BAGIAN 5

88 7 0
                                    

"Hooop...!"
Seorang penunggang kuda menghentikan laju kudanya di depan seorang gadis berbaju serba putih yang tidak menoleh sedikit pun atas kehadirannya. Di sebelah gadis itu tampak kuda lain yang tengah merumput.
"Hup!"
Penunggang kuda yang ternyata seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun dan bertubuh tegap itu langsung melompat dari tunggangannya. Begitu mendarat, dia langsung berlutut memberi hormat.
"Maafkan aku karena membuat Nini Lembayung menunggu terlalu lama...!" ucap pemuda berpakaian ketat warna hitam ini.
"Apa yang kau bawa, Mayong?" tanya gadis itu masih belum berbalik.
"Sepertinya aku telah menemukannya... kata pemuda yang dipanggil Mayong, agak merayu. Gadis bernama Lembayung berbalik. Matanya langsung memandang tajam kepada Mayong.
"Kau telah menemukannya, Mayong! Di mana dia?!" kejar Lembayung dengan wajah bersemangat.
Pemuda berpakaian ketat warna hitam itu tidak langsung menjawab. Dia diam sejurus lamanya. Sikapnya kelihatan bingung sekali.
"Katakan padaku, Mayong! Di mana kau temukan dia...!" desak Lembayung.
"Amat berbahaya mendekatinya, Nini...."
"Aku tidak peduli! Katakan padaku! Di mana dia sekarang?!"
"Dia menjadi tokoh yang amat berbahaya, Nini. Buas dan tidak kenal ampun...."
"Apa maksudmu?!" desis Lembayung dengan wajah kaget.
"Respati telah berubah. Dia menjadi seseorang yang lain daripada yang dulu pernah kita kenal...," desah Mayong.
"Katakan padaku terus terang, Mayong! Jangan berbelit-belit!" sentak Lembayung.
"Aku..., aku...."
"Mayong! Kepada siapakah kau mengabdi?!" tukas gadis ini menghardik.
"Kepada Nini tentunya..," sahut Mayong, mantap.
"Lalu, kenapa kau mulai membangkang?"
"Maaf, Nini. Tak sekali-sekali aku bermaksud demikian...," ucap Mayong.
"Lalu, kenapa seolah kau mencoba mengajariku?" cibir Lembayung.
Mayong terdiam. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Dia tidak berani bicara lagi mendengar kata-kata gadis ini yang ketus bercampur marah.
"Maafkan aku, Nini...," ulang Mayong, lirih.
Gadis itu terdiam. Wajahnya kelihatan masih menyimpan kesal. Dipandanginya pemuda itu sekilas, lalu membuang pandang ke arah lain.
"Di mana kau temukan dia?" tanya Lembayung kemudian.
"Terakhir kulihat dia berada di Desa Ganter. Kelihatannya dia akan ke ibukota kerajaan, Nini...," jelas Mayong.
"Hm.... Dia hanya akan mengantarkan nyawa percuma. Kita harus mencegahnya," gumam Lembayung.
"Nini.... Dia telah membunuh banyak prajurit kerajaan. Panglima utama tentu tidak akan membiarkan begitu saja perbuatannya. Apalagi dia telah membunuh Panglima Rukmana."
"Kemajuan ilmunya demikian pesat. Panglima Rukmana temasuk salah satu panglima kerajaan yang berilmu tinggi...," gumam gadis itu lagi.
"Aku melihat sendiri, Nini. Kepandaiannya sungguh tidak masuk akal!" jelas Mayong dengan suara sedikit tinggi.
Gadis itu kembali terdiam sesaat.
"Antarkan aku kepadanya!" ujar gadis itu datar.
"Sekarang..., eh! Maksudku, apakah Nini tidak berpamitan dulu pada...."
"Mayong! Jangan banyak tanya!" potong Lembayung. "Naik ke kudamu. Dan, kita berangkat sekarang!"
"Eh! Baiklah, Nini!" Mayong langsung melompat ke punggung kudanya, setelah-menjura hormat. Lalu perlahan-lahan kudanya digebah.
Sementara Lembayung segera mengenakan topi caping lebar dari bambu yang tadi tergolek di tanah. Caping itu untuk menghalangi wajahnya dari pandangan orang. Dan dengan gerakan ringan, gadis ini melompat ke punggung kuda berbulu putih yang tertambat di dekatnya. Segera diikutinya pemuda itu, dan cepat menjajari di sampingnya.
Lama mereka berdiam diri tanpa banyak bicara, sambil menjalankan kuda perlahan-lahan. Sampai suatu ketika Mayong memberi isyarat agar mereka berhenti, lalu membelokkan langkah kudanya.
"Di depan sana ada beberapa prajurit kerajaan, Nini...!" tunjuk Mayong.
"Ya, aku tahu...," sahut Lembayung.
"Bagaimana kalau mereka menemukan kita di sini?"
"Diamlah! Tidak usah kau banyak bicara. Kita harus menghindari siapa pun yang punya hubungan dengan kerajaan!"
"Baik, Nini!"

***

Desa Jenang merupakan salah satu desa yang biasa dilalui orang bila hendak ke timur maupun hendak ke barat. Tidak mengherankan bila selain penduduk setempat, orang-orang asing pun sering singgah barang sesaat. Atau bermalam barang beberapa hari. Dan bagi para pedagang, hal ini justru dipergunakan untuk berniaga bila keadaan memang cukup ramai.
Bila orang berpakaian gembel biasa yang melintasi jalan utama di desa ini, mungkin hal itu adalah pemandangan biasa. Tapi bila gembel itu membawa-bawa peti mati dan berjalan tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, tentu saja hal itu cepat menarik perhatian orang di Desa Jenang ini. Apalagi bila gembel itu ternyata tokoh yang belakangan ini menjadi bahan pembicaraan. Bukan saja di kalangan persilatan, tetapi juga bagi semua orang!
"Setan Gembel...!" desis salah seorang pengunjung kedai yang melihat kehadiran laki-laki berbaju compang-camping itu dari jendela.
"Heh?!"
Pengunjung kedai lainnya terkesiap mendengar kata-kata orang itu. Dan tanpa sadar semua orang yang berada di dalam kedai memalingkan muka memperhatikan gembel yang menarik peti di jalan utama desa.
"Mau apa dia ke sini? Apakah ada yang dicarinya?" tanya seorang laki-laki bermuka bulat dan bertubuh agak kecil.
"Di sini banyak tokoh-tokoh persilatan. Mungkin salah satu di antara mereka ada yang diincarnya!" sahut yang lain.
"Ya, mungkin saja..."
Dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun menghadang gembel yang tak lain memang Respati alias Setan Gembel.
"Berhenti kau! Aku akan membuat perhitungan denganmu, Setan Gembel!" bentak pemuda berpakaian ketat warna kuning gading.
Respati tidak langsung menjawab. Langkahnya berhenti dan terdiam sejurus lamanya.
"Setan Gembel! Kau telah membunuh ayahku si Pedang Kayu! aku akan membuat perhitungan denganmu!" bentak pemuda bertubuh tegap dengan wajah lebar itu lagi seraya mencabut pedang.
Sring...!
"Ayo, keluarkan senjatamu! Hadapi Wilaga, anak tunggal si Pedang Kayu! Kita bertarung secara ksatria!" lanjut pemuda bernama Wilaga dengan suara garang.
"Anak muda.... Pergilah. Dan jangan menghalang-halangi langkahku. Kau akan mati percuma..." ujar Setan Gembel datar.
"Bedebah! Kau kira aku anak kecil yang bisa ditakut-takuti dengan cara begitu? Huh! Aku tidak peduli, apakah kau bersenjata atau tidak. Lihat seranganku, Setan Gembel! Heaaa...!"
Dengan teriakan membahana, Wilaga melompat. Pedangnya langsung diayunkan, menyambar leher gembel di depannya.
"Hup!"
Setan Gembel melompat ke belakang. Sehingga serangan Wilaga luput dari sasaran. Tapi anak tunggal Ki Tejareksa ini tidak berhenti sampai di situ. Dia kembali mencelat dan menyerang dengan membabi-buta.
"Heaaa! Heaaa...!"
Pedang di tangan Wilaga berkelebat-kelebat seperti hendak mencincang tubuh Respati menjadi beberapa potong. Tapi sekali lagi, Setan Gembel mampu menghindarinya dengan gesit. Tubuhnya bergerak ke atas, lalu tiba-tiba meluruk ke bawah, siap mengayunkan tendangan.
"Uts!"
Dan itu membuat Wilaga terkesiap. Untung dia buru-buru membuang diri ke samping sambil bergulingan.
Tapi Setan Gembel memang bukan orang yang sabar. Sekali atau dua kali mungkin dia masih mau mengalah. Namun selanjutnya, tahu-tahu dia telah membuka serangan balasan.
"Heaaa...!"
Dengan satu gerakan kilat, Setan Gembel mencelat melepas serangan tangan bertubi-tubi. Wilaga gelagapan. Dia mencoba memapak dengan kelebatan pedangnya.
Tapi, tidak sedikit pun pedang itu mampu mengenai Respati. Bahkan tiba-tiba kepalan Setan Gembel menghantam dari arah kiri menuju pelipis. Dengan sigap, Wilaga menangkis kepalan dengan tangan kirinya. Dan pada saat tubuh Wilaga terjajar, justru satu tendangan keras Setan Gembel menghantam perutnya.
Desss...!
"Aaakh...!"
Wilaga jatuh tersungkur sambil memekik kesakitan. Dari mulutnya meleleh darah kental. Dia berusaha bangkit dengan kepayahan. Wajahnya tampak berkerut menahan rasa sakit hebat. Sesaat dia mengejang sambil berteriak lepas, lalu ambruk dan diam tidak bergerak lagi.
Beberapa orang yang menonton pertarungan menatap tak percaya. Dan salah seorang memberanikan diri memeriksa nadi Wilaga saat Setan Gembel berlalu begitu saja sambil menarik peti matinya.
"Dia telah mati..." desah orang yang memeriksa itu, lirih.
"Kejam! Manusia itu betul-betul biadab!"
Baru saja mereka berkata seperti itu, mendadak...
"Berhenti kau, Manusia Laknat!"
Sebuah bentakan keras terdengar, membuat semua mata berpaling ke arah sumbernya. Ternyata Setan Gembel tengah dihadang oleh dua laki-laki bertubuh gemuk, terbungkus pakaian merah tua. Wajah, bentuk tubuh, dan penampilan kedua orang gemuk itu sama persis, bagai pinang dibelah dua. Kepala mereka sama-sama botak. Perbedaan mereka hanya pada letak tahi lalat.
Kedua orang kembar ini memandang Respati penuh kebencian dan dendam mendalam.
"Siapa kalian? Dan mau apa dariku?" tanya Setan Gembel, pelan.
"Kami si Kembar dari Gunung Lawu. Aku Raswita! Dan saudaraku Raswata. Kami tidak bisa membiarkan kau pergi begitu saja, setelah membunuh pemuda tadi! sahut laki-laki kembar yang bertahi lalat di dagu yang bernama Raswita.
"Hehehe...! Apakah bocah itu, anakmu?"
"Dia masih terhitung keponakan kami!" jawab Raswita, mantap.
"Keponakanmu? Hehehe...! Pergilah! Dan jangan coba-coba menantangku. Kalau keponakanmu saja mampus di tanganku, maka kalian bukan tandinganku," ujar Respati.
"Kurang ajar! Kau merendahkan kami, he?!" maki laki-laki kembar yang bertahi lalat di hidung. Namanya, Raswata.
"Apa yang bisa kupandang hebat dari kalian? Perut yang buncit itu atau pedang besar yang kalian sandang? Hehehe...! Itu semua amat menggelikan buatku," sahut Setar Gembel tenang bernada mengejek.
"Keparat!" Kedua orang kembar itu memaki geram. Dan serentak mereka mencabut pedang, lalu melompat menyerang.
"Hahaha...!"
Setan Gembel hanya terkekeh menyambut serangan. Tidak terlihat sedikit pun kalau hatinya gentar. Bahkan dengan sikapnya, kelihatan kalau dia betul-betul menganggap enteng kedua lawannya.
"Uts! Hup...!"
Pedang besar si Kembar dari Gunung Lawu itu berkelebat dari dua arah. Dan dengan gerakan kompak, mereka mulai mengurung Respati dengan ketat.
Setan Gembel mencelat ke samping. Dan seketika itu juga, kedua lawannya mengikuti. Serangan si Kembar dari Gunung Lawu bertubi-tubi. Bukan saja amat cepat, bahkan juga di-dukung oleh kekompakan. Sehingga untuk sesaat terlihat kalau Setan Gembel tidak mampu berbuat apa-apa.
"Hehehe...! Baru kau rasakan sekarang keadaan dirimu. Sebentar lagi kau akan mampus, Keparat!" desis Raswita.
"Dan riwayatmu akan tamat untuk selamanya!" timpal Raswata.
"Riwayatku tamat? Oleh kalian? Hahaha...!" Respati tertawa mengejek.
Saat itu juga, Setan Gembel segera melompat. Dipapaknya kedua serangan yang saat itu sudah meluncur datang dari depan. Si Kembar dari Gunung Lawu sama sekali tidak menyangka kalau kedua belah tangan pemuda itu bermaksud menangkis senjata. Karena bisa dipastikan kedua tangannya akan putus dalam sekejap mata. Tapi yang terjadi justru sangat mengejutkan! Pedang mereka bagai menghantam batang besi. Dan belum lagi keduanya sempat tersadar, tendangan Setan Gembel yang keras dan beruntun telah meluncur datang. Sehingga....
Des! Des!
"Aaakh...!"
Si Kembar dari Gunung Lawu jatuh tersungkur dengan isi dada seperti mau pecah. Sebelum mereka sempat bangkit, Respati telah mencelat. Langsung diinjaknya dada salah satu orang kembar itu disertai tenaga dalam tinggi.
"Aaakh...!"
"Raswitaaa...!"
Terdengar suara berderak tulang patah yang diiringi pekikan setinggi langit. Dan itu masih ditingkahi jeritan kaget Raswata yang memanggil saudara kembarnya.
"Heh?!"
Kejadian itu menyentak orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka seperti terbangun dari mimpi. Dan ketika beberapa orang mendekati Setan Gembel, maka yang lain menyusul dengan berbondong-bondong mengepung.
"Iblis terkutuk! Perbuatanmu sungguh biadab...!" teriak seseorang.
"Iblis jahanam! Bunuh dia! Bunuh dia...!" timpal yang lain.
Serentak mereka mengeluarkan senjata masing-masing, dan berlompatan menyerang Setan Gembel. "Heaaa...!"
"Habisi dia...!"
Namun Setan Gembel sama sekali tidak terpengaruh. Hatinya benar-benar tegar sekokoh batu karang. Tidak terlihat sedikit pun merasa gentar oleh keroyokan banyak orang yang bersenjata beraneka ragam. Padahal orang-orang itu bukan hanya terdiri dari penduduk desa, tapi juga tokoh-tokoh persilatan yang kebetulan berada di desa ini. Mereka memang telah muak mendengar sepak terjang Setan Gembel.
"Heaaa...!"
Respati menarik napas dalam-dalam. Dan seketika kedua telapak tangannya didorong ke depan. Maka seketika meluncur angin menderu kencang menghantam para pengeroyok.
Desss...!
"Aaa...!"
Beberapa orang yang tidak sempat menghindar langsung terjungkal roboh ke belakang dengan nyawa putus seketika. Tapi yang lainnya masih mampu menghindar. Lantas dengan penuh amarah, mereka kembali menyerang Setan Gembel.
"Heaaa...!"
"Huh!"
Setan Gembel menggeram. Wajahnya tampak kelam ketika mencibir sinis. Kemudian kedua tangannya disilangkan di dada, dan digerak-gerakkan barang sesaat. Maka dalam waktu singkat, kedua telapak tangannya sampai sebatas siku terlihat bercahaya merah.
"Hei? Bukankah itu pukulan Tapak Setan?" seru salah seorang dengan wajah kaget.
"Ya! Mungkinkah dia ada hubungannya dengan Iblis Gembel?" sahut yang lain.
Namun belum sempat mereka menghubung-hubungkan pemuda itu dengan seorang tokoh sesat yang telah puluhan tahun menghilang dari dunia persilatan, mendadak...
"Heaaa...!"
Disertai teriakan keras menggelegar, Respati menghentakkan kedua tangannya yang telah bercahaya merah ke depan. Maka seketika meluncur sinar yang bagaikan lidah api menyambar orang-orang di depannya.
Wuusss...! Glarrr...!
"Aaa...!"
Seketika terdengar pekikan kematian. Beberapa orang roboh dengan tubuh hangus seperti terbakar.
Dan ketika Setan Gembel kembali mengumbar pukulannya, korban kembali berjatuhan. Orang-orang yang mengeroyok kini mulai gentar. Dan di antaranya ada yang lari ketakutan. Sementara beberapa tokoh persilatan menggabungkan kekuatan mereka, langsung membalas pukulan yang bernama Tapak Setan itu.
"Heaaa...!"
Wusss...!
Namun Setan Gembel tidak tinggal diam. Langsung kedua tangannya menghentak kembali, memapak. Terdengar suara keras ketika terjadi benturan keras beberapa tenaga dalam tinggi. Lima orang tokoh silat tadi terpental ke belakang. Dan dari mulut mereka meleleh darah segar akibat benturan tadi. Sedang Setan Gembel sedikit terhuyung-huyung ke belakang. Napasnya turun naik sesaat, namun dalam waktu singkat telah kembali seperti biasa.
"Sekarang kalian rasakan pembalasanku!" desis Respati geram, siap menghabisi kelima lawannya.
Tapi baru saja pemuda itu hendak mengangkat sebelah tangan untuk mengerahkan pukulan Tapak Setan kembali, mendadak...
"Kisanak! Cukup sudah sepak terjangmu. Dan, jangan lagi kau membuat korban!"
"Hmm...!" Respati menggumam tak jelas ketika terdengar suara teguran dari belakangnya.

***

214. Pendekar Rajawali Sakti : Setan GembelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang