O3.

2.4K 368 11
                                    

"Langit, hey? Bangun, hari ini lo sekolah kan?"

Suara berat Mahen memaksa langit untuk membuka matanya. Ia mengerjap pelan, membiasakan sinar lampu yang menyinarinya lembut.

Ia segera mendudukan dirinya dengan rambut tebalnya yang berantakan. Mahen terkekeh melihat wajah kusut langit.

"Ayo bangun, hari ini gue yang bakal anterin lo ke sekolah"

Langit hanya mengangguk sebagai respon. Ia masih mengumpulkan nyawanya.

"Mahendra! Cepat turun dan sarapan!"

Mahen tertawa, membalas ucapan mamanya, berkata akan segera turun.

"Mau mandi dulu apa sarapan dulu?"

"Man— di. Mau mandi dulu" Langit menjawab dengan suara seraknya. Mahen mengangguk dan mengusak rambut berantakan langit sambil tersenyum.

"Kamar mandi ada di sana, handuk ambil di lemari gue aja."

Setelah mengatakan itu, Mahen keluar dari kamarnya. Meninggalkan Langit yang masih terdiam di kasur. Remaja itu segera beranjak turun dan mengambil handuk. Saatnya mandi.

"Mahen, sejak kapan kamu kenal sama remaja itu?"

Mamanya bertanya, Mahen mengunyah nasi gorengnya.

"Tahun lalu, kayanya. Tapi kita cuma temen waktu itu."

Mamanya mengangguk mengerti. Tersenyum simpul.

"Dia manis," Ayahnya berujar.

"Ya?" Beo Mahen bingung.

"Pacar kamu, dia manis" Ayahnya memperbaiki kalimatnya.

"Tadi malam, dia terbangun, dad masih ada di sini mengerjakan sesuatu. Dia menawari kopi untuk dad, bahkan merapikan dapur."

Mahen terdiam. Ternyata Langit bisa membaur cepat dengan kedua orangtuanya. Mamanya bertepuk tangan kecil.

"Wah pantas saja dapur sudah rapi tadi pagi, sepertinya keputusan kamu menikahi pacar kamu itu keputusan yang tepat!"

Mahen tertawa. Suara langkah kaki menuruni tangga menginterupsi ketiganya. Langit turun sudah lengkap dengan seragam putih abu abunya. Tangan kanan remaja itu menenteng tas hitam.

"Eh, Pagi.. om tante?"

Mama Mahen tertawa pelan. Melambaikan tangannya. Langit balas melambaikan tangannya ragu ragu. Ada satu kursi kosong di meja makan itu.

"Sini, Langit. Duduk"

Mahen menepuk kursi di sebelahnya sambil tersenyum. Langit mengangguk, menuruti perkataan Mahen untuk duduk di kursi kosong yang ada disana.

"Langit, kamu sekolah dimana, nak?"

Langit menoleh ke arah mama Mahen, sedikit terkejut dengan pertanyaan tiba tiba darinya.

"Ah, aku di Garuda tante."

Mama Mahen tersenyum, memegang tangan Langit lembut. "Ah berarti dekat, ya? Mulai sekarang Mahen aja yang anter dan jemput kamu ya? Terus, panggil saya Tante Krisan aja, atau panggil mama juga boleh!"

Langit tertawa canggung dan mengangguk sopan. Tante Krisan ternyata orang yang ramah. Ia melirik ke arah papa Mahen, ia belum mengetahui nama laki laki paruh baya itu.

Mahen mengambil tisu yang ada disana. Berdiri dari posisi duduknya dan mengambil tas kerja miliknya.

"Aku udah selesai, aku bakal keluarin mobil dulu. Kamu sarapan aja ya, kalo udah bisa langsung keluar" Mahen berucap sambil mengusak rambut Langit pelan.

Suddenly we're married. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang