RatriKala-Prolog

31.5K 1.4K 7
                                    

Awal tujuannya tidak begini. Setelah selesai mengisi seminar di sebuah Institut kesenian di Daerah Jogjakarta, dia ingin kembali pulang ke Jakarta, secepatnya. Ingin segera menemui anaknya yang baru lima bulan lahir ke dunia, dan sementara waktu ia titipkan kepada orang tuanya terlebih dahulu.

"Ayolah, sebentar aja, nggak rugi juga." Itulah salah satu bujuk rayu Aryo teman sesama Dosen yang dikirim untuk mengisi seminar. Membujuknya agar ikut berkunjung pada sebuah pameran seni rupa yang diselenggarakan di kota ini, dan tempatnya tak jauh dari hotel tempat mereka menginap.

Memutar bola mata malas, tapi tak ayal ia pasrah ketika bahunya dirangkul akrab kemudian digiring menuju sebuah mobil yang memang dipersiapkan untuk akomodasi transportasi.

Tidak butuh waktu lama untuk memunculkan rasa antusiasme di dalam dadanya, ketika melihat deretan lukisan, patung, pahatan, dan ukiran yang banyak mengandung makna di setiap sentuhannya.

Sebagai seorang pengajar yang mengajar di bidang yang membutuhkan rasa yang mendalam terhadap keindahan. Dia menjadi mudah melihat suatu objek dengan prespektif yang berbeda hingga menimbulkan nilai estetika di dalamnya.

Begitupun terhadap sebuah lukisan beraliran surealisme, yang menggambarkan seorang pria yang tersenyum lebar dari satu sisi wajah ke sisi wajah yang lain, dan tangan kanan memasang satu matanya yang copot, sedangkan satu tangan yang lain menahan otak yang seakan mencuat keluar. Sedangkan, bagian dadanya yang bolong ia biarkan terbuka begitu saja, menampilkan organ dalam tubuh manusia.

Kemudian di belakangnya terdapat kursi yang tersusun dari tulang belulang manusia, dan menopang lilin yang bersinar redup.

~Djiwa~

Singkat, hanya itu penjelasan dari lukisan di depannya.

Benar-benar menampilkan kontradiksi antara mimpi dan realita. Apa maknanya? Ia tak yakin, karena jujur saja ia tak menganut faham aliran ini, walaupun ia memiliki beberapa lukisan sejenis di galeri-nya. Mungkin mental yang rusak.

Mengusap dagu, kakinya kembali menjejak, meneliti seluruh karya seni yang banyak dipajang di ruangan ini. Hingga ia menemukan sebuah lukisan yang terlihat usang dengan warna-warna yang sedikit pudar, karakteristiknya memang seperti itu.

Dia kembali meneliti isi lukisan itu sendiri, seorang wanita dengan rambut panjang mencapai bokong, wajah mendongak menatap rembulan yang digambarkan bersinar pendar. Pakaiannya, hanya sebuah jarik yang membebat tubuh dari dada sampai batas mata kaki, kemudian di bagian bahu terdapat selendang kuning yang tersampir ala kadarnya. Tipikal wanita jaman dulu, kerajaan, pelayan yang hanya memiliki kebebasan di malam hari.

Lukisan yang menampilkan realita di masa itu, untuk seseorang dari golongan bawah.

Dia menggeleng, mencoba memahami pesan yang tersirat dari goresan antik di hadapannya.

Tertekan, mungkin. Dia tak begitu yakin juga, lukisan itu terlihat biasa saja, bahkan detailnya tak serumit itu, mungkin hanya nilai historicalnya yang menjual. Tapi, dia kesulitan memahami apa makna yang terkandung dalam lukisan wanita tersebut.

"Naksir lo sama lukisan ini?" Ucap Aryo tiba-tiba, yang entah datang dari mana.

Dia hanya menggeleng sambil mengerutkan kening. Membaca keterangan di bawahnya.

RatriKalaRaga yang datang menjelang malam.

Menggeser netra, beralih pada sebuah patung dengan pose boss-menampilkan setengah tubuh dari dada ke atas. Patung dengan gaya pahatan yang begitu detail, dia dibuat takjub dengan setiap gumpalan marmer yang membentuk rambut, juga garis-garis lipatan pada selendang yang tersampir di leher. Mirip dengan patung-patung Romawi.

Keterangannya~Ribka~ Membalut kasih, dengan kesetiaan dan pengabdian pada Tuhan.

Dia termenung pelan, mengingat-ingat, oh, patung wanita ini adalah tokoh dalam Alkitab, dia pernah mendengar temannya yang seorang Katolik, bercerita tentang kisah Ribka atau Rebecca dan suaminya, Ishak, yang disatukan oleh kesetiaan dan pengabdian akan Tuhan.

Kepalanya mengangguk, mencoba berkonsentrasi.

Lalu tak lama netranya kembali bergeser pada lukisan usang tadi, hingga ia kesal sendiri, karena entah kenapa ketika matanya berlarian enggan menatap lukisan tersebut, namun pada akhirnya pandangannya kembali terpasung pada lukisan wanita itu. Dia merasa bahwa lukisan itu memilki daya magis yang kuat.

Sungguh, setelah ia amati, para pengunjung pameran ini, tak ada yang tertarik terhadap lukisan itu yang biasa-biasa saja, tak ada yang memotret, mengamati bahkan bertanya, sekiranya ingin membeli.

Sampai masanya kembali pun, benaknya tetap tertuju pada lukisan usang tadi. Dia menepuk bahu Aryo yang sedang menyetir sambil bersenandung kecil.

Aryo berpaling ke arahnya, dengan kedua alis bertaut.

"Stop dulu."

Setelah mobil benar-benar menepi, dengan cepat ia keluar dari mobil. Tak menghiraukan teriakan temannya.

"Ja, lo mau ke mana? Woy, Raja!"

Dia tak peduli, yang ia pedulikan adalah bagaimana ia mendapatkan lukisan itu, lalu ia pajang di galeri pribadinya sendiri, atau mungkin di ruangan lain di rumahnya.

TBC

Selasa 29 November 2022

RatriKala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang