RatriKala-Empat Puluh Empat

4.4K 336 3
                                    

Dia menatap telapak tangan dengan pandangan fokus. Berusaha memahami garis-garis tangan yang tergurat pada telapak tangan tersebut. Siapa tahu dia dapat membaca masa depan lewat garis tangan seperti seorang palmis yang ahli. Keningnya berkerut-kerut, tak menemukan jawaban, hingga ia mendesah keras-keras. Bertanya-tanya bagaimana mereka seorang ahli chirologi dapat mengklaim karakteristik dan meramalakan masa depan seseorang hanya lewat garis tangan. Apakah ada pelatihannya, kalau memang ada dia ingin mendaftar dan bergabung supaya dapat membaca masa depannya yang suram—dalam artian sulit diterawang, bukan suram—seperti seorang remaja nakal, hingga orang tuanya pusing akan jadi apa si anak saat dewasa nanti.

“Tolong, kamu baca garis tangan, Om.”

Dan pagi ini, otaknya mungkin belum bekerja seperti semestinya. Sehingga dengan tampang bodoh dia menyodorkan tangan kepada Kastara. Meminta untuk diteliti.

Dan mungkin itu hanya pikiran Kastara saja, karena tidak biasanya Reksa bertingkah tolol seperti ini. Walaupun dia memiliki hipotesa lain, bahwa tingkah aneh Reksa dimulai ketika dia terbangun di hari kamis dan Kastara tak dapat menemukan pamannya di mana pun di sepanjang hari itu. Kemudian keanehan itu berlanjut di keesokan harinya, saat pintu kamar Reksa terkunci. Pamannya kembali mengurung diri seperti perawan tua baru putus cinta. Yang mau tak mau kembali menggali ingatan yang tersimpan apik di kepala akan tingkah Reksa yang persis seperti ini, setelah mereka mengunjungi rumah angker si kakek tua.

Kastara hanya mampu mengerjap, sebelum dengan gerakan pelan mengambil ponsel dari dalam saku celana, mengaktifkan kamera di layar depan. Lantas menilik pada wajahnya sendiri. “Tampang gue nggak kayak dukun, kok,” gumamnya pada diri sendiri. Lalu, kenapa Reksa menyuruhnya membaca garis tangan seolah dia adalah paranormal yang ahli terhadap hal-hal magis. Dan berbicara tentang hal magis, bukankan Reksa adalah hal magis itu sendiri.

Kastara menyedot udara lewat hidungnya dengan tajam, kemudian mengembuskan kembali secara perlahan, sebelum bersuara lantang. “Om jangan bikin aku takut, ya!” Kastara beringsut, semakin merapat ke ujung sofa, dengan tubuh bergidik ngeri.

Reksa di tempatnya mengerutkan kening.

“Siapa yang mau bikin kamu takut? Om cuma mau kamu baca garis tangan Om. Siapa tahu kamu bisa baca kapan dan di mana Om mati.”

Kastara menunjuk-nunjuk ke arah dada Reksa dengan ekspresi ngeri, sembari berkata. “Tuh, ‘kan!” Beberapa kali.

“Ck.” Reksa berdecak, lantas menepis telunjuk Kastara yang mengacung kurang ajar ke arahnya. Setelahnya, pria yang bahkan tak ingat dengan usianya saat ini pun, menyandarkan tubuh pada sandaran sofa. Kemudian menutup wajah menggunakan kedua tangan, meredam rasa frustrasi.

Kastara mengecek penunjuk waktu terlebih dahulu dari layar ponselnya, sebelum kembali mematrikan perhatian kepada Reksa, guna berbicara serius.

“Om kenapa, sih? Aneh banget dari kemarin?”

Reksa hanya berdeham sejenak. Kedua tangannya terlepas dari wajahnya yang saat ini menengadah dengan mata terpejam. Menampilkan siluet  wajah maskulin yang sedikitnya membuat Kastara takjub. Kapan kulit lumayan gelap milik Om-nya itu, akan mengeriput seperti ayahnya yang telah tua renta.

Reksa membuka matanya sekilas, hanya untuk mengerling pada Kastara yang melongo menatapnya.

“Dari dulu Om emang aneh,” ucap Reksa membingungkan.

“Maksudnya?”

“Kamu tahu, siklus kehidupan yang pasti akan dialami oleh setiap manusia?”

Kastara tak mengerti, dia terdiam memikirkan tentang siklus kehidupan yang dimaksud pamannya. Apakah siklus kehidupan ini sama dengan siklus kehidupan yang dimaksud ayah Simba dalam film animasi terkenal The Lion King. Maksudnya setelah mati mereka akan terurai dan menjadi rumput atau tumbuhan hijau lain. Tapi, itu bukan hanya pengetahuan seputar film saja, dalam pelajaran biologi juga seperti itu—Mungkin— Kastara tak pernah mengingat setiap ucapan gurunya semasa sekolah dengan baik.

RatriKala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang