BAGIAN 8

136 14 3
                                    

"Rangga...!"
"O, kalian. Ada apa?" tanya Rangga tenang, ketika melihat Setiaji telah berdiri di depannya bersama keempat kawannya.
"Maaf kalau kami menguping pembicaraan kalian..." sahut Setiaji dengan suara lirih.
"Ah! Pembicaraan itu sendiri sifatnya bukan pribadi. Bahkan sebetulnya kalian tidak apa-apa mendengarnya."
"Tapi..."
"Tapi kenapa, Sobat? Kalian kelihatan ketakutan. Ada apa?" tanya Rangga heran.
"Rangga.... Kau tidak bersungguh-sungguh untuk menolak permintaannya, bukan?" tanya Setiaji dengan wajah cemas.
"Kalian dengar sendiri pembicaraan kami, bukan? Mula-mula dia bersikap baik dan sopan. Tapi ketika mengetahui keinginannya mulai tidak terkabul, dia menunjukkan watak aslinya. Orang itu mulai mengancam. Dan aku paling tidak suka diancam," tegas Rangga.
"Tapi..., bagaimana dengan kami? Bila kau di sini mungkin kami merasa sedikit aman. Tapi mana bisa kami menahanmu lama-lama di sini? Dan setelah kau pergi, para prajurit kerajaan pasti ke sini untuk menangkap kami...!" keluh Setiaji.
"O, jadi itukah yang kalian takutkan?" tanya Rangga sambil tersenyum. Kelima orang itu mengangguk cepat.
"Tidak usah khawatir. Aku kenal penguasa di negeri ini. Biar kutulis surat. Dan salah seorang dari kalian harap menyampaikannya."
"Oh, betulkah?!" seru Setiaji dan keempat kawannya dengan wajah kaget.
Mereka memandang Pendekar Rajawali Sakti dengan wajah tidak percaya. Tapi Rangga tidak banyak berkata apa-apa lagi. Dimintanya alat-alat tulis. Lalu pemuda ini mulai menulis sepucuk surat.
Baru saja Rangga selesai menulis surat, mendadak pendengarannya yang tajam merasakan desir angin kencang yang menerobos dari jendela ke arah Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup!"
Sambil menarik badannya ke belakang, tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak lincah ke depan.
"Rangga...! Ah, untung saja!" seru Setiaji kaget.
Tahu-tahu di antara jari telunjuk dan tangan Pendekar Rajawali Sakti, terselip sebatang anak panah yang menerobos lewat jendela rumah ini.
"Kurang ajar!"
Salah seorang teman Setiaji langsung melompat keluar. Sementara dua kawannya segera mengikuti.
"Tidak perlu! Orang itu pasti telah kabur. Dia hanya ingin menyampaikan ini padaku...," ujar Rangga, seraya membuka gulungan surat pada batang panah itu.
"Apa isi surat itu, Rangga?" tanya Setiaji dengan wajah penasaran.
"Tantangan..."
"Tantangan dari siapa?"
Rangga tidak menjawab. Tapi, diserahkannya surat itu pada Setiaji. Dan Setiaji serta seorang kawannya membaca isi surat itu dengan cepat.

Temui aku di lereng Bukit Gamus pada tengah malam. Kita selesaikan urusan yang tertunda.
Setan Gembel

"Setan Gembel?!" desis Setiaji memandang tajam kepada pemuda di depannya.
"Ya...," sahut Rangga, pendek.
"Tapi luka dalam yang kau derita belum sembuh benar, Sobat?"
"Tidak usah cemas. Sebelum tengah malam, aku akan merasa lebih baik. Dan jangan lupa! Dia pun terluka lebih parah ketimbang aku," ingat pemuda itu seraya tersenyum manis.
"Jadi kau betul-betul ingin memenuhi tantangannya?" tanya Setiaji.
"Aku pantang menolak tantangan seseorang!"
Wajah Setiaji dan kawannya kelihatan masyghul. Dan ini dapat dirasakan Pendekar Rajawali Sakti kalau mereka mencemaskan dirinya. Sementara itu ketiga kawan Setiaji kembali masuk dengan wajah kecewa.
"Sudah kami cari-cari, tapi tidak ada seorang pun yang mencurigakan...," lapor salah seorang.
Setiaji tidak menyahut, melainkan menyerahkan isi surat dalam anak panah itu tadi pada kawan-kawannya. Mereka membaca dengan dahi berkerut, lalu memandang Pendekar Rajawali Sakti.
"Apakah kau akan menerima tantangannya, Rangga?" tanya yang berpakaian hijau.
Rangga mengangguk.
"Tapi kau masih terluka dalam...?" lanjut laki-laki berpakaian hijau.
"Tidak apa, Jureng! Nanti juga akan sembuh...," sahut Rangga, tenang.
Rangga mengambil surat yang tadi baru saja selesai dibuatnya, kemudian mengacungkannya ke atas. "Siapa di antara kalian yang bersedia memberikan surat ini kepada Gusti Prabu Jatranta?"
"Biar aku saja!" sahut yang berbaju merah.
"Terima kasih, Barin! Sampaikan salam hormatku pada beliau," ujar Rangga seraya menyerahkan surat itu.
"Baiklah...." Laki-laki berbaju merah yang dipanggil Barin segera bergegas keluar dari ruangan ini.
Sementara itu Rangga segera mengajak yang lainnya ke belakang. Mereka hendak melanjutkan rencana yang tadi sempat tertunda. Pemuda itu kelihatan tenang-tenang saja seperti tidak ada kejadian apa-apa. Padahal Setiaji dan kawan-kawannya sudah tidak merasa tenang oleh dua kejadian berturut-turut yang dialami tadi.

214. Pendekar Rajawali Sakti : Setan GembelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang