Hari pun sudah gelap ketika Rangga dan Pandan Wangi tiba di desa Taruk, yang masih masuk ke wilayah kerajaan Karang Setra.
"Sudah gelap, Pandan. Bagaimana kalau kita cari penginapan dulu?" usul Rangga.
"Baiklah, Kakang." Pandan Wangi pun setuju dengan usul Rangga.
"Kita ke penginapan Ki Wangun saja, tempatnya bersih dan kamarnya agak luas."
Rangga memang sudah mengenal desa Taruk, termasuk juga pemilik penginapan yang disebutkannya tadi.
Keduanya tiba di depan sebuah gerbang kayu yang di dalamnya terlihat bangunan besar. Beberapa orang terlihat datang dan pergi. Di ruangan depan terdapat sebuah kedai yang menyediakan makanan bagi para tamu dan juga penduduk sekitar. Penginapan Ki Wangun juga menyediakan kedai makanan.
Setelah menambatkan kuda-kuda di sebuah tiang kayu besar, Rangga dan Pandan Wangi pun berjalan memasuki ruangan. Terlihat beberapa pengunjung yang tengah asyik menikmati hidangan, ada juga yang sambil bercanda dengan beberapa wanita.
Dengan tergesa-gesa, seorang gadis muda berusia sekitar belasan tahun menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.
"Silahkan duduk, Tuan Muda." kata gadis itu dengan sopan sambil mengarahkan ke tempat duduk yang masih kosong.
"Hmm, siapa namamu, adik manis?" tanya Rangga.
"Sarini, Tuan." jawab gadis itu kembali dengan nada yang sopan.
"Sarini, apakah Ki Wangun ada?" tanya Rangga lagi.
"Oh, iya... ada, Tuan. Sebentar saya panggilkan."
Setelah itu Sarini berbalik badan dan melangkah cepat menuju ke dalam.
Tak perlu menunggu lama, datanglah seorang tua berperawakan kurus keluar dari balik pintu kayu. Diikuti Sarini yang berjalan di belakangnya.
Mulanya Ki Wangun berlajan biasa saja, namun ketika dia mengenali orang yang dihampirinya adalah Rangga, buru-buru dia berjalan cepat dan menunduk seraya memberikan hormat.
"Duh, Gusti Prabu... Mohon ampuni hamba, Gusti." seraya membungkuk, Ki Wangun menghaturkan sembah pada Rangga.
"Sudahlah, Ki. Jangan begitu, aku malah jadi tidak enak sendiri." tukas Rangga yang merasa rikuh dengan sikap Ki Wangun.
Kemudian Ki Wangun menoleh pada Sarini.
"Sarini, apa kau tidak tahu kalau beliau ini Raja Karang Setra?"
"Ampun, Ki. Aku tidak tahu." jawab Sarini takut-takut, bahkan hampir menangis.
Melihat itu, Rangga hanya tersenyum.
"Sudahlah, Ki. Tidak perlu begitu. Sarini gadis yang baik..." kata Rangga menenangkan suasana.
"Cepat minta ampunan pada rajamu, Sarini." perintah Ki Wangun pada Sarini.
Namun sebelum Sarini berucap, buru-buru sudah dicegat Rangga.
"Tidak perlu, Ki. Sarini tidak bersalah, jadi tak perlu memohon ampun. Kami ke sini hanya mau menginap saja karena hari sudah gelap." ujar Rangga.
"Oh, silahkan, Gusti Prabu. Mari saya antar ke kamar khusus untuk Gusti Prabu." jawab Ki Wangun bersemangat.
"Terima kasih, Ki." ujar Rangga.
"Sarini, cepat siapkan hidangan untuk Gusti Prabu." perintah Ki Wangun.
Tanpa menjawab, Sarini langsung berbalik dan berjalan tergesa-gesa menuju dapur.
Rangga dan Pandan Wangi berjalan mengikuti arah langkah Ki Wangun. Kemudian mereka sampai di sebuah ruangan luas yang terdapat beberapa kamar yang tertata rapi dengan hiasan yang indah. Nampaknya kamar-kamar itu memang khusus untuk para tamu yang dipandang punya derajat tinggi. Rangga memesan dua kamar yang bersebelahan.
"Gusti Prabu, jika Gusti memerlukan sesuatu, tinggal bilang saja pada hamba." kata Ki Wangun pada Rangga.
"Terima kasih, Ki. Kau baik sekali pada kami." ujar Rangga.
"Ah, sudah sepatutnya hamba melayani Gusti Prabu. Baiklah, hamba mohon diri dulu. Silahkan Gusti Prabu beristirahat."
Setelah mengaturkan hormat, laki-laki tua itu berbalik menuju pintu keluar.
Setelah Ki Wangun sudah tidak kelihatan lagi, Rangga mengajak Pandan Wangi duduk di kursi panjang terbuat dari kayu jati berukiran burung garuda yang letaknya persis di depan pintu kamar Rangga.
"Pandan, cepat ceritakan padaku apa yang terjadi." tukas Rangga tanpa basa-basi lagi.
Pandan Wangi mengeluarkan selembar gulungan kulit binatang yang kemudian disodorkan pada Rangga.
"Danupaksi memberikan ini padaku. Katanya ada prajurit yang mendapatkan titipan dari seorang tua penjual kayu bakar untuk diberikan padaku." Pandan Wangi mulai membuka pembicaraan.
"Hmmm..." gumam Rangga saat membaca tulisan yang terdapat di lembaran kulit binatang itu. Di situ tertulis pesan yang ditujukan ke Pandan Wangi :
"Pandan Wangi, sudah saatnya kau mengetahui siapa leluhurmu. Naga Wisesa."
Rangga mengernyitkan dahinya.
"Naga Wisesa? Siapa dia?" gumam Rangga lirih.
"Kakang tidak mengenal siapa Naga Wisesa?" tanya Pandan Wangi.
Rangga menggeleng lemah. Kemudian diingat-ingatnya semua peristiwa yang pernah dialaminya selama ini. Namun memang Rangga belum pernah bertemu dan bahkan belum pernah mendengar namanya.
"Kakang, mungkin inilah satu-satunya jalan mengetahui siapa diriku sebenarnya dan darimana asal-usulku. Aku tidak pernah tahu siapa ayah dan ibuku. Bahkan jikalau pun kedua orangtuaku sudah tiada, aku tak pernah tahu di mana makam mereka. Tiap kali aku tanyakan hal itu pada Kakek Tangan Seribu, dia tidak pernah mengatakannya. Sampai beliau tewas pun aku tak pernah tahu. Terkadang aku berpikir, apakah aku ini anak yang tidak dikehendaki terlahir di dunia ini?"
Rangga hanya terdiam sambil terus memandangi lembaran surat dari kulit binatang itu.
"Pandan, aku mengerti perasaanmu. Tapi bagaimana kalau ini hanya jebakan?"
Pandan Wangi jadi terdiam. Dipikir-pikirnya perkataan Rangga memang ada benarnya juga. Bisa jadi ini hanya jebakan.
"Entahlah, Kakang. Bisa jadi ini cuma jebakan. Tapi dalam hati ini selalu ingin tahu siapa sebenarnya aku ini." ujar Pandan Wangi dengan kepala tertunduk.
Sejurus kemudian keduanya terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Suara hembusan angin jadi terdengar diiringi bunyi-bunyian serangga malam.
Tiupan angin malam terasa semakin dingin. Pelan-pelan Rangga meraih pundak Pandan Wangi dan membawa ke dalam dekapannya.
"Pandan, aku akan menemanimu mencari siapa Naga Wisesa. Jika benar dia ingin menunjukkan siapa leluhurmu, tentu aku akan bersyukur sekali. Namun jika ini hanya jebakan untuk mencelakakan dirimu, aku sendiri yang akan menghukumnya." kata-kata Rangga pelan setengah berbisik, namun terdengar jelas di telinga Pandan Wangi.
Mendengar hal itu, Pandan Wangi tersenyum. Kepalanya makin dibenamkan dalam dekapan Rangga yang penuh kehangatan.
"Terima kasih, Kakang. Sebenarnya aku tidak ingin merepotkanmu." ujar Pandan Wangi.
"Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, Pandan." lanjut Rangga sambil sesekali membelai rambut Pandan Wangi yang hitam pekat.
Hati Pandan Wangi tergetar mendengar kata-kata Rangga. Terasa aliran darahnya berdesir dengan kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
215. Pendekar Rajawali Sakti : Naga Wisesa
AksiyonSerial ke 215. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.