Hai bestie
Jangan lupa follow akun ini ya, karena setiap aku up aku bakal umumin di wall supaya kalian gak ketinggalan.
Enjoy bestie.
---
Gadis dengan pakaian serba hitam itu berjalan gontai di bawah langit yang sudah menurunkan hujan dari pagi, kedua matanya tampak memerah karena menangis. Penampilannya saat ini bisa di katakan tidak baik-baik saja, tak perduli pandangan orang-orang di sekitarnya. Ia terus berjalan menerobos hujan yang begitu deras.
Raina berhenti tepat di depan rumah yang bernuansa putih, rumah yang hampir 8 tahun ia tempati bersama keluarganya. Tak dapat di pungkiri jika hati kecilnya tak mau memasuki rumah itu, namun ia tak bisa mengikuti ego diri sendiri. Baginya, rumah itu hanya melindungi Raina dari hujan dan panas saja, tidak memberikan kenyamanan atau ketenangan.
Dengan penuh keraguan, Raina membuka pintu perlahan. Gelap dan sepi, 2 kata yang menggambarkan suasana rumahnya saat ini. Ia memasuki rumahnya dengan langkah pelan agar tak mengganggu orang rumah. Namun, baru dua langkah ia berjalan lampu yang tadi mati kini menyala, memperlihatkan sang mamah yang saat ini tengah menatap tajam kearahnya.
"Jam berapa sekarang?'' tanya mamah Raina dengan suara yang pelan tapi tajam.
Raina menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah sang mamah.
"Anak gadis jam segini baru pulang, mau jadi apa kamu, ha?!" Arumi berteriak tepat di depan wajah Raina.
Raina menautkan kedua telapak tangannya, dingin yang mendominasi tubuhnya semakin menjadi. "Raina abis dari makam ay--"
"Lagi?" Arumi memotong ucapannya membuat Raina semakin takut untuk mengangkat kepalanya.
"Raina, mau kamu nangis darah sekalipun enggak membuat ayah kamu bangkit lagi, sadar! Jadi untuk apa kamu setiap hari kesana, HA?! Apa kata tetangga melihat anak gadis baru pulang jam segini, Raina! Kamu cuma bikin malu mamah," ucap Arumi tanpa memperdulikan perasaan Raina.
"Maaf," lirih Raina yang masih setia menundukkan kepala.
Tanpa memperdulikan Raina, Arumi pergi dari ruang tamu. Raina menatap punggung sang mamah dengan tatapan yang penuh dengan kesedihan. Ia pun melangkahkan kakinya menuju kamar, dengan langkah gontai menaiki anak tangga satu persatu.
Raina melepas kacamata yang sedari tadi bertengger di hidungnya, ia mengganti pakaian dengan baju tidur. Setelah itu, ia merebahkan tubuhnya di kasur mini size miliknya.
"Yah, andai ayah masih ada mungkin Rai enggak akan merasakan kesedihan seperti ini," ujar Raina sembari melihat atap kamar miliknya.
Tanpa disadari mata indahnya menutup perlahan-lahan. Dengkuran halus dengan irama beraturan kini mulai terdengar, itu menandakan sang empu kini sudah tertidur pulas.
Di waktu yang sama, tempat yang sama kini dua orang dewasa sedang berbicara serius. Mereka saling melempar perkataan seolah-olah mereka paling benar.
"Arumi, saya mohon jangan terlalu keras kepada Raina. Kamu tidak ingat bagaimana Andin meninggalkan rumah ini?" Pria dengan setelan baju satpam itu memegang pundak Arumi.
Arumi menghembuskan napasnya kasar, ia melepaskan tangan sang suami dari pundaknya.
"Saya cuma enggak mau Raina terus-menerus pergi ke makam mas Husein. Ini sudah berapa tahun, mas, saya ingin Raina mengikhlaskan kepergian ayahnya. Apa saya salah?" ucap Arumi.
Pria itu menggelengkan kepala untuk pertanyaan Arumi, "tapi Arumi, mungkin cuma itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan luka Raina atas kepergian ayahnya. Kita cukup memantau, tidak perlu mengucapkan kata-kata yang menyakiti hatinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN(A)•ON GOING
Teen Fiction-Aku suka hujan, karena hujan adalah simbol harapan- Apakah jika kita sering tertawa tanda hidup ini baik-baik saja? Apakah jika setiap malam selalu menangis, kita adalah orang yang lemah? Berkeluh kesah di media sosial itu perkara yang lebay? Nyata...