Kalau lu follow Twitter gue, lu pasti udah tahulah siapa Ayang ini.
“Permisi… boleh nggak kursinya didudukin?”
Lampu di dalam gedung waktu itu belum dimatiin. Gue lagi nunduk megang HP, nunggu-nunggu balesan WA cowok gue yang nggak kunjung di-read. Sejam lalu gue tungguin di kantor, nggak ada yang dateng. Semalam bilangnya mau ngejemput. Emang bener kata Mbak Din, Ari emang ada bangsat-bangsatnya. Berkali-kali gue curiga dia selingkuh, tapi ngeles mulu. Berdasarkan pengalaman gue, yang begini-begini ini mending langsung diputusin, Insting cewek setajam belati. Cuma karena belum terbukti, bukan berarti nggak terjadi. Dari tingkahnya aja udah aneh. Sekadar sibuk aja tuh nggak bikin perlakuan cowok berubah. Mana ada sih pacaran tinggal sekota, sampai dua hari kadang nggak balas WA? Kalau kita udah mulai gantian capek, baru dia nanya-nanya.
Sekalian aja nggak nanya gitu, biar gue anggap status gue jelas. Abang-abangan kosan gue juga masih banyak yang kelihatan nyaman ditidurin doang. Relationship sucks. Guenya juga bebal. Udah entah berapa kali hubungan gue gini lagi, gini lagi, tetep aja gue jatuh cinta lagi, jatuh cinta lagi. Shit. Kalau kali ini gue putus, gue mau pay for sex aja kayak Mbak Din. Persetan cinta tai kucing.
Nahan air mata, gue pun mendongak ngelihatin muka cowok aneh yang nanya apa kursinya boleh didudukin itu. Muka-muka standar dengan senyum manis dan lesung pipi samar. Muka yang nggak bikin lu nengok dua kali kalau papasan di jalan. First of all, kursi mana yang dia maksud boleh dia dudukin? Kursi gue? Soalnya dia nggak nunjuk kursi yang mana.
“Kursi yang mana?”
“Yang itu.”
“Yang ini?”
Dia ngangguk waktu gue nunjuk kursi gue sendiri.
“Mohon maaf, ya, Mas… pertama-tama… ini gedung bioskop, bukan halte bus,” ketus gue. “Yang nentuin siapa yang boleh duduk di kursi mana bukan saya, tapi tiketnya. Silakan duduk sesuai nomor masing-masing.”
Gue udah melengos, nekunin layar HP gue lagi, tapi makhluk itu masih belum pergi. Dia kenapa, sih? Creepy banget. Masa sih belum pernah nonton bioskop sebelumnya? Lagian, kalau emang dia kira sistem tempat duduk bioskop itu kayak layar tancep, kan dia bisa duduk di tempat lain. Banyak yang kosong.
“Shit,” umpat gue, lalu mendongak lagi. “Gue ya yang salah tempat duduk?”
Gue pun merogoh tiket di saku kemeja. Sialan. Gara-gara sibuk maki-maki Ari di WA, gue cuma ingat deretan duduk gue. Tanpa ngomong apa-apa, gue angkat bokong gue, dan gue geser satu kursi di sebelah gue. Malu banget anjir. Muka gue merah, untung setelah dia duduk, lampu gedung bioskop dimatiin.
Ari baru datang lima belas menit setelah film diputar.
“Sorry, Babe…,” bisiknya, sambil garuk-garuk di jarak antara kedua alisnya. Gue melirik. Jantung gue berdegup sekali, tapi kenceng banget. Sampai sakit rasanya. Gue perhatiin, kalau dia bohong, dia selalu garuk satu bagian di mukanya. Entah puncak hidung, kening, atau pipi. “Aku nggak bisa ninggalin kerjaan.”