Seorang pemuda berpakaian ketat warna hitam melompat turun dari kudanya dan langsung menjura hormat pada Lembayung.
"Hormat hamba, Tuan Putri..." ucap pemuda itu.
"Mayong! Kita berada dalam penyamaran! Tinggalkan segala peradatan istana! Panggil aku seperti yang telah kuperintahkan," ujar Lembayung mengingatkan.
"Baik, Tu..., eh! Nini Lembayung" sahut pemuda yang tak lain Mayong, pengawal sekaligus mata-mata Lembayung.
"Aku telah membawa obat-obat yang Nini Lembayung perintahkan."
"Percuma saja kau bersusah payah mencari obat itu, Mayong" desah Lembayung, wajahnya berubah mendung seketika.
"Kenapa, Nini?"
"Dia telah pergi...."
"Respati?"
Gadis itu mengangguk. Lalu dia melangkah untuk mengambil caping bambunya.
"Sudahlah. Ayo!" ujar Lembayung seraya mengenakan capingnya.
"Baik, Nini!"
"Bagaimana keadaan di luaran sana?" tanya gadis bercaping ini seraya beranjak ke dalam gua.
Mayong mengikuti setelah menambatkan kudanya di tempat yang tersembunyi.
"Prajurit-prajurit kerajaan dikerahkan untuk mencari Nini...."
"Gusti Pangeran juga turut mencari?" tanya Lembayung khawatir.
"Benar, Nini!"
Gadis itu terdiam seraya membenahi barang-barangnya yang ada di dalam ruangan gua.
"Apakah Nini tidak berkenan di tempat ini?" tanya Mayong.
"Ya. Kita akan pindah, Mayong."
"Ke mana lagi, Nini?"
Gadis itu menoleh dan tersenyum getir.
"Apakah kau tidak suka kalau aku kembali ke istana?"
"Oh! Nini hendak kembali?! Tentu saja aku senang! Aku senang sekali, Nini!" seru Mayong. Gadis itu mengangguk pelan.
"Gusti Pangeran tentu akan senang sekali! Tapi..., tapi apa alasan kita bila bertemu beliau?" tanya Mayong, dengan suara ragu seraya memandang majikannya.
"Katakan saja kalau kita diculik seseorang...."
"Diculik seseorang? Bagaimana mungkin, Nini? Istana keputren dijaga ketat. Bagaimana mungkin seorang penculik bisa masuk tanpa diketahui prajurit? Lalu, untuk apa dia menculik Nini?"
Gadis itu tersenyum melihat wajah Mayong yang kelihatan kusut karena pikirannya berkecamuk.
"Itu soal mudah. Serahkan saja padaku."
"Tapi..., tapi bagaimana kalau aku pun ditanya?" tanya Mayong lagi.
"Mayong! Aku akan katakan bahwa kita diculik Setan Gembel...."
"Respati? Apakah Nini hendak mencelakainya? Ah, aku jadi pusing sendiri memikirkan semua itu. Nini lari dari istana karena ingin bertemu dengannya. Dan kini tiba-tiba menginginkan orang itu ditangkap," keluh Mayong dengan dahi berkerut, memikirkan jalan pikiran majikannya.
"Itu dulu, Mayong. Kau mungkin benar, bahwa Respati kini telah banyak berubah. Dia bukan lagi Respati yang kita kenal dulu saat di Perguruan Kilat Kencana. Kau pun dulu tahu, bagaimana sifatnya. Tapi sekarang? Dia tak lebih dari manusia pongah berhati batu. Dia harus ditangkap dan dihukum mati!" desis gadis itu.
"Oh, begitukah? Syukurlah kalau memang Nini telah sadar..." sahut Mayong lagi. Bibirnya bisa menyungging senyum setelah mengerti sedikit, kenapa tiba-tiba majikannya yang dulu juga teman seperguruannya berubah pikiran.
"Aku ingin agar kau menghubungi Pendekar Rajawali Sakti nanti...," lanjut gadis itu seraya beranjak keluar.
"Untuk apa?" tanya Mayong sambil mengikuti majikannya.
"Bujuk dia agar mau membunuh Setan Gembel! Berikan apa pun yang dimintanya sebagai imbalan!"
"Baiklah, Nini. Akan kutemui dia nanti...."***
Telah semalaman Pendekar Rajawali Sakti duduk bersila di atas dipan beralaskan tikar pandan, ditemani lima orang penduduk Desa Jenang yang selalu melayani kebutuhannya dengan telaten. Bahkan sambil terkantuk-kantuk mereka tetap setia menunggu dan menjaga tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum. Pagi telah tiba. Dan hawa dingin segar telah menyeruak ke dalam ruangan. Sementara itu kelima penduduk desa itu kelihatan tidur pulas. Dua orang terlelap di kursi. Dan dua lagi berdesak-desakan di dipan kayu yang berada di dekatnya. Sementara yang seorang terlelap dengan kedua tangan bertelekan pada tepi dipan yang didudukinya saat ini.
Pendekar Rajawali Sakti merasa tubuhnya lebih segar setelah beberapa kali memuntahkan darah kental sedikit kehitaman. Untungnya Setiaji telah membuat ramuan obat yang bisa memulihkan peredaran darah serta menyembuhkan luka dalamnya dengan cepat. Masih untungnya lagi, Rangga memiliki tenaga dalam tinggi sehingga mampu bertahan dari hantaman pukulan yang menghajar dadanya.
Tengah larut dalam lamunannya, Setiaji terjaga dan menguap panjang.
"Astaga! Kau tidak tidur semalaman, Sobat?" seru Setiaji kaget.
"Tidak. Dalam keadaan begini, sama artinya tidur..." sahut Rangga.
"Bagaimana keadaan lukamu?" tanya Setiaji kembali seraya membangunkan keempat kawannya.
"Sudah agak lebih baik..."
"Syukurlah. Akan kusuruh istriku membuat ramuan lagi. Setelah sarapan, kau harus meminumnya agar lukamu cepat sembuh."
"Terima kasih, Sobat"
Setiaji beranjak ke dalam. Sementara keempat kawannya menyusul satu persatu. Rumah ini sebenarnya milik Setiaji. Dia hanya tinggal berdua bersama istrinya. Adapun keempat kawannya itu tinggal tidak begitu jauh. Namun, mereka sering berkumpul di sini. Bahkan pada malam-malam tertentu mereka berlatih ilmu olah kanuragan bersama. Semua itu diceritakannya pada Rangga tadi malam. Dan dengan penuh harap, Setiaji meminta agar pemuda ini sudi menurunkan ilmunya sedikit kepada mereka.
Setiaji dan keempat kawannya telah kembali ke tempat Rangga berada. Masing-masing di tangan mereka membawa kopi dan penganan kecil. Mereka kini telah berkumpul di ruang depan. Wajah Pendekar Rajawali Sakti itu kelihatan lebih segar daripada semalam.
"Bagaimana dengan permintaan kami semalam, Sobat? Bersediakah kau mengabulkannya?" ulang Setiaji.
Empat orang lainnya yang ada di tempat ini mengangguk-angguk seraya memandang penuh harap pada Rangga.
"Kami seperti murid-murid yang berlatih tanpa petunjuk seorang guru. Jangan-jangan malah bukan kemajuan yang diperoleh, tapi kemunduran," sahut salah seorang.
"Benar apa yang dikatakan Kang Kari, Sobat. Selama ini kami malah sering bingung, tapi tidak tahu kepada siapa harus bertanya," timpal Setiaji.
Rangga tersenyum.
"Aku senang sekali mendengar kalian percaya padaku. Tapi, maaf. Dan kuharap kalian semua tidak salah paham. Aku bukanlah guru yang baik. Lagipula, kehadiranku di sini tidak lama. Bagaimana mungkin bisa membimbing kalian?" jelas Rangga.
"Memang sangat disayangkan. Tapi sebagai tokoh persilatan ternama, kau pasti bisa menunjukkan barang satu atau dua jurus kesalahan-kesalahan yang kami perbuat. Dan bagaimana seharusnya perbaikan yang harus kami lakukan..." sahut Setiaji berharap.
"Benar, Sobat. Meski seujung kuku sekalipun, kami berharap betul kau sudi membimbing!" timpal yang lain.
Rangga kembali terdiam sambil tersenyum. Dipandanginya mereka satu persatu. Wajah-wajah itu kelihatan penuh harap kepadanya.
"Baiklah..." sahut Pendekar Rajawali Sakti pendek.
Serentak wajah mereka berseri mendengar jawaban pemuda itu.
"Kalian berlima memiliki ilmu silat berbeda. Apabila hal itu digabung, maka akan terlihat jurus-jurus yang saling melengkapi. Yang kurang akan ditambah oleh jurus yang lain. Nah! Sebelum kucari di mana kekurangan serta kelebihannya, maka perlihatkan padaku jurus-jurus yang kalian miliki," lanjut Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Baiklah. Kalau begitu mari kita ke belakang!" sahut Setiaji, langsung mengajak kawan-kawannya.
Tapi baru saja mereka hendak beranjak, tiba-tiba pintu depan diketuk dari luar. Buru-buru Setiaji membukakan pintu. Di situ berdiri dua sosok tubuh. Yang seorang berusia lanjut. Dan dia kenal betul, sebab orang tua itu adalah tetangganya. Sedang di sebelah orang tua itu seorang pemuda yang sama sekali asing.
"Ada apa, Ki Projo?" tanya Setiaji.
"Aduh.... Maaf, Setiaji. Tuan ini ingin bertemu denganmu," sahut laki-laki bernama Ki Projo.
"Oh, silakan masuk, Ki. Dan kau, Kisanak."
"Kalau aku langsung saja, Setiaji. Masih ada urusan lain." Setelah berkata demikian, Ki Projo segera berlalu. Setiaji tak menahannya, dan segera mengantarkan tamunya masuk.
"Menurutnya, dia ada keperluan lain..." jelas tamu yang diantar Ki Projo.
"Oh, ya? Hm.... Kisanak siapa? Dan, ada keperluan apa mencariku?" tanya Setiaji begitu mereka duduk di ruangan.
"Namaku Mayong. Dan sebenarnya aku ingin bicara dengan..."
Pemuda itu tidak meneruskan kata-katanya, melainkan tersenyum seraya menunjuk Pendekar Rajawali Sakti yang masih berada di ruangan ini bersama yang lain.
"Rangga?"
Mayong mengangguk.
"O, silakan kalau begitu!" sahut Setiaji.
Setiaji bangkit. Langsung dipersilakannya Rangga untuk duduk di dekatnya.
"Apakah dia kawanmu, Sobat?" tanya Setiaji sambil tersenyum.
Rangga menggeleng perlahan.
"Tidak..."
"Hm.... Kalau begitu, di mana kau kenal Rangga?" tanya Setiaji kepada tamunya.
"Aku belum pernah kenal dengannya. Ada sesuatu yang harus kubicarakan berdua dengannya. Bolehkan?" tanya Mayong sopan.
"Kenapa aku mesti percaya padamu?" sahut Setiaji, bernada curiga.
"Aku utusan kerajaan..." sahut Mayong seraya mengeluarkan lencana lambang Kerajaan Linggapura.
Melihat itu Setiaji dan keempat kawannya serentak menjura hormat.
"Maafkan kami, Tuan...!" Satu persatu mereka meninggalkan ruangan ini.
"Nah, katakanlah padaku. Kepentingan apakah sehingga pihak kerajaan mengutusmu untuk menemuiku?" tanya Rangga.
"Aku adalah pengawal pribadi Kanjeng Gusti Lembayung, calon permaisuri kerajaan ini. Beliau menginginkan agar kau menangkap Setan Gembel. Hidup atau mati...."
"Menangkap Setan Gembel. Hm.... Apa urusannya dengan junjunganmu?" tanya Rangga dengan dahi berkerut.
"Harap kau tak bertanya-tanya soal ini...!" sergah Mayong.
"O, begitu...."
"Junjunganku bersedia memberi hadiah besar padamu!"
"Hadiah? Apa hadiahnya?"
"Apa saja yang kau inginkan! Harta ditambah wanita, atau kesenangan. Pokoknya apa saja yang kau inginkan!" sahut Mayong, cepat, berharap Pendekar Rajawali Sakti tertarik untuk menyanggupi.
"Asal saja kau berjanji bisa menangkap Setan Gembel. Jika kau bawa dia menghadap junjunganku dalam keadaan hidup, maka mungkin akan ada hadiah tambahan."
Rangga tersenyum tipis. Hambar sekali. Mayong memang terlalu bersemangat bercerita soal hadiah. Seolah-olah Rangga akan tertarik. Padahal yang dipikirkannya bukan itu, melainkan karena dirinya disamakan dengan pemburu hadiah yang selalu bersemangat bila mendengar iming-iming hadiah besar.
"Bagaimana, Rangga?"
"Maaf, kau salah menilai orang. Aku bukan orang yang tepat. Jika kau melihatku bertarung dengan Setan Gembel, itu semata-mata memerangi kekejamannya...."
"Ah! Kalau demikian berarti kau sependirian dengan junjunganku! Beliau pun menginginkan kematian Setan Gembel demi ketenteraman dan keamanan rakyat!" seru Mayong dengan wajah gembira.
"Begitukah? Lalu, mengapa junjunganmu harus mengiming-imingi dengan hadiah segala?" tukas Rangga.
"Tak ada seorang pun di negeri ini yang mampu mengalahkan Setan Gembel. Sedangkan kau telah terbukti nyata mampu mengalahkannya. Jika junjunganku sekadar meminta, mungkin rasanya tidak pantas. Dan hadiah itu diberikan sebagai tanda terima kasih atas kesedianmu menerima tawarannya," sahut Mayong berkelit.
Rangga tersenyum hanya dengan menarik ujung bibirnya sedikit. Dan dia bisa menilai kalau Mayong pintar bicara dan sulit dipojokkan. Dia seperti punya segudang alasan untuk menjawab semua pertanyaannya.
"Kau bersedia bukan, Rangga?" desak Mayong.
"Ada satu hal yang mengganjal pikiranku..." gumam Rangga.
"Apa itu?"
"Jika sudah mendapatkannya, kenapa malah menyuruh orang lain untuk mencarinya? Apakah ini bukan pancingan yang ditujukan padaku?" tanya Rangga seperti ditujukan pada diri sendiri.
"Hm.... Apa maksudmu, Rangga?" tanya Mayong, sedikit kaget.
"Maksudku tentu saja kalian!" tuding Pendekar Rajawali Sakti, langsung.
"Aku jadi semakin tidak mengerti...?" Mayong menggeleng dengan wajah bingung.
"Mayong! Ada kalanya kita bisa menipu seseorang dengan menunjukkan wajah palsu dan bicara yang manis. Sebagian orang akan silau melihatnya. Sedang sebagian lagi tidak. Dan aku termasuk di antara yang tidak. Kenapa kukatakan begitu? Sebab aku mengetahui bahwa kaulah penunggang kuda kemarin. Kau membubarkan orang-orang yang hendak menghabisi Setan Gembel dengan melarikan kudamu kencang-kencang. Padahal ada jalan lain yang bisa kau tempuh..." papar Rangga dengan nada datar.
Wajah Mayong berusaha untuk tidak terkejut. Dan buru-buru dia tersenyum.
"Kau tentu bercanda, Rangga! Sebab mana mungkin aku melakukan hal itu...!"
"Aku tidak bercanda. Dan untuk membuktikan bahwa aku tidak main-main, baju yang kau gunakan masih seperti kemarin. Aku pun sempat melihat rupa wajahmu...."
"Mungkin kau salah lihat, Rangga. Dan lagi ada beberapa banyak baju sepertiku di kerajaan ini...?" kilah Mayong.
Rangga tersenyum.
"Aku biasa bekerja dengan orang jujur. Dan belum apa-apa, kau coba berbohong di depanku. Bagaimana mungkin aku bisa percaya padamu? Maaf, aku tidak bisa membantu kalian...!" sahut Rangga.
"Pendekar Rajawali Sakti! Apakah kau tidak memandang muka sama sekali kepada junjunganku?" nada suara Mayong agak meninggi.
"Apa maksudmu?" tukas Rangga dengan dahi berkerut.
"Beliau adalah calon permaisuri di kerajaan ini. Dan kau sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keinginannya. Perintah beliau harus bisa dilakukan. Dan bila kau membangkang, sama artinya menolak perintah. Menolak perintah Kanjeng Gusti Putri Lembayung sama artinya melanggar larangan. Dan hukumannya berat!" gertak Mayong dengan suara semakin bersemangat untuk menjatuhkan nyali Pendekar Rajawali Sakti.
"Ketahuilah, aku bukan rakyat negeri ini. Aku hanya seorang pengembara. Sebentar atau saat ini juga, aku bisa angkat kaki dari negeri ini. Jadi jangan menakut-nakutiku dengan segala macam hukuman. Nah! Sekarang, kuminta padamu. Tinggalkan tempat ini! Jika kesabaranku habis, aku bisa berbuat kasar padamu. Tak peduli kau siapa dan dari mana!" sahut Rangga penuh tekanan.
Mayong mendengus geram. Segera dia bangkit dan keluar dari rumah ini. Masih sempat matanya menatap tajam.
"Asal tahu saja! Siap-siaplah menanggung akibatnya!" ancam Mayong.***
KAMU SEDANG MEMBACA
214. Pendekar Rajawali Sakti : Setan Gembel
ActionSerial ke 214. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.