Chapter 8
Suka Kamu
“Ngapain lu nungguin gue?” bentak gue tertahan.
Sedetik yang lalu, gue sempat menggigil ketakutan. Gue pikir setan, atau nggak orang jahat. Tapi, waktu gue ngeliat mukanya, bukannya lega, gue malah makin sewot. Refleks, gue memeluk tubuh gue yang malam itu udah siap tidur, cuma pakai kaus kecil dan celana pendek. Nggak pakai bra. Kalau nggak gue tutupin, dia pasti bisa ngeliat puting gue kecetak jelas. Nggak tahu kenapa, puting gue emang gede banget. Kayak ibu-ibu menyusui. Anjir. Bunting aja belum pernah.
“Aku mau minta maaf,” katanya, jujur. Sontak, mukanya mengeruh kelihatan bersalah. “Aku bingung.”
“Bingung kenapa lu? Lu pikir lu siapa? Lu bukan siapa-siapa gue, ya. Lu nggak berhak ngehakimin gue. Gue mau tidur sama siapa, mau ngapain, bukan urusan lu kali. Kalau lu jijik ama gue, ya udah. Ngapain lu mesti balik ke sini malam-malam? Mau diteriakin maling lu? Emang lu chat aja nggak bisa? Ganggu banget jadi orang! Gue nggak suka.”
“Nggak bisa.”
“Ha?”
“Kan kamu block nomorku,” katanya.
“Oh iya…,” gumam gue. Lalu gue menaikkan dagu lagi. “Itu tahu udah gue block. Artinya, gue nggak mau berurusan sama lu lagi. Pergi lu dari sini!”
Dia mengesah. “Ya udah… kalau kamu masih marah,” katanya. Dia mundur, ngambil sesuatu dari tempatnya duduk tadi. “Ini dimakan aja, yah?”
“Apaan, tuh?”
“Martabak.”
“Kenyang!”
Tangannya yang udah terulur jatuh lagi terkulai di sisi pinggang. Gue cepat-cepat berpaling sebelum ngerasa kasihan. Udah berapa lama dia nungguin gue di sini? Bajunya belum ganti, mukanya kucel kayak belum mandi seharian. Gue mengigit bibir. Mulai resah. Gue orangnya paling nggak tegaan kalau udah dimintain maaf gini. Diam-diam, mata gue berkaca-kaca. Nyesek aja gitu nggak tahu kenapa.
“Berhubung kamu kayaknya marah banget… mending aku jelasin sekarang, ya? Siapa tahu kamu beneran nggak mau ketemu aku lagi,” dia bilang.
“Nggak usah.”
“Biar aku nggak ngerasa bersalah, Tam….”
“Urusan elu lah.”
“Bentar aja.”
“Nggak!”
“Dikit aja….”
“Kok lu ngotot, siiih?” pekik gue gemas. Kaca-kaca di mata gue makin tebal. Mana setelah pekikan kencang gue itu, tetangga kosan gue mendesis lagi. Suara gue kekencengan. “Udah, ah. Gue nggak mau bikin keributan di sini. Lu pulang aja. Gue bukan cewek baik-baik, kok. Gue suka ngewe sembarangan!”
“Damar bilang… kamu cewek yang setia.”
“Damar nggak tahu apa-apa tentang gue. Kan lu lihat sendiri tadi pagi. Lu pasti bisa menduga gue habis ngapain sama Bagas semalam, kan? Mau lu sama cewek kayak gue? Hah?”
Dia menarik dagunya ke belakang. “Kalau ditawarin sih mau,” katanya. Muka gue langsung merah. Emang siapa juga yang bilang dia mau ama gue. Makin tengsin aja gue dan makin murka. Gue malu setengah idup. Gue mengentakkan kaki, tapi cowok itu menghalangi langkah gue. “Satu menit,” katanya.
Gue menahan rasa tercekat di tenggorokan. Rahang gue mengatup. “Gue tersinggung banget ya sama sikap lu,” kata gue. Suara gue langsung gemetar. “Lu kalau nggak tahu apa-apa tentang gue, jangan main baik-baikin orang sembarangan, dong. Cari tahu dulu tentang gue, baru chat intens, baru tau-tau muncul ngajak sarapan. Jangan udah semua lu lakuin, lalu ngelihat hidup gue… lu kabur gitu aja. Lu pikir gue apaan?”