BAGIAN 3

211 14 1
                                    

Menjelang sore hari mereka sampai di sebuah perkampungan. Mereka memperlambat laju kuda-kuda mereka.
"Kali ini kita tidak tidur di hutan lagi, Pandan. Kita cari penginapan saja di sini." usul Rangga.
Pandan Wangi mengangguk mengiyakan, karena selama perjalanan selama ini mereka memang selalu tidur di hutan dan goa-goa kecil.
Namun ada yang membuat mereka agak heran. Di tengah hilir mudik dan lalu lalang para penduduk desa, ada beberapa orang terlihat terus memandangi Rangga dan Pandan Wangi. Mereka memegang sejumlah senjata di pinggang mereka, ada yang berupa golok, pedang dan ada pula tombak. Mereka tersebar di beberapa sudut desa. Bahkan saat tadi Rangga dan Pandan Wangi memasuki desa ini, ada dua orang yang membawa tombak terus memandangi kedatangan mereka. Sepertinya orang-orang itu adalah penjaga keamanan di desa tersebut, namun wajah-wajah mereka terlihat bengis dan tidak bersahabat.
"Kakang, orang-orang bersenjata itu terus mengawasi kita." bisik Pandan Wangi lirih.
"Biarkan saja, Pandan. Kita tidak perlu berurusan dengan mereka, selama tidak mengganggu kita." jawab Rangga dengan pandangan lurus ke depan tanpa menoleh.
Rangga dan Pandan Wangi tetap duduk tenang di atas kuda-kuda mereka yang berlajan pelan menelusuri jalan desa. Mereka tidak peduli sedikitpun pada orang-orang bersenjata yang terus mengawasi mereka.
Kuda-kuda dan penunggangnya itu pun berhenti di depan sebuah bangunan kayu yang nampaknya adalah sebuah penginapan. Dan memang, setelah turun dari kudanya, terlihat seorang anak laki-laki usia sekitar belasan tahun menyambut kedatangan mereka dan menuntun kuda-kuda itu untuk di tempatkan di penitipan kuda.
"Silahkan masuk, Raden..." anak itu mempersilahkan Rangga dan Pandan Wangi masuk ke dalam.
Tak lama kemudian datanglah seorang perempuan berusia sekitar lima puluhan tahunan.
"Mari silahkan masuk, Raden. Pasti kalian lelah setelah perjalanan jauh." dengan senyum ramah wanita itu mempersilahkan masuk.
"Kami mau menyewa dua kamar, apakah tersedia, Nyi?" tanya Rangga.
"Hehehe... Tentu saja ada. Nama saya Karsini, panggil saja Nyi Karsini. Orang-orang di sini biasa memanggilku seperti itu. Nah, silahkan duduklah dulu sebentar sementara kami siapkan kamar untuk kalian berdua." wanita tua itu memperkenalkan dirinya tanpa diminta.
"Oh iya... Terima kasih, Nyi Karsini..." jawab Rangga.
Kemudian Rangga dan Pandan Wangi duduk di atas tikar pandan yang tergelar di ruangan teras itu. terdapat meja kayu kecil di tengah-tengahnya. Penginapan ini memang tidak terlihat mewah.
Sekilas Pandan Wangi melirik ke arah luar, dan beberapa orang bersenjata itu dari kejauhan masih terus mengawasi.
"Orang-orang itu masih terus mengawasi kita, Kakang." bisik Pandan Wangi.
"Kita bersikap biasa saja, Pandan. Tapi tetap waspada. Sepertinya mereka tidak suka dengan kedatangan kita." jawab Rangga kalem.
Beberapa saat kemudian datanglah Nyi Karsini sambil membawa nampan besar dari bambu berisi aneka makanan. Di belakangnya mengikuti seorang anak laki-laki membawa minuman.
"Silahkan, Den..." ucap Nyi Karsini sambil meletakkan nampan bambu di atas meja kecil.
"Terima kasih, Nyi..." balas Rangga dengan ramah.
Ketika Nyi Karsini hendak meninggalkan ruangan, buru-buru Rangga memanggilnya.
"Nyi, bolehkan saya bertanya sesuatu?" tanya Rangga.
Nyi Karsini membalikkan badannya dan duduk di hadapan Rangga.
"Boleh saja, Den. Apa yang mau Raden tanyakan?"
"Apa nama desa ini, Nyi?"
"Ini Desa Palungan."
"Apakah desa ini sering terjadi tindak kejahatan?"
"Tidak, Den. Desa ini aman-aman saja."
"Lalu siapa orang-orang yang membawa senjata itu? Apakah mereka yang menjaga desa ini?"
Nyi Karsini yang tadinya tersenyum ramah menjadi terdiam mendengar pertanyaan Rangga. Raut mukanya berubah sedih.
"Eeh... Maaf, Nyi. Kami tidak bermaksud apa-apa, jika memang tidak berkenan, Nyi Karsini tidak perlu menjawabnya." Rangga buru-buru meminta maaf atas pertanyaannya tadi karena melihat perubahan sikap Nyi Karsini.
"Maaf, Nyi. Sejak kedatangan kami kesini tadi, mereka terus mengawasi kami, seakan-akan mereka tidak suka dengan kami di sini. Dan jikalau pun kehadiran kami tidak diterima di sini, kami akan segera pergi. Kami tidak ingin mencari keributan, Nyi." tambah Pandan Wangi.
Nyi Karsini masih terdiam. Nampaknya ada beban yang begitu berat yang disimpan wanita tua itu. Rangga dan Pandan Wangi masih menunggu apa yang akan dikatakan Nyi Karsini.
"Sebenarnya desa ini tidak benar-benar aman, Den. Orang-orang itu bukan penjaga keamanan desa ini..." Nyi Karsini mulai membuka cerita.
"Desa ini dulu aman dan tenteram. Sampai kemudian datanglah gerombolan perampok yang menguasai desa ini. Gerombolan itu dipimpin oleh seorang yang berilmu tinggi, bernama Genta Pati. Dia punya julukan yaitu Iblis Tangan Api. Dia menjadikan desa ini sebagai daerah kekuasaannya. Tak ada yang berani melawan. Kepala desa kami yang punya ilmu kanuragan pun dengan mudah dibinasakan olehnya. Sejak saat itu keadaan desa ini berubah. Harta kami dirampas. Hasil bumi dari ladang dan sawah kita sendiri juga dirampas, dan hanya disisakan sedikit untuk kami. Mereka memang tidak membunuh kami, tapi kami dipaksa untuk melayani dan memberikan semua yang dia inginkan..." sejenak Nyi Karsini menghentikan ceritanya untuk mengambil nafas.
"... Orang-orang yang bersenjata itu adalah anak buah Genta Pati. Mereka setiap hari mengawasi semua yang kami kerjakan. Siapa saja yang merencanakan perlawanan, pasti akan binasa. Bahkan siapa saja yang ketahuan menyembunyikan persediaan makanan atau hasil bumi, maka hukuman berat pasti sudah menanti. Kami hanya mendapatkan bahan makanan sisa-sisa mereka."
"Apakah tidak ada yang mencoba mencari bantuan keluar desa, Nyi?" tanya Pandan Wangi.
"Bagaimana bisa, orang-orang Genta Pati ada di mana-mana. Sudah beberapa pemuda mati sia-sia karena ketahuan keluar desa untuk mencari bantuan. Mereka seperti tak punya rasa lelah. Kami hanya bisa pasrah, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi..." terlihat Nyi Karsini mulai menangis tapi kemudian ditahannya kembali.
Rangga yang mendengar cerita itu jadi geram hatinya. Ternyata desa yang terlihat aman-aman ini telah dikuasai manusia kejam.
"Kakang, apakah tidak sebaiknya kita bantu saja desa ini? Penduduk desa ini sangat menderita, Kakang." usul Pandan Wangi pada Rangga.
"Tentu saja, Pandan. Tapi kita harus berhati-hati, jangan sampai gegabah. Aku tidak mau penduduk desa yang tidak berdosa ini ikut menjadi korban." tegas Rangga mantab.
Sejurus kemudian terdengar suara langkah kaki mendekati ruangan tempat Rangga dan Pandan Wangi duduk. Tak kurang dari tujuh orang-orang laki-laki bersenjata yang sedari tadi mengawasi Rangga dan Pandan Wangi, menyeruak masuk dan langsung mengelilingi mereka.
Pandangan gerombolan orang-orang itu tajam menghujam bergantian pada Rangga dan Pandan Wangi. Namun begitu Rangga tetap bersikap tenang, sedangkan Pandan Wangi malah justru berani melawan tatapan gerombolan itu.
"Hei kalian orang asing! Ada perlu apa kalian kemari?" tanya salah seorang yang tampaknya mempunyai ilmu yang paling tinggi di antara mereka.
"Kami hanya numpang lewat, Kisanak. Kami kemalaman di sini dan ingin sekedar menginap beristirahat." jawab Rangga kalem.
"Ini daerah kekuasaan kami. Siapa saja orang asing yang lewat di sini harus bayar upeti seratus keping emas pada kami!" kata orang itu dengan nada tinggi.
"Tapi kami tidak punya uang sebanyak itu, Kisanak. Hanya cukup untuk bayar sewa kamar malam ini. Itu pun jika uang kami habis, mungkin esok akan jadi pengemis di desa ini." jawab Rangga setengah bercanda.
"Kalau begitu kalian harus segera pergi dari sini!" bentak orang itu kasar.
"Tapi hari sudah gelap, Kisanak. Kami takut dimakan anjing liar jika tidur di dalam hutan sana." seloroh Rangga masih dengan nada kalem.
Sejenak orang itu terdiam, pandangannya beralih ke arah Pandan Wangi.
"Hmm... Kalau begitu serahkan wanita itu pada kami, dan kau boleh menginap di sini!" kata orang itu sambil matanya merayapi Pandan Wangi dari kepala sampai ke bawah.
"Bangsat! Dasar kalian manusia biadab!" seketika Pandan Wangi bangkit dari duduknya dan mengumpat sambil menatap tajam orang itu.
"Hehehe... Jangan takut, manis. Kau akan kami jadikan ratu kami, semua yang kau pinta akan kami turuti." orang itu makin berani menggoda Pandan Wangi.
"Tenanglah, Pandan... Jangan ladeni dia..." kata Rangga setengah berbisik.
"Tidak, Kakang. Dia sudah berani melecehkan aku!" amarah Pandan Wangi mulai memuncak.
Sedangkan orang-orang itu makin beringas melihat Pandan Wangi terpancing emosinya.
"Hehehe... Tidak apa, kami suka dengan wanita yang galak, itu akan semakin menambah gairah kami. Hahaha..."
Suara tawa itu ternyata sudah membuat Pandan Wangi sampai pada batas emosinya.
"Kurang ajar! Kalian sudah seharusnya kukirim ke neraka! Hyaaatt...!!"
Tanpa basa-basi Pandan Wangi menerjang orang yang ada di depannya dengan cepat.
"Pandan! Tunggu ...." Rangga bermaksud mencegah. Tapi terlambat karena serangan Pandan Wangi sudah melesat cepat ke arah orang itu.
Wuss!
Plakk!
Pukulan terarah Pandan Wangi mampu ditangkis orang itu, namun dia terkejut karena merasakan tangannya panas seperti terbakar.
"Gila! Pukulannya kuat sekali!" gumam orang itu dalam hati. Namun segera dibalasnya dengan mengirimkan tendangan ke perut Pandan Wangi.
Namun Pandan Wangi dengan menggeser sedikit tubuhnya ke samping, tendangan itu luput dari sasaran. Melihat pertahanan musuh terlihat kosong, Pandan Wangi dengan cepat mengirimkan rangkaian pukulan dipadukan dengan tendangan yang membuat musuhnya kelabakan karena kerepotan menahan gempuran yang sangat cepat itu.
"Huh! Cuma itu kemampuanmu?" ledek Pandan Wangi dengan sinis.
Orang itu menjawab ledekan Pandan Wangi dengan kembali menyarangkan pukulan yang kali ini mengarah ke kepala.
Slash!
Kali ini Pandan Wangi tidak menghindari serangan itu, namun dipapaknya dengan kepalan tangan yang berisi tenaga dalam penuh.
Krakk!
Terdengar suara tulang yang patah. Ternyata tangan orang itu remuk beradu tenaga dengan kepalan tangan Pandan Wangi. Mulutnya meringis kesakitan.
Melihat musuhnya goyah, Pandan Wangi mengayunkan kaki kanannya tepat ke arah dagu orang itu.
Dug!
Tak ayal kepala orang itu terdongak ke atas. Tanpa ampun lagi Pandan Wangi menghujamkan pukulan bertenaga dalam tinggi ke dada orang itu.
"Ugh...!"
Hanya terdengar sedikit lenguhan pelan, orang itu pun tersungkur ke tanah dengan mulut yang terus mengeluarkan darah. Setelah itu diam tidak bergerak lagi.
Gerombolan yang melihat kejadian itu terkejut. Mereka tidak menyangka hanya dengan sekali gebrak saja sudah mampu menewaskan salah satu teman mereka.
"Kurang ajar! Kau harus mati! Hiaatt...!!"
Kemudian dua orang langsung mencabut pedang dan bergerak cepat mengayunkan senjatanya ke arah Pandan Wangi.
Namun Pandan Wangi cukup meladeninya dengan tangan kosong saja. Dia sudah tahu sejauh mana kemampuan orang yang menyerangnya itu.
Tebasan pedang yang mengarah ke kepala dan perut Pandan Wangi mampu dihindari dengan melompat sambil bersalto di udara.
Mengetahui sabetan pedangnya luput, mereka makin beringas menyerang Pandan Wangi. Terlihat pertarungan itu tidak seimbang karena dua orang laki-laki mengeroyok seorang wanita.
Namun kenyataanya yang terjadi adalah kebalikannya. Serangan menggunakan senjata kedua orang itu tidak pernah ada yang mampu mengenai sasarn. Malah sebaliknya beberapa pukulan dan tendangan Pandan Wangi bersarang telak di tubuh mereka.
Dan pada satu kesempatan Pandan Wangi melihat kuda-kuda salah seorang musuhnya terlihat lemah. Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, langsung disikatnya kaki orang itu dengan sepakan kaki kiri.
Takk!
Seketika persendian tulang lutut orang itu pun copot terkena hajaran kaki kiri Pandan Wangi.
"Aaah...!!"
Orang itu jatuh tersungkur seraya menjerit kesakitan karena tulang keringnya terlepas dari lutut namun masih menempel dengan dagingnya.
"Heh?"
Teman yang lainnya terkejut melihat kejadian itu. Namun justru itu membuat dirinya lengah. Dia tidak melihat sebuah pukulan kilat sedang mengarah ke wajahnya.
Jrott!
Laki-laki itu terpental sejauh dua tombak ke belakang.
"Aaawh...!"
Sambil mengaduh, orang itu menutupi wajahnya yang baru saja dihajar pukulan Pandan Wangi. Dari sela-sala jarinya mengalir darah kental.
Tak mau menunggu lama lagi, Pandan Wangi segera bersiap dengan sebuah kepalan tangan bertenaga dalam tinggi untuk mengirim musuhnya itu ke alam baka.
"Cukup, Pandan...!" teriak Rangga melihat Pandan Wangi hendak menghabisi lawannya yang sudah tak berdaya.
Pandan Wangi menghentikan serangannya. Pandangannya diedarkan ke sekeliling.
"Huh! Dasar kecoa-kecoa tah tahu diri, masih untung kalian tidak jadi kukirim ke neraka!" umpat Pandan Wangi pada dua orang yang masih hidup.
"Pandan, sepertinya kita akan dapat masalah yang lebih besar." kata Rangga.
"Kenapa, Kakang?"
"Kulihat sebagian dari mereka melarikan diri..."
"Itu karena mereka semua pengecut, ilmunya tak seberapa sudah berani berlagak di depanku!" dengus Pandan Wangi masih terbawa amarah.
"Bukan begitu, aku yakin mereka pasti akan kembali dengan orang yang lebih banyak. Dan tentunya ilmunya lebih tinggi dari yang ini." jelas Rangga.
"Aku tidak takut, Kakang! Mereka semua cuma kroco. Biar aku yang hadapi mereka semua, Kakang!" tegas Pandan Wangi dengan penuh percaya diri.
"Jangan gegabah, Pandan. Aku yakin mereka bukan orang sembarangan." Rangga memperingatkan Pandan Wangi.
Dan dugaan Rangga memang benar. Tak perlu waktu lama, bermunculan puluhan orang membawa berbagai macam senjata yang siap dihunus kapan saja. Wajah-wajah mereka terlihat bengis dipenuhi nafsu membunuh.
"Hup...!"
Kemudian datang melompat sesosok tubuh berbadan tegap dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna. Terlihat dari cara dia mendarat di tanah yang hampir tidak menimbulkan suara sedikitpun. Sosoknya terlihat kekar dengan dada bidang, pakaiannya serba hitam dan berikat kepala dengan kain hitam pula. Di pinggangnya terselip sebuah senjata berupa golok. Sudah bisa dipastikan bahwa dialah pimpinan dari gerombolan itu.
Dia mendarat di depan gerombolan anak buahnya. Pandangan matanya diedarkan ke sekeliling, terlihat seorang yang merintih sambil memegang kakinya, kemudian seorang lagi menutupi wajahnya dengan kedua tangan yang berlumuran darah, dan seorang lagi diam tidak bergerak.
"Siapa yang berani melakukan ini...?" tanya orang itu dengan suara yang berat.
"Aku...!" Pandan Wangi menyahut dengan suara tegas.
Tatapan sosok itu pun mengarah dengan tajam ke arah Pandan Wangi.
"Berani sekali kau membunuh anak buahku. Kau harus menebusnya dengan nyawamu!"
"Oh, tenyata kau pimpinan para begundal tak berguna itu. Pasti kau yang bernama Genta Pati alias Iblis Tangan Api!" dengus Pandan Wangi.
"Hmm... Bagus kalau kau sudah tahu..." balas sosok itu yang ternyata adalah Genta Pati.
"Kalian para perampok tidak sepantasnya hidup di dunia ini. Kalian sudah membuat penduduk desa ini menderita dengan kebiadaban kalian. Neraka adalah tempat yang pantas bagi kalian semua!" dengus Pandan Wangi.
"Hahaha... Sombong sekali bicaramu. Kau belum tahu siapa yang kau hadapi."
"Tentu saja aku tahu! Kau cuma kecoa yang kerjanya hanya bikin onar!" balas Pandan Wangi dengan sengit.
"Hahaha... Aku jadi berubah pikiran. Aku tak akan membunuhmu, sebagai gantinya kau harus jadi istriku. Bagaimana? Kau mau? Hahaha..." suara tawa Genta Pati makin lebar.
"Puih...! Jangan mimpi kau, manusia bejat! Akan kucincang tubuhmu dan kuberikan pada anjing liar kalau kau berani kurang ajar!" ujar Pandan Wangi dengan nada tinggi karena emosinya tak tertahankan lagi.
"Jangan galak-galak, manis. Aku berjanji kau akan kuberikan kenikmatan surga yang belum pernah kau rasakan sebelumnya, hahaha..." makin berani saja Genta Pati pada Pandan Wangi.
"Biadab! Rasakan ini! Hiyaaatt...!"
Tanpa basa-basi Pandan Wangi menerjang Genta Pati dengan serangan kilat.
"Hup.."
Namun Genta Pati mampu menghindarinya dengan melompat ke udara. Dikirimnya serangan balasan berupa pukulan jarak jauh.
"Hih..!"
Slapp!

215. Pendekar Rajawali Sakti : Naga WisesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang