apa.”
Malika menatap laki-laki disebelahnya ini, kemudian tertawa sumbang—karena hidung sedikit mampet. Ia lalu menyandarkan tubuhnya, “mas ini sepertinya berbicara tanpa berpikir dulu.” Tebak Malika.