RatriKala-Tiga Puluh Sembilan

4.3K 392 12
                                    

Perjalanan ini begitu melelahkan, selain jalan yang terjal dan waktu tempuh yang jauh. Mereka berdua juga sudah kehabisan persediaan makanan.

“Biar aku saja,” tukas Bhadra, pria itu sigap berdiri, ketika melihat Ki Hlar Jagakerta berdiri untuk bersiap pergi. Dan dia mengetahui tujuan pria tua tersebut.

Setelah beberapa saat mereka duduk di bawah pohon rindang demi meluruskan punggung dan kaki, setelah seharian melakukan perjalanan yang melelahkan. Hari sudah mulai gelap. Suara-suara binatang malam mulai terdengar sendu di telinga, mengiris hati siapa pun yang mendengar.

Ki Hlar Jagakerta menggeleng. Sebelum berucap. “Tidak, ini bagianku. Kau sudah melakukan bagianmu tadi. Biarkan aku yang mencari makanan kali ini.”

Bhadra ingin menyela. “Tapi ...”

Sedangkan, gelengan kepala pria tua di hadapannya sudah menjadi tanda bahwa untuk saat ini dia tak ingin dibantah.

“Beristirahatlah, selama perjalanan ini. Kau yang selalu mencari makanan untuk kita. Sekarang giliranku,” ucapnya, dia melepaskan ikatan tali kuda pada sebuah pohon. Sebelum menuntun kuda hitam miliknya dengan santai untuk memulai pencariannya.

Sedangkan Bhadra dia hanya mampu menghela napas lelah. Kemudian menolehkan kepala ke arah kiri. Matanya melihat lebih jauh, pada api yang mulai dinyalakan oleh rombongan pangeran kejam yang saat ini ia buntuti keberadaanya. Cahaya kemerahan mulai tampak, menerangi sekitarnya yang sudah mulai ditelan gulita.

Dia berada di belakang rombongan. Tidak begitu jauh, tapi tak juga terlalu dekat. Hanya agar ia masih dapat menjangkau jejak rombongan, tanpa diketahui. Dia menghitung, sudah lima hari melakukan perjalanan menuju tempat asal sang pangeran. Lelah, itu sudah pasti. Tapi, dia hanya perlu menyabarkan diri. Demi bertemu dengan gadisnya yang bisa saja kesepian di tempat mana pun, ia berada sekarang.

Dia mengusap wajah, memilih kembali mendudukan tubuh sembari bersandar nyaman pada dahan pohon. Hingga kantuk menerpa, di kelelahan, hingga tak butuh waktu lama untuk membuat matanya terrutup rapat, dan beralih ke dunia yang lebih tenang—mimpi.

“Nak.” Bhadra menggeliat, kala mendengar panggilan lirih tersebut, disertai tepukan pelan pada pundaknya.

Dia mengeryitkan kening, ketika gulita, masih menjadi hal pertama yang menerpa pandangannya. Dan saat itulah dia menghitung, sudah berapa lama ia terlelap.

“Ki—”

“Ayo,” Ki Hlar Jagakerta mengedikkan kepala pelan. Pria tua itu sudah beranjak, guna menaiki kudanya.

Sedangkan Bhdra, masih merasa linglung. Dia mengerjapkan mata, dan melihat ke tempat di mana para rombongan sang pangeran beristirahat—mereka sudah bersiap, untuk melanjutkan perjalanan lagi.

“Ini masih gelap?” Tanyanya heran. Sebelumnya, rombongan akan melanjutkan perjalanan, saat udara mulai terasa hangat, karena matahari sudah menampakan wujudnya. 

Ki Hlar Jagakerta terdiam, dengan mata menerawang di atas kuda yang sudah ia tunggangi. Sebelum berucap yakin. “Mereka mengejar waktu untuk tiba di tempat tujuan lebih cepat.” Kemudian, menarik tali kekang kudanya. Hingga hewan berkaki empat itu, meringik dan berlari cepat. Mengejar rombongan yang sudah berjalan jauh di depan.

Membuat Bhadra buru-buru melompat pada punggung kuda hitam miliknya. Tanpa membuang waktu memacu kuda, demi mengejar Ki Hlar Jagakerta yang sudah terlebih dulu meninggalkannya.

Melewati hutan kembali, pada aliran sungai, dan lapangan rumput liar yang luas. Hingga matahari terlihat menyingsingkan cahayanya. Laju kuda Ki Hlar Jagakerta tak juga melambat, walaupun letak keberadaan mereka hanya berjarak sekitar dua puluh langkah dengan rombongan paling belakang dari prajurit si pangeran. Membuat Bhadra heran, dengan tingkah pria tua bergelar resi agung tersebut. Apa dia tak takut tertangkap para prajurit si pangeran?

RatriKala ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang