Di bawah udara siang yang tidak terlalu terik, beberapa penduduk Desa Beji yang semula tenang-tenang saja, mendadak seperti tersirap. Mereka yang semula sibuk dengan pekerjaan masing-masing langsung menghentikan kegiatan, begitu di tempat jalan utama desa ini berjalan seorang laki-laki asing berusia sekitar dua puluh delapan tahun dengan pakaian compang-camping.
Yang membuat kening para penduduk desa itu berkerut keheranan, orang asing yang masih muda itu tengah menarik sebuah peti mati usang terbuat dari kayu jati dengan seutas tambang. Tubuhnya kurus. Rambutnya panjang dan kusut masai. Sebagian malah menutupi wajah. Kulitnya kusam dan dekil seperti tidak pernah terurus.
Pemandangan aneh itu, membuat beberapa penduduk saling berbisik. Sementara itu anak-anak kecil yang sejak tadi menakuti pemuda itu terus berteriak-teriak. Dan sebenarnya memang ada keanehan lain. Karena, peti mati itu terlihat berat. Sementara pemuda yang menariknya hanya menggunakan sebelah tangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau mengalami kesulitan.
"Orang gila! Ada orang gila, woooiii...!" teriak anak-anak kecil itu.
Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan ketika para bocah itu melempari kerikil, dia tidak bergeming. Beberapa buah sempat menyambar punggung dan batok kepalanya. Tapi, dia sama sekali tidak merasa sakit. Sehingga membuat beberapa orang penduduk yang tadi melihatnya, kini menaruh iba.
"Hei, anak-anak! Pergi sana! Pergi! Jangan mengganggu dia...!" teriak seorang penduduk yang mungkin merasa kasihan melihat pemuda berpakaian gembel.
Walaupun sambil berlari bocah-bocah itu tetap mengejek seraya menjulurkan lidah. Sementara laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengusir anak-anak kecil tadi menghampiri pemuda gembel yang menyeret peti mati.
"Kau tidak apa-apa, Kisanak...?" sapa laki-laki itu ramah.
Pemuda berpakaian compang-camping itu diam saja. Bahkan tidak menghentikan langkah. Apalagi menoleh!
"Kasihan.... Mungkin kau tuli...," gumam laki-laki penduduk desa ini, lirih.
Tapi tiba-tiba pemuda gembel ini berhenti, dan langsung berbalik. Dipandanginya orang itu sekilas. Yang dipandang langsung bergidik ngeri, melihat sinar mata laki-laki gembel yang berkilat tajam, seperti menusuk langsung ke jantungnya.
"Eh! Ma..., maaf...," ucap penduduk desa ini pelan, lalu buru-buru menjauh.
Pemuda berpakaian gembel itu tidak mempedulikannya. Dia kembali berjalan. Sementara beberapa pemuda penduduk desa ini mulai tertarik. Diam-diam mereka mengikuti ke mana arah tujuan gembel itu.
"Hei? Lihat, Lanang, Tambuk! Dia menuju rumah Ki Jaban!" kata seorang pemuda berpakaian merah, yang berjalan bersama dua orang kawannya. Kepalanya sedikit dimiringkan ke arah dua pemuda yang dipanggil Lanang dan Tambuk.
"Mau apa dia ke sana, Kojar? Ki Jaban itu tokoh hebat? Apa dia mau can gara-gara?" tanya pemuda berpakaian putih bernama Lanang.
"Mungkin musuhnya barangkali...," timpal yang bernama Tambuk.
"Hush! Sembarangan kau bicara, Tambuk!" sentak pemuda yang bernama Kojar.
"Siapa yang berani melawan Ki Jaban? Gembel itu kelihatan lemah. Pasti dengan sekali tiup, tubuhnya akan terpelanting!"
"Eee.... Jangan sembarang menilai kau, Kojar! Coba tadi perhatikan! Gembel itu dilempari batu oleh anak-anak kecil. Tapi dia tidak mengelak. Dan sama sekali tidak merasakan sakit. Apa namanya itu? Dia juga tidak berdarah. Orang seperti dia harus dicurigai! Jangan-jangan, dia malah tokoh hebat!" sergah Lanang.
"Apa iya...?" Kojar mulai terpengaruh.
Pemuda berpakaian merah itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Sementara mereka terus melangkah, membuntuti gembel yang telah tiba di depan rumah orang yang disebut-sebut sebagai Ki Jaban. Agaknya mereka tidak puas kalau tidak melihat apa yang akan dilakukan pemuda gembel itu dari dekat.
"Betul! Dia menuju rumah Ki Jaban!" seru Tambuk.
"Gila!, Aku tidak habis pikir, mau apa dia ke sana?!" desis Lanang.
"Mau mampus barangkali!" timpal Kojar.
"Sudah, diam! Kita lihat saja apa maunya" tukas Tambuk.
Kini tidak ada yang bicara lagi. Hati mereka masih penasaran, dengan apa yang hendak dilakukan gembel itu.
Memang tak seorang pun penduduk Desa Beji yang tak mengenal Ki Jaban. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu memang cukup disegani di desanya. Ciri khas untuk mengenalinya adalah surjan dan blangkon yang dikenakannya. Juga, pipa rokok yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Konon, Ki Jaban adalah salah seorang tokoh persilatan yang memiliki lebih dari sepuluh buah keris pusaka.
Srek! Srek..!
Perlahan tapi pasti, pemuda gembel itu mema-suki halaman rumah Ki Jaban. Lalu dia berhenti ketika telah tiba persis di depan pintu. Sesaat dia berdiri tegak. Entah apa yang hendak dilakukannya. Sementara itu dari tempat-tempat tersembunyi, para penduduk desa memperhatikan keadaan dengan hati tegang.
Mendadak, pemuda berpakaian compang-camping ini mengangkat kepalan kirinya. Begitu tangannya bergerak mengibas....
Brakkk!
"Hei?!"
Pintu itu kontan hancur berantakan, dihantam laki-laki gembel ini. Sementara dari dalam terdengar bentakan bernada terkejut. Tidak lama, dari pintu yang telah jebol berdiri tegak seorang laki-laki berusia empat puluh tahun dengan muka garang. Sepasang matanya melotot lebar. Jakun di lehernya turun naik begitu melihat sosok di depannya.
"Kurang ajar! Gembel sialan! Apa maksudmu membuat keributan di sini?!" bentak laki-laki berpakaian surjan, yang tak lain Ki Jaban.
Sementara, pemuda gembel itu tidak langsung menjawab. Ditatapnya tajam-tajam Ki Jaban. Sinar matanya begitu menusuk, seolah hendak meruntuhkan nyali Ki Jaban.
"Kau yang bernama Ki Jaban?" tanya pemuda gembel ini dingin.
"Kalau iya, kau mau apa?!" tantang Ki Jaban dengan pandangan tak kalah tajam.
"Kalau benar, aku akan membunuhmu. Sebab arwah sosok dalam peti mati yang kubawa ini, merasa belum tenang, sebelum aku menuntaskan dendamnya!" desis pemuda gembel itu.
"Jangan main-main, Kisanak! Aku tak mengerti apa maksudmu?!"
"Ingatkah kau pada Kemala? Sepuluh tahun yang lalu, gadis itu adalah kembangnya Desa Jambe Wetan. Kau waktu itu berniat memilikinya. Tapi setelah kau perawani dia, kau tinggalkan begitu saja...," papar pemuda gembel itu.
Ki Jaban kontan terjingkat. Ingatannya langsung berbalik ke masa sepuluh tahun lalu. Ya, dia dulu pernah mencintai Kemala. Namun karena suatu ketika Kemala dikunjungi seorang pemuda, Ki Jaban yang waktu itu berusia tiga puluh tahun, meninggalkannya. Cemburu butanya membuatnya harus meninggalkan Desa Jambe Wetan, sekaligus meninggalkan Kemala.
"Kau sendiri siapa?" tanya Ki Jaban dengan pandangan menyelidik.
"Kau lupa padaku? Hm.... Ternyata waktu sepuluh tahun cukup membuatmu jadi pikun.... Baiklah. Aku Respati, adik Kemala" sahut pemuda gembel itu.
"Lantas, mana kakakmu Kemala?" tanya KI Jaban lagi.
"Dia ada di dalam peti" sahut pemuda gembel yang ternyata bernama Respati.
"Kau jangan main-main, Respati!"
"Aku tidak main-main. Justru kau yang main-main dengan kakakku, sehingga dia terbaring di dalam peti! Kaulah awal bencana itu! Kau telah berhutang pada kakakku. Dan kini aku menagihnya!"
"Kurang ajar...!"
Merasa kelakuannya terbongkar, Ki Jaban langsung naik darah. Seketika kaki kanannya melayang ke dada Respati.
Namun Respati yang dulu pemuda tak punya kepandaian apa-apa, mendadak mengibaskan tangannya ke bawah. Ditangkisnya serangan itu secepat kilat. Dan sebelum Ki Jaban menyerang kembali, Respati telah menghantamkan tangan kanannya ke perut.
Desss...!
"Aaakh...!"
Ki Jaban terjajar dengan muka berkerut geram menahan rasa sakit bercampur dendam. Dia segera memasang kuda-kuda, langsung membuka jurus. Sungguh dia tidak mau kecolongan dua kali dengan menganggap remeh pemuda yang sebelumnya diketahui tidak punya kepandaian apa-apa.
"Hehehe...! Kudengar kau sekarang menjadi tokoh hebat, Jaban. Hehehe...! Inikah orang hebat itu?!" ejek Respati sambil tertawa. Kakinya mundur perlahan ke halaman. Agaknya pemuda ini hendak mencari tempat yang lebih lega, ketimbang di depan pintu rumah Ki Jaban.
"Keparat! Kau sengaja cari mampus, he?!" Begitu kata-katanya habis, Ki Jaban melompat dengan sebuah tendangan keras.
"Heaaa...!"
Namun, pemuda gembel itu bersikap tenang-tenang saja. Begitu serangan tinggal sejengkal lagi, tangan kirinya bergerak menangkis. Lalu kaki kanan pemuda ini cepat terangkat tinggi menyodok dada.
Desss!
"Aaakh...!"
Kembali laki-laki bersurjan itu memekik kesakitan. Tubuhnya terjungkal ke belakang. Dan kali ini, dari mulutnya tampak menetes darah segar
"Hm.... Ternyata hanya begitu saja kepandai-anmu, Jaban!" leceh Respati.
"Jahanam!" Ki Jaban menggeram. Dan seketika dicabutnya keris yang terselip di pinggang.
Perlahan-lahan laki-laki ini mendekati Respati dengan sorot mata setajam elang. Sementara itu para penduduk desa yang mengintip semakin tegang saja. Dan perlahan-lahan jumlah mereka semakin bertambah.
"Heaaat...!"
Dengan bernafsu Ki Jaban menikam ujung kerisnya ke dada lawan. Dan anehnya, Respati sama sekali tidak berusaha menghindar. Akibatnya.....
"Heh?!"
Ujung keris Ki Jaban tepat menyentuh dada kiri pemuda itu. Namun, tidak mampu melukai kulit dadanya. Apalagi sampai menembus. Sudah barang tentu hal itu bukan saja membuat Ki Jaban terkejut. Bahkan mereka yang melihat kejadian itu sama-sama melotot tak percaya. Dan belum lagi keterkejutan Ki Jaban lenyap, Respati telah meluruk maju dengan satu hantaman bertenaga dalam amat tinggi. Maka tak dapat dihindari lagi....
Desss...!
"Aaa...!"
Ki Jaban memekik setinggi langit. Tubuhnya terjungkal roboh beberapa langkah ke belakang sambil memuntahkan darah segar. Dia hanya mampu bergerak-gerak sebentar, kemudian diam seketika!
Sejenak Respati memandang mayat Ki Jaban. Lalu kepalanya mendongak ke langit.
"Kakak! Dendammu telah kubalaskan! Tenanglah kau di alam sana! Aku tahu, masih ada beberapa orang yang menyakitimu! Dan mereka semua harus mempertanggungjawabkannya...!"
Sehabis mendesah lirih begitu, Respati dengan tenang meninggalkan halaman ini seperti tidak ada kejadian apa-apa. Peti matinya kembali diseret-seret, seolah tak ingin terpisahkan. Orang-orang desa yang melihat kejadian tadi, tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus dilakukan untuk sesaat. Tapi tidak lama kemudian satu persatu mendekati mayat Ki Jaban.***
KAMU SEDANG MEMBACA
214. Pendekar Rajawali Sakti : Setan Gembel
ActionSerial ke 214. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.