Dua orang lelaki berdiri mematung di depan pintu, kemudian agak takut-takut salah seorang dari mereka mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka. Tampak seorang lelaki berdiri tegap dengan mata menyorot ke arah keduanya. Kumisnya lebat hitam, di pinggangnya terselip sebuah golok.
"Mau apa kalian?" tanya lelaki itu.
"Ka.. kami ingin bertemu Nyi Puring, Tuan Baruna." jawab salah seorang dengan gugup.
Sosok yang dipanggil Baruna itu sejenak memandangi mereka berdua bergantian.
"Tunggu di sini," kata Baruna kemudian. Lalu berbalik masuk ke dalam ruangan.
Tak lama kemudian terdengar teriakan dari dalam.
"Masuk kalian berdua!"
Dengan langkah yang pelan disertai perasaan takut-takut, dua orang itu masuk ke dalam.
Sesampainya di dalam, kedua orang itu kembali berdiri mematung. Kepalanya terus menunduk memandangi lantai kayu.
Sedangkan di hadapannya duduk seorang wanita tua berwajah keriput, usianya mungkin sudah sembilan puluh tahunan. Tangannya memegang tongkat dari kayu. Wanita itulah yang bernama Nyi Puring. Di sebelah Nyi Puring, berdiri tegap Baruna yang tadi menyambutnya di pintu.
"Ada apa kalian kemari?" tanya Nyi Puring dengan suara serak.
"Ka... kami ingin me.. menyampaikan sse...sesuatu, Nyi.." kata salah seorang dengan nada takut.
"Bicara yang jelas! Atau kupotong lidah kalian!" teriak Nyi Puring tak sabar.
"I.. iya, Nyi. Ketua Genta Pati ssu.. sudah tewas, Nyi."
"Apa? Coba kau ulangi..." tanya Nyi Puring ingin memastikan.
"Ket.. Ketua Genta Pati sudah tewas, Nyi.." jawab orang itu dengan gemetaran.
Mata Nyi Puring melotot tajam ke arah mereka berdua. Wajahnya berubah menegang.
"Katakan siapa yang membunuhnya..." desis Nyi Puring menahan amarah.
"Sse... seorang pendekar wanita, Nyi..."
"Siapa namanya, goblok...!!" umpat Nyi Puring tak sabar lagi.
"Ti... ti.. tidak tahu, Nyi..."
"Dasar kalian monyet-monyet tak berguna! Percuma saja kalian hidup! Hih...!"
Tiba-tiba Nyi Puring menghentakkan tangannya ke arah kedua orang itu.
Crab! Crabb!
Tanpa bersuara, kedua orang anak buah Genta Pati itu pun langsung ambruk dengan pisau kecil tertancap di leher. Mereka berkelojotan sebentar dengan mulut mengeluarkan busa, kemudian diam tak bergerak.
Sementara itu Nyi Puring terlihat menahan amarah, nafasnya naik turun.
"Genta Pati bukan orang sembarangan, Nyi. Siapa pun yang sudah membunuh dia, berarti dia pendekar berilmu tinggi..." kata Baruna.
"Siapa pun dia, harus membayar mahal atas kematian putraku!" desis Nyi Puring.
"Apa yang akan kita lakukan, Nyi?" tanya Baruna kemudian.
"Kita cari orang itu! Bawa semua pengikut kita! Malam ini juga kita berangkat." perintah Nyi Puring tegas.
"Baik, Nyi..." jawab Baruna.
Baruna pun keluar untuk mengumpulkan seluruh anak buahnya.
Nampaknya peristiwa yang terjadi di desa Palungan akan berbuntut panjang, terutama bagi Pandan Wangi. Karena orang yang telah dibinasakan olehnya akan ada yang menuntutkan balas. Nyi Puring dalam dunia persilatan dikenal sebagai tokoh golongan hitam. Sepak terjangnya sekarang memang sudah jarang terlihat. Nyi Puring yang ternyata ibu dari Genta Pati, orang yang dibinasakan oleh Pandan Wangi merupakan tokoh yang berilmu tinggi.***
"Kakang tidak melihatnya?" tanya Pandan Wangi dengan muka serius.
"Sungguh, aku tidak melihat apa yang kau katakan, Pandan..." jawab Rangga.
"Aneh... sungguh aneh!" tambah Pandan Wangi masih dipenuhi tanda tanya.
"Aku tak pernah beralih pandangan barang sekedipan pun saat kau bertarung melawan Genta Pati. Aku pastikan tidak ada orang lain yang ikut campur dalam pertarungan itu." tegas Rangga.
Pandan Wangi pun jadi termenung, dia jelas-jelas melihat sosok yang membantunya mengalahkan Genta Pati tapi Rangga sama sekali tidak melihatnya. Kemudian Pandan Wangi jadi teringat sesuatu.
"Kakang, kau masih ingat cerita Ki Wangun saat itu? Sosok itu mirip sekali dengan yang diceritakan Ki Wangun..." terang Pandan Wangi kemudian.
"Sungguh? Kau yakin?" tanya Rangga agak ragu.
"Aku yakin, Kakang. Orang yang memberikan surat pada Ki Wangun dan yang menolongku mengalahkan Genta Pati pasti orang yang sama," tegas Pandan Wangi mantap.
"Hmmm..." Rangga hanya bergumam.
Sejenak keduanya terdiam. Pikiran mereka berputar-putar kebingungan karena peristiwa-peristiwa aneh yang mereka alami.
"Sebaiknya kita lanjutkan perjalanan ini, Pandan. Kalau terus memikirkan hal-hal aneh, kita hanya membuang-buang waktu saja. Ayo ..." kata Rangga sambal bangkit dari duduknya.
"Baik, Kakang." jawab Pandan Wangi sambil ikut bangkit dan berjalan menghampiri kudanya.
Baru beberapa langkah kuda-kuda mereka berjalan, tiba-tiba di depan mereka muncul seekor serigala putih yang menghadang. Serigala putih itu menatap tajam pada Pandan Wangi.
Serentak Rangga dan Pandan Wangi turun dari kudanya masing-masing.
"Kakang, dari mana serigala itu muncul?" bisik Pandan Wangi.
"Aku tidak tahu, tetap waspada..." balas Rangga pelan.
Mereka berdua hanya berdiam sambil memasang sikap waspada. Serigala putih itu pun juga hanya berdiri diam dengan tatapan mata menyorot ke arah Pandan Wangi.
Baik Rangga maupun Pandan Wangi masih menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Mereka berdua jadi heran, karena serigala itu tidak berniat menyerang mereka.
Kemudian serigala putih itu berbalik meninggalkan mereka berdua dan berjalan menuju ke semak-semak.
"Kakang, sepertinya itu bukan serigala biasa. Firasatku mengatakan dia hendak menunjukkan sesuatu," gumam Pandan Wangi.
"Kalau begitu cepat kita ikuti kemana serigala itu pergi..." sergah Rangga cepat.
Tanpa membuang waktu, mereka berdua segera mengikuti arah perginya serigala putih itu.
Serigala itu berjalan tidak terlalu cepat, seakan-akan memang sedang ingin menuntun Rangga dan Pandan Wangi untuk mengikutinya. Semak-semak yang tidak terlalu rimbun itu memudahkan Rangga dan Pandan Wangi untuk tetap berjalan mengikuti serigala putih.
Kemudian sampailah pada sebuah danau yang tidak terlalu besar. Pemandangan di sekeliling danau itu begitu indah.
"Tempat apa ini? Baru kali ini aku melihat pemandangan yang begitu indah..." bisik Rangga dalam hati.
"Kakang, lihat..." seru Pandan Wangi sambil menunjuk ke satu arah.
Terlihat serigala putih itu berhenti di tepi danau.
"Apa yang dia lakukan di sana?" tanya Rangga berbisik pada Pandan Wangi.
"Aku tak tahu, kita tunggu saja..."
Tiba-tiba serigala itu melompat ke danau. Namun anehnya, serigala putih itu menghilang sebelum menyentuh air danau!
Karuan saja Rangga dan Pandan Wangi terkejut sekaligus takjub melihat kejadian itu.
Keduanya segera menuju tepi danau dan berdiri tepat di mana serigala tadi melompat. Tak terlihat bekas riak air seperti layaknya sesuatu terjatuh ke dalam air. Air danau itu tetap tenang seperti tidak ada sesuatu yang jatuh ke dalamnya.
Rangga hanya melongo saja.
"Ke mana hilangnya serigala itu...?" gumam Rangga dalam hati.
Namun belum hilang rasa heran Rangga, terdengar suara menggema dari segala penjuru.
"Selamat datang, cucuku..."
Rangga dan Pandan Wangi menoleh ke kanan dan kiri mencari sumber suara tersebut.
Tiba-tiba dari tengah danau muncul sinar putih menyilaukan mata. Mereka berdua menyipitkan mata karena cahaya putih itu begitu terang benderang.
Ketika cahaya putih itu perlahan-lahan memudar, pemandangan di sekitar mereka pun berubah. Tidak ada danau atau pun pepohonan seperti tadi. Yang ada mereka berdiri di tanah yang berumput. Di depan mereka ada sebuah bangunan mirip puri. Di depan pintu masuk candi itu telah berdiri sesosok berpakaian putih bersih. Rambut dan jenggotnya juga sudah memutih semua, perkiraan sosok itu berusia sekitar delapan puluh tahunan.
"Aku sudah menunggumu, cucuku..." kata sosok itu dengan suara yang menyejukkan hati.
Rangga dan Pandan Wangi perlahan mendekati.
"Maafkan kami, Kisanak. Bolehkah kami tahu, tempat apakah ini dan siapakah Kisanak?" tanya Rangga dengan sopan.
"Hehehe... Rangga Pati Permadi, putra Adipati Arya Pati Permadi dari Karang Setra, murid dari Pendekar Rajawali Sakti. Seorang anak yang hampir tewas dalam jurang, sekarang sudah jadi pendekar besar. Panggil aku Eyang Wibisana, dan ini adalah tempat tinggalku." jawab sosok tua itu yang ternyata Bernama Eyang Wibisana.
Rangga terkejut karena Eyang Wibisana bisa tahu asal-usul dirinya. Segera dia mengerti bahwa sosok tua ini bukanlah orang sembarangan.
"Maafkan atas kelancangan kami, Eyang. Kami tidak sengaja kesini..." buru-buru Rangga meminta maaf pada Eyang Wibisana.
"Aku-lah yang mengundang kalian ke sini, jangan sungkan-sungkan..." balas Eyang Wibisana dengan senyuman.
"... Dan kau, Pandan Wangi... maafkan aku jika aku mengundangmu dengan cara seperti ini." lanjut Eyang Wibisana.
"Eyang...? Jadi yang mengirimkan surat itu adalah Eyang Wibisana?" Pandan Wangi jadi terkejut.
Eyang Wibisana mengangguk.
"Aku mengutus dua pembantu setiaku untuk mengirimkan pesan padamu, Pandan Wangi... sekaligus untuk menjaga dan memastikan kau sampai dengan selamat di sini." sambung Eyang Wibisana.
Kemudian muncul di sebelah kanan Eyang Wibisana sesosok lelaki tua yang memikul kayu bakar, disusul kemudian di sebelah kiri muncul sesosok lelaki berpakaian putih.
Pandan Wangi yang melihat kemunculan sosok lelaki berpakaian putih itu segera mengenalinya.
"Oh... jadi Kisanak yang telah menolongku saat aku hampir mati bertarung dengan Genta Pati di Desa Palungan? Aku ucapkan terima kasih, Kisanak. Jika tanpa pertolongan Kisanak, mungkin aku sudah mati..." kata Pandan Wangi kepada sosok lelaki berbaju putih.
Sosok itu pun tersenyum mengangguk sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dadanya tanpa bersuara sedikitpun.
"Dan Kakek penjual kayu bakar, pastilah yang mengantarkan surat kepadaku waktu itu..." sambung Pandan Wangi.
Lelaki tua itu pun sama, tersenyum dan merapatkan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Jadi... Eyang Wibisana mengetahui siapa diriku dan asal-usulku?" tanya Pandan Wangi tanpa basa-basi.
Eyang Wibisana mengangguk.
"Sudah saatnya kau tahu siapa leluhurmu, Pandan Wangi." lanjut Eyang Wibisana.
"Apakah Eyang juga berjuluk Naga Wisesa?" kembali Pandan Wangi bertanya.
"Hehe... Bukan. Nanti kau akan tahu, Pandan." jawab Eyang Wibisana terkekeh.
Pandan Wangi dan Rangga saling berpandangan. Raut wajahnya menggambarkan perasaan yang tak menentu. Tapi dalam hati mereka senang karena perjalanan ini sudah sampai pada tujuannya.
"Nah... Pandan Wangi, ada yang ingin kuperlihatkan padamu, Cucuku..." kata Eyang Wibisana kemudian.
Setelah berkata demikian, Eyang Wibisana berbalik badan dan masuk ke dalam puri.
Pandan Wangi melangkah mengikuti sosok lelaki tua itu, diikuti Rangga yang berjalan di belakangnya. Mereka berjalan terus mengikuti kemana arah langkah Eyang Wibisana.
Sampai kemudian Eyang Wibisana berhenti, di depannya ada dua buah gundukan tanah yang sepertinya adalah makam seseorang.
"Pandan, ini adalah makam ayah dan ibumu..." kata Eyang Wibisana sambil menunjuk dua makam yang bersebelahan.
Pandan Wangi seakan tak percaya dengan kata-kata sosok tua itu. Hatinya bagai terhimpit bongkahan batu. Mulutnya tersekat tak mampu bicara.
"Be... benarkah ini makam orang tuaku?" kata-kata Pandan Wangi hampir tak terdengar.
Pandan Wangi jatuh terduduk di depan dua gundukan tanah itu, tak terasa air matanya perlahan-lahan mulai mengalir.
"Aa...ayah... Ibu..." rintihan Pandan Wangi tak kuasa menahan rasa kesedihan sekaligus haru karena baru kali ini dia mengetahui makam orang tuanya.
"Ayahmu bernama Setya Palaka, dan ibumu bernama Dewi Antika...."
Eyang Wibisana kemudian mulai bercerita ...
"Dulu ada sebuah kadipaten bernama Gandarum. Letaknya kurang lebih perjalanan dua hari ke selatan dari bukit ini. Kadipaten Gandarum dipimpin oleh seorang Adipati bernama Dipa Leksana. Dia mempunyai seorang anak bernama Setya Palaka, ayahmu kelak. Meskipun anak seorang Adipati, Setya Palaka punya sifat yang bengal, tidak menurut pada orang tua, dan juga suka berbuat onar. Tidak ada yang berani melawannya karena dia anak seorang Adipati. Adipati Dipa Leksana sendiri sudah sangat keras menasehati Setya Palaka agar segera merubah sifat bengalnya. Sebenarnya Adipati Dipa Leksana sangat sayang pada Setya Palaka. Dia tidak mau pewaris tunggalnya membuat Kadipaten Gandarum runtuh.
Kemudian dia mengirimkan Setya Palaka kepadaku untuk dijadikan murid. Adipati Dipa Leksana memintaku untuk mengajarinya budi pekerti serta olah kanuragan sebagai bekal pewaris tahta Kadipaten. Aku pun menyanggupinya.
Setya Palaka aku didik dengan budi pekerti serta olah kanuragan seperti pesan ayahnya. Dia memang bengal, susah diatur, dan punya sifat pembangkang. Tapi dia sangat berbakat dalam ilmu olah kanuragan. Dia cepat menguasai jurus-jurus yang aku ajarkan. Selama dalam didikanku, perlahan-lahan sifat pembangkang Setya Palaka berkurang. Kemudian aku menurunkan ilmu Naga Sewu kepadanya. Karena dia berbakat dalam olah kanuragan, tidak perlu waktu lama dia bisa menguasai ilmu Naga Sewu.
Waktu demi waktu pun terus berlalu. Setya Palaka sepertinya sudah berubah. Kulihat dia sudah tidak suka membangkang lagi. Dia menjadi lebih penurut. Setelah kurasa cukup dalam menimba ilmu, aku merasa sudah waktunya Setya Palaka untuk kembali ke negerinya. Dia aku warisi Pedang Naga Geni sebagai pelengkap ilmu Naga Sewu. Pedang yang sekarang ini kau gunakan, Pandan Wangi."
Pandan Wangi meraih pedang dari punggungnya dan memandanginya lekat-lekat, seakan tak percaya pedang ini dulu diwariskan pada ayahnya.
Eyang Wibisana melanjutkan ceritanya...
"Aku berpikir, setelah Setya Palaka pulang ke Kadipaten Gandarum dia akan menjadi pewaris ayahnya. Dan aku bisa tenang karena telah selesai menjalankan amanat dari Adipati Dipa Leksana. Namun ternyata perkiraanku salah.
Setya Palaka tidak kembali ke Kadipaten Gandarum. Dia malah membuat gerombolan perampok yang ia sendiri menjadi pimpinannya. Dia menantang para begal dan penjahat untuk ditaklukkan dan dijadikan anak buahnya. Dengan Pedang Naga Geni, dia dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Dalam sepak terjangnya, Setya Palaka bertemu dengan seorang wanita bernama Dewi Antika, kelak menjadi ibumu. Dewi Antika mempunyai sifat yang hampir mirip dengan Setya Palaka. Mereka saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami istri.
Tak butuh waktu lama, gerombolan perampok pimpinan Setya Palaka dan Dewi Antika semakin besar dan semakin meresahkan masyarakat. Mereka menjarah desa-desa yang ditemui, serta membunuh semua yang berani melawannya.
Penjarahan yang dilakukan gerombolan Setya Palaka sudah memasuki wilayah Kadipaten Gandarum. Adipati Dipa Leksana yang mendengar bahwa wilayahnya dijarah oleh gerombolan perampok, apalagi mengetahui jika pimpinan perampok itu adalah anaknya sendiri, menjadi murka. Sejak saat itu Adipati Dipa Leksana sudah tidak menganggap Setya Palaka sebagai anaknya lagi. Dia memerintahkan pada semua panglimanya untuk menangkap Setya Palaka hidup atau mati.
Segenap prajurit Kadipaten Gandarum dikerahkan untuk meringkus Setya Palaka. Namun kekuatan prajurit Kadipaten ternyata kewalahan menghadapi para gerombolan Setya Palaka yang memang rata-rata berilmu tinggi.
Adipati Dipa Leksana pun akhirnya meminta bantuan pada para pendekar golongan putih serta padepokan-padepokan yang berada di sekitar Kadipaten. Setelah mendapat bantuan dari tokoh-tokoh golongan putih, gerombolan perampok pimpinan Setya Palaka mulai kocar-kacir. Pada akhirnya gerombolan itu berhasil ditumpas. Namun Setya Palaka dan Dewi Antika berhasil meloloskan diri. Pada saat itu Dewi Antika sedang mengandung. Mereka berdua bersembunyi di sebuah hutan terpencil. Didalam persembunyian itulah, Dewi Antika akhirnya melahirkan seorang bayi kecil, kaulah bayi itu, Pandan Wangi. Lahirnya bayi itu akhirnya membuat Setya Palaka dan Dewi Antika bertekad untuk berubah. Mereka sepakat untuk hidup tenang di hutan itu, dan meninggalkan semua urusan dunia persilatan.
Namun ternyata dari pihak Kadipaten tidak begitu saja membiarkan Setya Palaka lolos. Mereka dengan mengerahkan para telik sandinya, akhirnya menemukan tempat persembunyian Setya Palaka dan Dewi Antika.
Dan pada tengah malam yang gelap, ratusan prajurit Kadipaten Gandarum dibantu oleh beberapa tokoh persilatan mengepung tempat persembunyian Setya Palaka. Pertarungan sengit dengan jumlah yang tak seimbang pun terjadi. Setya Palaka dan Dewi Antika bertarung mati-matian melawan ratusan prajurit Gandarum. Dengan susah payah, Dewi Antikan bertarung sambil menggendong anaknya yang masih bayi itu. Mereka kembali berhasil meloloskan diri.
Kemudian mereka menuju ke tempat tinggalku ini. Aku melihat Setya Palaka dan Dewi Antika sudah kepayahan karena tubuhnya penuh luka. Dengan ratapan yang penuh memelas, mereka meminta tolong padaku untuk menjaga bayi mereka yang masih kecil. Dengan penuh linangan air mata, Dewi Antika menyerahkan seorang bayi kecil mungil yang tak berdosa itu kepadaku. Aku menerimanya dan berjanji akan merawat bayi itu.
Setelah itu Setya Palaka dan Dewi Antika pergi. Sampai di luar puri, ratusan prajurit yang tak berhenti mengejarnya sudah menghadang di depan mata. Mereka pun akhirnya tewas karena sudah kehabisan tenaga. Aku tak tahu apa yang bisa aku lakukan lagi. Jika aku menolong Setya Palaka, maka aku sama saja melindungi seorang penjahat. Tapi bagaimanapun juga, dia adalah muridku. Hatiku merasa sedih melihat mayat-mayat bergelimpangan di puri ini. Tempat suci ini tidak seharusnya dikotori oelh darah dan segala angkara murka.
Setelah itu aku kuburkan jasad Setya Palaka dan Dewi Antika dengan layak. Aku membuat pagar gaib yang melindungi seluruh puri ini, agar tidak sembarangan orang bisa melihat tempat ini tanpa seizinku.
Pedang Naga Geni yang aku wariskan pada Setya Palaka hilang entah kemana. Aku khawatir jika senjata itu jatuh pada orang yang salah, maka kejahatan akan terus terjadi. Namun Pedang itu rupanya berada di tangan seorang pertapa Eyang Sokalima, aku bersyukur karena jatuh di tangan orang yang bijak. Kemudian aku putuskan untuk memberikannya juga Kitab Naga Sewu kepadanya untuk dijaga..."
Pandan Wangi yang mendengar cerita dari Eyang Wibisana terus saja terisak menahan tangis. Rangga yang tak kuasa melihat Pandan Wangi menangis, buru-buru mendekap tubuhnya untuk menenangkannya.
Eyang Wibisana melanjutkan ceritanya ...
"Lalu kemudian, aku mengetahui bahwasanya Dewi Antika mempunyai seorang ayah yang masih hidup. Dia bernama Bagawanta, atau lebih dikenal dengan julukan Kakek Tangan Seribu. Aku pikir Bagawanta-lah yang pantas merawat bayi kecil ini. Karena dia lah keturunan yang sah.
Setelah mencari-cari, akhirnya aku berhasil bertemu Bagawanta. Aku serahkan bayi itu padanya, dan aku ceritakan pula seluruh kejadian yang menimpa ayah dan ibunya. Mendengar cerita itu, Bagawanta bersedia dan berjanji akan merawatnya. Beliau memberi nama bayi itu Pandan Wangi, dan dia bertekad untuk mendidik cucunya itu untuk menjadi manusia yang lurus.
Bagawanta tidak ingin cucunya terjerumus dalam dunia hitam. Dia tidak ingin cucunya mengetahui masa lalu kedua orang tuanya. Oleh karena itu, Bagawanta tidak pernah menjawab setiap kali kau menanyakan siapa orang tuamu, Pandan. Karena beliau ingin melindungimu. Bagawanta tidak ingin ada yang tahu bahwa kau adalah anak dari Setya Palaka dan Dewi Antika. Karena sudah pasti mereka yang telah terbunuh oleh orang tuamu pasti akan menuntut balas dendam. Bagawanta mengarang cerita kalau kedua orang tuamu adalah pendekar tangguh pembela kebenaran dari Banyu Biru, agar kau merasa bangga akan orang tuamu.
Pandan, kau tumbuh dalam didikan Bagawanta. Dia mengajarimu olah kanuragan dan juga tata krama kehidupan. Kau juga sempat dididik oleh kakak dari Bagawanta, yaitu Eyang Abiyasa. Kau menjelma menjadi pendekar wanita yang tangguh, berjuluk Kipas Maut. Namun ibarat pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Sifat-sifat ayahmu juga menurun padamu. Kau sering membantah, bertindak gegabah, serta sering membuat masalah. Terkadang sampai kakekmu yang harus turun tangan membelamu saat kau terlibat masalah. Sampai terakhir kali kau terlibat masalah di Bukit Setan. Pedang Naga Geni ternyata mencari pewaris tuannya. Pedang Naga Geni dan Kitab Naga Sewu datang sendiri kepadamu. Namun hal itu pula yang menjadi petaka karena kecerobohanmu, hingga mengakibatkan kakekmu sendiri tewas."
Pandan Wangi makin terisak-isak mendengar penuturan Eyang Wibisana. Dia teringat peristiwa dulu di Bukit Setan, yang sekaligus juga pertama kali bertemu dengan Rangga. Saat itu kakeknya tewas karena melindungi dirinya. Memang disadarinya sendiri dia suka berbuat gegabah, ceroboh dan suka membuat masalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
215. Pendekar Rajawali Sakti : Naga Wisesa
AçãoSerial ke 215. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.