P E R G I

12 1 0
                                    

"Alda Zafira Febyasti, salam kenal ya, Rendi," Gaya bicaranya masih terbenak dalam pikiranku.

Kita sama sama tersenyum, perkataan ku tidak salah bahwa aku akan dikenalkan oleh dia. Namum senyuman itu kini berubah, hal yang tak ingin aku dengar dan dia menyebutnya.

Malam yang suram mencekam, awan di atas sana kian menggulung dan ada juga yang menyebar, tidak ada cahaya bulan menerangi bumi, gelap.

Seperlima menit aku mendapati orang orang yang lalu lalang di depan rumah, menggema terdengar di telinga. Memberi isyarat dengan melambai tangan, klakson yang terkadang mengagetkan diri dan bahkan ada yang menyempatkan untuk berhenti dan mengajakku untuk keluar malam.

"Apa yang kamu lakukan di depan sini, kamu ingin sakit?" Duduk di sampingku, memberikan sepotong roti manis pemberian paman yang belum lama datang ke rumah.

"Tidak ada," jawabku berbohong.

"Jangan berbohong, percuma, hanya akan menumpuk masalah," kak Liza tau kalau aku berbohong, menyenggolkan sikutnya yang mengenai tanganku.

"Kak ceritakan kepadaku perjalanan kamu di sana," aku memintanya.

"Tidak ada yang bagus, justru kk ingin terus di rumah,"

"Kenapa bisa seperti itu?" Tanyaku lagi.

"Ya, suasananya panas. Debu sudah pasti banyak," terangnya.

Aku teringat sesuatu, "Kak Liza,"

"Iya, kenapa?"

"Sekarang tanggal berapa kak?," kataku mengalihkan percakapan.

"Tanggal 16, memang kenapa?" Dia belum sadar kalau esok akan kuliah.

"Bagaimana dengan besok?" Aku mulai meyakinkan nya lagi.

Sempat ia berfikir sejenak, dan, "Astagaaaaaaaaa, Rendiiiiiiiii, kenapa tidak mengatakan dari awaaal. Aku ada tugas presentasi besok,," teriaknya keras di daun telingaku.

"Sssssth, jangan keras keras, semuanya bisa keluar kalo kakak teriak," aku membungkam mulutnya. "Kerjain sana, haha,"

"Dasar pembohong," dia pun berlari layak seperti sedang terkejar setan.

"Hahaha, urusan orang lain jangan terlalu di pedulikan. Kan susah dengan urusan sendiri," aku pun menertawakannya. "Sekarang siapa yang terlihat bodoh," Selalu saja seperti itu, padahal dia 2 tahun lebih tua dariku, tapi masih seperti anak kecil.

Aku kembali membaca novel dan buku diary yang sedari tadi ada di sampingku, aku suka membaca dan dengannya aku mengadu, bercerita dan mencurahkan semua yang ada di fikiran ku sendiri.

Semuanya hobi yang aneh itu aku lakukan sejak duduk di kelas 3 SMP, sudah hampir tiga buku lebih yang aku relakan hanya untuk mengungkapkan isi hati.

"Bodohnya, kenapa Alda masih sempat bertanya tentang dia," gumam ku di dalam hati.

"Rendi, makan malam sudah siap!" kata Ibu dari dalam rumah.

"Sebentar, aku pasti akan ke sana," jawabku dari depan teras rumah, langsung ku tutup buku yang terbuka di tangan dari awal dan beranjak pergi, mencoba masuk ke dalam rumah.

Kala ia masuk, "Ayah, untuk apa kertas ini?" Rendi mendapati sebuah potongan kertas yang tidak tahu untuk apa.

Dan di samping itu pula, kak Liza yang sedang sibuk di dalam kamarnya. "Kak, sudahlah kita makan dulu,"

"Sebentar lagi, ini semua gara gara kamu tau nggak,," jawab kak Liza yang masih marah walau itu adalah ulahnya sendiri.

"Kalian berdua semangat sekali malam ini, apa yang sedang terjadi, hmm?" Tanya ibu padaku.

Pesan SingkatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang