1. Belanja

150 25 16
                                    

"Main dulu yuk."

Sumire menarik lengan Boruto ke sebuah Time Zone di tengah-tengah Mall. Kedua matanya berbinar seolah ingin mencoba semua wahana di sana—termasuk kuda-kudaan bocah kecil.

"Plis, Ningsih ... lu minta gua anter ke pasar, tapi nggak jadi. Akhirnya kita ke sini, jadi ini mau lu?" Boruto berdecak malas. Sudah jelas, jika seperti ini maka dirinya-lah yang akan menjadi babu.

Beli koin. Menunggu Sumire main. Dorong troli. Bawa belanjaan. Bawa diri. Juga bawa harga dirinya yang tinggal setengah, sedikit lagi sudah bisa dijual.

Boruto mengembuskan napas, dengan rela mengangguk. Tangannya langsung nyadong untuk meminta sepeser uang agar diganti menjadi koin bermain. Sejenak Sumire merogoh isi dompetnya, Boruto memandang ke sekeliling yang ramai, matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah gim Dance yang dikerubungi beberapa orang. Kelopaknya menyipit, lalu spontan membelalak ketika menyadari bahwa sosok yang tengah menari di atas papan bilah permainan adalah seorang yang mirip dengan pujaan hatinya.

"K-Kartika ...?"

Mulutnya mangap, matanya berbinar. Ketika sosok di sana berbalik mengikuti ritme permainan, Boruto langsung tancap gas guna mendekat. Namun, pergerakannya terhenti tatkala kupluk sampai kerah jaketnya ditarik keras hingga lehernya tercekik.

"E-eee ... lepas, woy! Mati gue!"

"Lu mau ke mana, hah?!"

Boruto menunjuk ke tempat Dance. "Kartika. Ada Kartika di sono."

"Kartika? Ah, gak mungkin." Sumire melirik ke sana. Kemudian dalam hati menyeringai. "Bukan, Sen. Itu bukan Kartika. Mata lu aja picek. Kebanyakan nobar b*kep ama Hasan sii lu, jadi juling. Ah, dah yuk. Jangan yang aneh-aneh lu!"

"Mbak ... itu ... itu Kartika! Sumpah dah, tadi dia madep sini, emang bener dia ... gua gak salah liat."

"Nih." Sumire menarik tangan Boruto lalu memberikan uang sebesar dua puluh ribu dollar—eh gila, kebanyakan—dua puluh ribu rupiah, kemudian tersenyum manis kepadanya. "Gidah, tuker jadi koin. Gua nunggu di sini ya. Awas kalo lu ngayab, nanti malem biji lu tinggal setengah, hehe." Wanita hamil itu memberikan senyum manisnya beserta kedua gigi taring yang mendadak keluar. Kedua matanya juga menyipit.

Boruto sudah cabut duluan sebelum Sumire mendorongnya hingga tersungkur, seperti satu minggu lalu—ketika tak sengaja Boruto memasukkan susu ibu hamil perisa cokelat ke bekal makan suaminya, sampai telur balado dan mi goreng instan yang disiapkan khusus itu malah bikin suaminya keracunan hingga mual seharian. Boruto jelas tak mau hal itu terjadi. Bukan hanya tubuhnya yang sakit, dia juga akan malu kalau sampai nyungsep di kerumunan.

Sementara Sumire, sambil menunggu Boruto yang sibuk mengantre untuk membeli koin, dia tersenyum lebar saat melihat Sarada Kartika Dewi dan beberapa temannya masih asyik bermain Dance. Dia berharap, Boruto tak melihat gadis itu sebab ia belum siap membantu Boruto, apalagi dia sadar bahwa Boruto terlalu gembel jika disandingkan dengan gadis bak berlian seperti Sarada Kartika Dewi itu. Kalau mau jujur sih, Sumire ingin sekali, namun dia tak ingin menyakiti hati Boruto dengan mengatakan bahwa Boruto tak pantas mendapatkannya. Bagai langit dan bumi, kalau diumpamakan.

Lihat saja, tubuh gadis itu ramping. Gerakannya lincah dan lihai. Wajahnya cantik meski dibanjiri peluh penuh semangat. Benar-benar jauh kalau bersama Boruto yang modal outfit doang. Tampang pas-pasan, ditambah pengangguran pula! JAUH DAH. Kata pepatah jadul, mah; Mundur ... tau diri! Mundur. Persis juga seperti kata tukang parkir.

"Nih."

Tiba-tiba sekantong kecil penuh koin sudah menutupi pandangan Sumire. Dia tersenyum, mengambil kantong itu lalu mengelus perut buncitnya dan mengajak Boruto menjauh untuk ikut—melihatnya saja—bersenang-senang.

Perjuangan Boruto Mengejar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang