"Serius lu nggak akan masuk?"
"Lu nggak denger di dalam mereka lagi ngapain?"
"Jelas-jelas lagi ngentot, kan bagus lu bisa seret mereka dalam keadaan telanjang bebas!"
"Telanjang bebas... telanjang bulat!" seru gue sambil melepas napas lelah. "Biarin aja lah... biar pada enak dulu. Yang penting gue udah lega."
Gue beneran udah capek. Malahan Bagas yang lebih semangat ngedamprat Ari dibanding gue. Sekarang, kalau lu jadi gue, lu mau ngapain? Ngedobrak pintunya? Marah-marah ke ceweknya? Buat apa? Cowok gue yang bangsat. Selingkuhannya bangsat juga, itu sih urusan dia sama masa depannya ntar. Gue hanya ingin Ari tahu bahwa gue udah tahu semua kelakuannya, jadi dia nggak bisa mengelak lagi. Gue hanya ingin hubungan ini berakhir tanpa ganjalan.
Bagas akhirnya menyerah. Dia duduk di samping gue. Ngemper di teras kamar kosan Ari. Lengannya merangkul gue dan menepuk-nepuk pundak gue. "Sabar, ya? Habis ini... bismillah lu dapet cowok baru yang lebih oke, lebih baik, lebih tajir, lebih enak ngewenya dibanding Ari. Apa lagi yang lu minta? Mumpung lu lagi teraniaya... siapa tahu doa lu dijabah."
"Gue nggak mau pacaran dulu ah...."
"Terus... kalau lo horny gimana?"
"Kan ada elu...."
"Tapi lu bayar, ya?"
Gue ketawa. "Najis!"
Ari dan ceweknya masih berisik aja di dalam. Gue dan Bagas udah santai-santai nyandar di tembok. "Lama juga ya mereka mainnya," celetuk Bagas bosan. "Sama lu juga lama gitu?"
"Gue udah lupa," jawab gue asal. "Udah lama enggak. Makanya gue sih nothing to lose aja kalau putus... nggak ada untungnya juga pacaran."
"Gue gedor aja sih pintunya, ya? Biar lu bisa segera putus. Gue mesti berangkat kerja dua jam lagi, nih...."
"Okay, deh," jawab gue, bersamaan dengan datangnya sebuah motor memasuki pelataran parkir kosan Ari. Gue udah berdiri, Bagas malahan bengong. "Kenapa, sih, lu?"
"Itu...," tunjuknya.
"Apa?"
"Itu bukannya cowok yang lu bayarin minuman semalam?" tanya Bagas.
Gue menoleh dan buru-buru nyembunyiin muka gue lagi dengan membelakangi cowok yang lagi ngelepas helm-nya itu. Kok dia bisa ada di kosan Ari, sih? Boncengan sama tetangga sebelah kamar Ari lagi. Jadi dia udah pernah ngelihat Ari sebelum di gedung bioskop itu, dong? Makin panas muka gue. Gue melampiaskannya dengan memelototi Bagas, "Kita balik aja sekarang, Gas!"
"Heh? Kenapa? Nggak beres-beres, dong, urusan lo? Nggak. Gue udah jauh-jauh ke sini, kalau nggak jadi ada keributan, gue rugi!"
Sialan. Bagas, nih. Dia nggak tau apa gue malu banget semalam?! Habis kami cipokan, gue tinggalin dia begitu aja. Gue balik ke meja Mbak Din, tapi sampai gue berhasil menyeret bos gue itu pulang, cowok itu masih curi-curi pandang ke gue dari meja tempatnya ngumpul sama temen-temennya.
"Lu nggak mau nyapa dia?" tanya Bagas.
Gue menggeleng,
"Kenapa? Bukan tipe lu? Perasaan semalam seru...."
"Gas... gue nggak mau ngomongin itu. Sekarang, gue mau pulang aja. Biar urusan sama Ari gue selesaiin sendiri nanti. Ayok!" ajak gue. Gue seret tangan Bagas. Posisi gue masih membelakangi cowok itu dan temennya. Kayaknya mereka baru beres beli makanan. Bukannya paham gue berusaha biar dia nggak ngelihat gue, Bagas malam melambai-lambaikan tangannya.
"Eh... itu bukannya bartender yang semalem!" celetuk cowok itu.
"Oh iya," gue mengenali suara Damar, tetangga sebelah kamar Ari yang udah nempatin kamar itu jauh lebih lama. Dia kenal gue banget. Makanya habis itu, Damar menyebut nama gue, "Tam? Ngapain di sini?"