BAGIAN 7

205 16 1
                                    

Mereka sampai di sebuah desa yang dulu pernah disinggahi. Mereka turun dari kuda dan berjalan sambil menuntun tungganannya.
Tapi yang mereka lihat adalah sebuah pemandangan yang mengerikan. Rumah-rumah hangus terbakar. Ada beberapa mayat bergelimpangan menebarkan aroma busuk. Desa itu seperti desa hantu. Tak satupun penduduk yang bisa ditemui.
"Kakang, bukankah ini Desa Palungan yang pernah kita mampir disini? Kenapa jadi seperti ini?" tanya Pandan Wangi dengan keheranan.
"Entahlah, hanya orang-orang bidab yang berani melakukan ini semua."
Mereka berjalan pelan-pelan menyusuri jalan utama desa itu. Banyak rumah yang hangus dan rubuh hampir rata dengan tanah.
"Kakang merasakannya?" tanya Pandan Wangi yang merasakan kehadiran beberapa orang sedang mengawasinya dari tempat tersembunyi.
"Ya, tetap waspada, Pandan." Rangga memperingatkan.
Tiba-tiba...
Wuzz... Wuzz... !!
Beberapa anak panah meluncur deras ke arah Rangga dan Pandan Wangi.
"Hup..."
Traakk!
Baik Rangga maupun Pandan Wangi berhasil mematahkan puluhan anak panah yang mengarah kepadanya.
Puk!
"Dewa Bayu, cepat menyingkir!"
Rangga menepuk punggung Dewa Bayu dan menyuruhnya pergi. Langsung saja kuda hitam itu melesat diikuti kuda puith milik Pandan Wangi.
Tak beberapa muncullah puluhan orang-orang bersenjata dengan wajah-wajah yang tak bersahabat. Bermacam-macam senjata yang mereka pegang semakin menambah kebengisan.
Mereka tidak langsung menyerang Rangga dan Pandan Wangi. Mereka hanya mengelilinginya sambil menjaga jarak.
"Kisanak, apakah kalian semua yang telah menghancurkan desa ini?" tanya Rangga menahan amarah.
Gerombolan itu hanya diam tidak ada yang menyahut.
"Apakah kalian semua tuli?" kembali Rangga melemparkan pertanyaan.
Lalu dari gerombolan itu muncullah seorang nenek tua berwajah keriput. Tampaknya nenek tua itu adalah pimpinan gerombolan itu.
"Mau apa kalian kesini?" tanya nenek tua itu dengan suara serak.
"Maaf, Nyisanak. Kami hanya numpang lewat saja..." jawab Rangga dengan tenang.
Kemudian salah seorang anak buahnya mendekati dan membisiki sesuatu ke telinga nenek tua itu, seraya tangannya menunjuk ke arah Pandan Wangi.
Seketika raut muka nenek itu berubah. Pandangannya tajam ke arah Pandan Wangi. Kemudian dia melangkah mendekati Pandan Wangi.
"Jadi kau yang membunuh putraku...?" desis nenek itu seraya melotot ke arah Pandan Wangi.
"Maaf, Nyisanak. Mungkin kau salah orang. Kita baru pertama kali bertemu, dan aku tidak tahu siapa putramu." jawab Pandan Wangi.
"Kau telah membunuh Genta Pati! Tak ada harga yang pantas dibayar selain nyawamu!" sentak nenek itu dengan suara menggelegar. Ternyata nenek tua itu adalah Nyi Puring, ibu dari Genta Pati yang telah dibunuh Pandan Wangi waktu itu.
"Oh, jadi Genta Pati itu putra Nyisanak. Maafkan kalau putramu harus mati. Tapi dia memang layak mendapatkannya karena sudah banyak membunuh memperbudak warga desa Palungan ini." terang Pandan Wangi.
"Tutup mulutmu! Aku tak butuh ocehanmu! Sekarang juga kau harus mati ditanganku! Hiyaaat...!"
Tanpa basa-basi, Nyi Puring langsung melancarkan serangan ke arah Pandan Wangi.
Slap! Slap!
"Hup"
Dengan sigap Pandan Wangi berhasil menghindari pukulan serta tendangan yang dilancarkan Nyi Puring. Karena serangannya luput, Nyi Puring makin menyerang dengan kecepatan yang lebih ditingkatkan.
Pukulan Badai Api yang dilancarkan Nyi Puring makin mengarah ke titik-titik berbahaya Pandan Wangi.
Namun Pandan Wangi dengan gerakan-gerakan yang tak kalah cepat mampu menangkis semua pukulan mematikan itu. Seketika hawa di sekitar pertarungan menjadi terasa panas karena pengaruh jurus Pukulan Badai Api. Namun dengan ilmu Naga Sewu yang dikuasai Pandan Wangi, hawa panas itu bisa dikendalikan karena ilmu Naga Sewu juga mempunyai hawa panas juga.
Sampai di satu titik, Nyi Puring mengambil beberapa langkah ke belakang sambil menyiapkan jurus Pukulan Badai Api tingkat akhir. Tangannya terkepal erat, lalu muncul kepulan asap darai tangannya.
Pandan Wangi yang melihat hal itu segera menyiapkan ancang-ancang, Telapak tangan kanannya merapat dan diletakkan di depan dada. Terlihat tangan Pandan Wangi berubah memerah seperti bara api.
"Hiyaaaaat!"
"Haiiiit"
Keduanya melompat sambil mengirimkan pukulan mematikan satu sama lain. Dan pada satu titik, kepalan tangan Nyi Puring dan Pandan Wangi saling bertemu.
Duaarr!!
Akibatnya terjadi ledakan dahsyat yang memekakkan telinga.
Terlihat Pandan Wangi masih mantab berdiri di atas kuda-kudanya, sedangkan Nyi Puring agak terjajar ke belakang beberapa langkah.
Sejenak keduanya saling pandang. Saling mengukur kekuatannya masing-masing.
"Pandan! Kau tidak apa-apa?"
Rangga sedikit khawatir melihat hal itu.
"Aku baik-baik saja, Kakang..." jawab Pandan Wangi dengan tenang.
"Mundurlah, Pandan. Biar aku yang hadapi..." sergah Rangga cepat.
"Tak perlu, Kakang. Aku sudah bisa mengukur sejauh mana kekuatannya." kembali jawaban Pandan Wangi dengan suara yang tenang.
Sementara itu Nyi Puring masih memandang ke arah Pandan Wangi, terlihat dia mulai mengatur pernafasannya agar kembali lancar. Tangannya bergetar hebat seperti disengat ribuan kalajengking akibat beradu pukulan dengan Pandan Wangi tadi.
"Hmm... Pantas saja Genta Pati bisa kau kalahkan. Rupanya aku sedang berhadapan dengan pendekar berilmu tinggi..." desis Nyi Puring.
"Sebaiknya kita hentikan saja pertarungan ini, Nyisanak. Aku tak mau mengotori tanganku..." kata Pandan Wangi menasehati.
"Katakan siapa sebenarnya dirimu dan darimana asalmu?" tanya Nyi Puring.
"Namaku Pandan Wangi. Aku berasal dari Karang Setra." jawab Pandan Wangi Mantab.
"Hmmm...." Nyi Puring mengernyitkan dahinya. Baru kali ini dia mendengar nama itu.
"Kalau boleh tahu juga, siapakah Nyisanak ini?" Pandan Wangi balik bertanya.
"Hahaha... Aku biasa dipanggil Nyi Puring. Semua orang yang mendengar namaku pasti ciut nyalinya." jawab Nyi Puring sambil tertawa pongah.
"Maaf, Nyi. Tapi aku tak sedikitpun gentar mendengar nama itu." sergah Pandan Wangi.
"Hahaa... Kau boleh bertepuk dada karena sudah membunuh putraku. Tapi dendamku harus terbalaskan. Nyawa dibayar nyawa!" tegas Nyi Puring.
"Jika itu keinginanmu, aku siap menghadapi!" timpal Pandan Wangi.
"Bersiaplah menuju ke naraka! Hiyaaatt!!"
Kali ini Nyi Puring sudah tidak main-main lagi. Dikerahkannya semua ilmu yang dia miliki untuk membunuh Pandan Wangi.
"Hap!"
Tak
Tangkisan Pandan Wangi membuat pukulan Nyi Puring mentok. Kali ini Pandan Wangi merasakan jurus yang digunakan Nyi Puring lebih berbahaya daripada yang tadi. Pukulan dan tendangannya lebih mematikan.
Pertarungan antara Nyi Puring melawan Pandan Wangi pun semakin sengit. Keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Di saat yang bersamaan, gerombolan anak buah Nyi Puring berlompatan menyerang Rangga yang sejak tadi mengamati pertarungan. Dipimpin oleh Baruna, mereka mengurung Rangga dan menyerangnya dengan berbagai senjata.
"Sial! Monyet-monyet buduk...!"
Rangga hanya bisa mengumpat. Mau tidak mau dia harus menghadapi keroyokan anak buah Nyi Puring.
Pertarungan terbagi jadi dua. Pandan Wangi melawan Nyi Puring dan Rangga melawan keroyokan anak buah Nyi Puring.
Namun meskipun dikeroyok puluhan orang, Rangga tak sedikitpun kewalahan. Rata-rata kemampuan ilmu pengeroyoknya jauh di bawah Rangga. Sehingga mulai terlihat satu per satu gerombolan itu mulai bertumbangan. Pukulan dan tendangan Rangga telak menghabisi satu demi satu musuh-musuhnya.
Sampai tersisa tinggal seorang. Baruna yang menjadi orang kepercayaan Nyi Puring memang punya ilmu yang tinggi. Pertarungan Rangga melawan Baruna semakin sengit. Namun lama-lama terlihat jika tingkat ilmu Baruna masih berada di bawah Rangga. Pertahanan Baruna semakin kedodoran. Pukulan dan tendangan Rangga berkali-kali menghantam tubuhnya. Darah pun sampai muncrat dari mulut Baruna.
"Hiyaatt!!"
Trakk
Satu hantaman tangan Rangga akhirnya bersarang telak di batok kepala Baruna. Terdengar suara retakan.
Baruna hanya terpekik sesaat, lalu terjatuh ke tanah dan diam tak bergerak lagi. Dari kepalanya terus mengalirkan darah segar.
"Huh... dasar kecoa! Beraninya main keroyokan. Sekarang rasakan akibatnya." umpat Rangga setelah merobohkan Baruna.
Rangga beralih pandangannya ke arah pertarungan antara Pandan Wangi dan Nyi Puring. Dia kagum melihat gerakan-gerakan jurus Pandan Wangi. Cepat dan terarah.
"Luar biasa! Aku belum pernah melihat Pandan Wangi bertarung seperti ini..." puji Rangga dalam hati.
Rangga sedikit lebih tenang melihat Pandan Wangi yang tak sedikitpun tertekan oleh serangan lawannya.
"Hiaaattt!"
Slap! Slap!
Nyi Puring mulai mengeluarkan senjata rahasianya berupa pisau-pisau kecil yang mengandung racun ganas. Puluhan pisau itu meluncur deras ke arah Pandan Wangi.
Sriing!
"Heyaaaah...!"
Dengan cepat Pandan Wangi mencabut Pedang Naga Geni dari warangkanya. Dengan gerakan cepat dia memutar pedang itu menjadi perisai.
Trass! Trass!
Pisau-pisau kecil itu rontok terkenan sapuan pedang Naga Geni.
"Dasar curang!" teriak Pandan Wangi.
Tak ayal hal itu membuat Pandan Wangi marah. Dia tak ingin berlama-lama lagi bertarung dengan nenek tua ini. Segera dikerahkan jurus Naga Wisesa yang sudah dikuasainya.
"Haiit"
Dengan Pedang Naga Geni di tangannya, jurus Naga Wisesa menjadi semakin dahsyat dan menakutkan.
"Oh.. eh...?"
Nyi Puring terkejut melihat peningkatan ilmu Pandan Wangi. Sejenak pertahanannya kedodoran. Sabetan-sabetan Pedang Naga Geni dengan susah payah dihindari.
Dengan gerakan lincah Nyi Puring bersalto ke belakang sambil menyiapkan ancang-ancang. Ketika kakinya menjejak ke tanah, tangannya langsung terkepal. Lalu kepalan tangannya berubah memerah seperti bara api.
"Huh, kau tak akan sanggup menghadapi jurus Pukulan Lahar Neraka! Terima ini... Ciaaattt!"
Teriak Nyi Puring sambil melontarkan jurus pamungkasnya yaitu Pukulan Lahar Neraka.
Sreet!
Selarik sinar putih melesat keluar dari kepalan tangan Nyi Puring.
Pandan Wangi tak kalah siap, dia memutar pedangnya beberapa kali. Terlihat kedua bola mata Pandan Wangi sudah berubah menjadi merah menyala seperti lahar gunung berapi. Dengan cepat disorongkan pedangnya ke arah sinar yang mengarah ke dirinya. Seketika dari Pedang Naga Geni keluar sinar merah membara.
Duarr!
Plasss!!
Sinar merah membara dari Pedang Naga Geni langsung menghancurkan sinar putih kiriman Nyi Puring. Namun sinar merah itu tidak berhenti, tapi terus melesat cepat ke arah Nyi Puring!
"Apa? Gila!"
Nyi Puring tak sempat menghindar dari terjangan sinar merah itu.
"Aaaaaargghh...!!"
Nyi Puring terlempar ke belakang terhajar sinar merah milik Pandan Wangi. Tubuhnya kelojotan terbungkus sinar merah menyala seperti lahar gunung berapi.
Tak lama kemudian tubuh Nyi Puring diam tak bergerak. Sinar merah itupun perlahan-lahan menghilang. Yang tersisa sekarang adalah seonggok tubuh hitam gosong dan mengepulkan asap.
"Hup"
Trek!
Pandan Wangi menyarungkan kembali Pedang Naga Geni. Dipandanginya dari jauh tubuh yang gosong itu.
"Maaf, Nyi... Kau yang memaksaku..." desis Pandan Wangi lirih.
Rangga berlari kecil mendekati Pandan Wangi.
"Pandan, kau tidak apa-apa?"
"Seperti yang kau lihat, Kakang. Aku tidak kurang suatu apapun." jawab Pandan Wangi.
"Kau sungguh luar biasa, Pandan. Aku sangat kagum dengan ilmu yang kau miliki sekarang." puji Rangga.
"Ah, Kakang terlalu memuji. Ingat pesan Eyang Wibisana, jangan merasa tinggi hati." kata Pandan Wangi sambil tersenyum.
"Tapi saat ini aku yakin tak akan ada lagi orang berani mencari masalah denganmu, Pandan." lanjut Rangga.
"Ah, sudahlah, Kakang. Bisa-bisa kepalaku jadi melembung karena pujianmu..." canda Pandan Wangi.
"Hehehe... begitukah?"
"Ayo, Kakang... kita pulang ke Karang Setra." ajak Pandan Wangi.
"Itu yang aku inginkan. Ayo kita pulang..."
Mereka pun segera melesat pergi meninggalkan Desa Palungan yang sudah porak poranda.

***

215. Pendekar Rajawali Sakti : Naga WisesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang