9. Foreign Portraits

2.2K 273 21
                                    

Kabut dan malam menyelubungi Rumah Teratai. Hujan rintik sayup-sayup memecah keheningan malam. Aroma hujan dan Teratai yang mekar mengaburkan kesadaran, angin malam yang sejuk menggoda dan menidurkan pekerja Kementerian yang mengambil tugas malam.

Hujan di sepertiga malam telah berlalu. Langka terjadi. Hanya sekali dalam satu waktu. Kelangkaan nya menjadikan hujan dalam purnama sebagai waktu yang sakral. Ritus kuno para hamba Pagan, merakit racun tak ber penawar, pun waktu untuk berdoa pada Yang Maha Berkuasa.

Bagi Voldemort, ini adalah waktu yang sakral untuk para roh. Khususnya yang masihlah terikat pada Dunia Makhluk Fana.

Bersila di depan lukisan tambatan hatinya, alat musik tradisional dari Asia Timur di hadapannya. Bertahun-tahun semasa muda ia habiskan meneliti tentang keabadian dan roh, ia temukan cara untuk berkomunikasi dengan para roh. Di Asia Timur, Orang-orang di masa lampau berkomunikasi dengan para roh melalui musik. Musik khusus para pertapa di puncak gunung yang telah menyentuh benang keabadian. Musik yang menjadi bahasa dalam berkomunikasi, bagi dua dunia yang dibatasi oleh tabir yang maha gaib.

Jari-jemari menyentuh senar, memetik membentuk nada. Terampil dan tak bercela. Sihir mengalir lembut di udara, dan nada-nada lagu yang suci melayang-layang, menjangkau roh-roh sekitar.

Nada yang syahdu mengalun selaras dengan hati pemain. Lembut dan menyedihkan. Mengandung segala bentuk kesedihan dan kerinduan pada kehangatan, pada cinta, pada rumah.

"Harry Potter, pernahkah kau melihatnya? Wahai roh yang baik."

"Tidak. Maaf."

"Leluhur ku yang Agung, adakah kau melihat roh ibu dari putri rumah bangsawan ini?"

"Tak satupun di antara kami melihat roh yang kau cari, Darahku."

"Harry, di mana kau?"

"Harry, jawab aku."

"Di mana kau berada, Harry?"

"Jawab aku. Sebentar saja."

"Athlarien membutuhkanmu."

"Harry, jawablah meski kau enggan."

"Harry, jika kau tak mau menjawab karenaku, jawablah untuk Athlarein."

"Harry, putrimu membutuhkanmu."

"Harry-"

"Harry-"

"Harry..."
.

.

.

.

.

"Di mana kau? Aku me-."

Hujan mendadak berhenti. Suasananya teduh. Rintik-rintik hujan memecah permukaan danau yang tenang. Hujan bulan purnama datang tanpa gelagat, pun hilang tak bertanda.

Dengan berakhirnya hujan di bawah bulan purnama, maka habislah kesempatan untuk berkomunikasi dengan para roh.

Habis gaib yang tadinya longgar, kini menjadi rapat tak bercela.

Voldemort tertegun. Ia terengah-engah. Ia panik dan merasa tak terima. Masih banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan. Kenapa hujan harus berhenti. Bisa saja kali terakhir itu yang ia cari akan menjawabnya.

Voldemort menutup mata. Sihirnya mengalir lebih deras dari pada yang sebelumnya. Jemari terampil terus bermain di atas senar-senar musik. Kini yang keluar hanyalah lagu biasa. Lagu yang menyedihkan bagi hati yang mendengar. Alunan musik terus-menerus dimainkan, tanpa henti mencoba menjangkau yang ingin dituju.

Step On The Lament || {TOMARRY}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang