Siapa sih pagi-pagi udah ketuk kamar orang? Belum juga ada jam delapan. Gue taruh handphone di atas kasur dan gue tinggal ke pintu. Sebelum gue buka, gue intip dari lubang di pintu, tapi gelap. Jantung gue mencelus. Siapa nih yang datang pakai nutupin lubang pintu? Jangan-jangan gue mau dilabrak, atau digrebek. Tapi siapa juga ngelabarak gue dan Bagas? Kalau digrebek, ngapain bukan tadi malem pas jamnya semua pasangan kumpul kebo lagi ewita? Gue intip di balik tirai, cuma keliatan kakinya doang karena orang itu nempel di dinding.Akhirnya, kunci gue putar, dan gue melongok ke luar. Cuma muka gue aja yang kelihatan, soalnya gue nggak pakai bra, dan cuman pakai celana dalam doang. Alangkah kagetnya gue, ampe speechless, gara-gara yang nongol depan muka gue tuh si dia. Cowok itu. Yang namanya nggak mau gue sebutin lagi, cuman sekali di chapter sebelumnya. Kenapa? Yah… biar gue dan segelintir orang aja yang tahu.
( Ini apa, sih? Ini kan harusnya novel, bukan buku harian, Tam!)
“Hai,” sapanya manis. “Pagi. Baru bangun, ya?”
Gue nelen ludah. Sialan. Mana Bagas lagi di kamar mandi, gue nggak bisa ngasih tahu dia buat sembunyi, atau jangan keluar-keluar dulu. Gue udah kayak pacar yang ketangkap basah aja rasanya. Padahal kan enggak.
“Tam…,” panggil dia, ngeliatin gue bengong doang.
“U—udah dari tadi, kan? Kan kita chat dari sejaman yang lalu,” kata gue. Badan gue masih tersembunyi di balik pintu. “Lu ngapain di sini?”
“Kan tadi aku nanya… mau makan bareng?” katanya.
Alis gue mengerut. “Kan gue nggak ada bilang gue mau… lu juga nggak bilang kalau lu udah ada di sini.”
“Aku semalam baru nyampe,” katanya. “Nginep di kosan Damar. Mantan kamu udah pindah dari sana.”
“Informasi nggak penting,” kata gue refleks. Segala info tentang mantan gimana, sih? Pasti bikin kesel, kan?
“Sorry—”
“Eh… nggak papa, kok,” kata gue. “Sorry, gue yang sewot. Thanks atas infonya. Palingan dia pindah ke apartemen ceweknya. Gue denger-denger… itu CEO tempat dia kerja. Jadi wajarlah dia ninggalin gue.”
Si Ayang yang waktu itu belum jadi Ayang gue, ngangguk-ngangguk doang. Canggung. Guenya juga canggung. Cuma pakai panties, semalam habis ngewe sama sahabat gue, dan orangnya masih berak di kamar mandi pula. Gue nggak bisa keluar, atau nyuruh dia masuk. Nggak kepikiran aja minta dia nunggu supaya gue bisa pakai bra dan celana, terus gue seret keluar sekalian nyari sarapan, atau apa. Malah sama-sama bengong kayak orang tolol.
“Ya udah,” katanya. “Kalau aku ganggu, maaf, ya. Harusnya aku bilang dulu kalau mau ke sini. Soalnya aku bingung mesti ngomong gimana—”
“Ngomong apa?”
“Ngomong kalau aku pengin ketemu dan main ke kosan kamu.”
“Kan lu tinggal bilang aja, tiap hari juga kita ngobrol.”
“I—iya sih, tapi….”
“Tapi apa?”
“Tapi kan kamu baru putus, di depan mataku lagi… takut kesannya aku terlalu buru-buru gitu,” dia menggaruk keningnya.
“Emangnya lu buru-buru mau ngapain habis gue putus?” pancing gue. “Kan… cuman mau main doang… ngajak sarapan… atau lu… punya agenda lain main ke sini?”
Muka cowok itu langsung merah. “Nggak… bukan gitu… maksudnya… ya nggak enak aja. Ya udahlah. Aku balik aja… kamu juga kelihatannya lagi nggak pengin keluar. Kapan-kapan lagi aja aku mampir, ya?”