memasuki fase

156 27 4
                                    

“Lembut.”

Jaemin menatap dengan sepasang mata bundar, napas terengah-engah. Tangannya yang berkeringat masih menapak di atas permukaan dada Jeno yang juga basah.

“Apa?”

Jeno tersadar bahwa dia menahan napas; dihembuskannya secara kasar dalam satu hempasan.

Posisi intim mereka, dua pribadi hanya memakai baju sejak lahir; hangat bertemu hangat, membuatnya merasa telanjang dalam kesan yang berbeda. Na Jaemin yang duduk di atas tubuhnya, saling terhubung dalam ritual primitif, membuat Jeno tidak bisa membual.

“Rambut lo.”

“Hah?”

Jemarinya bergerak naik, menyisir helaian rambut Jaemin yang sudah lebih panjang dari kali pertama mereka bertemu. Anak-anak rambut berwarna coklat kayu itu menyentuh leher, terasa lembut di antara jemari Jeno.

“Iya lah, gue kan, gak cuma sampoan pakai pembersih 2in1 kayak lo,” ejek Jaemin.

Dia terkekeh, sementara rekan ranjangnya menggeram tidak suka.

“Jangan ngalihin perhatian gue, deh!”

“Sorry. Tapi lo kelamaan, let me.” Jeno memutar posisi tubuh mereka, membaringkan tubuh Jaemin di atas kasur. Kemudian dia menaikkan salah satu kaki lelaki itu untuk melingkar di sekitar pinggulnya.

“Gue ada janji sama Renjun setengah jam lagi, harus cepet.”

“Boo! Gak seru– ah!” Jaemin menjerit, menerima dorongan pasti dari Jeno.

“Gue bisa bikin seru kok, walau waktunya singkat.”

Jaemin mendengus, seringaian nampak di wajah. “Sombong. Buktiin aja.”

Salah satu kesamaan Jeno dan Jaemin, yang mana hanya terdiri dari daftar singkat, berpendapat bahwa mereka lebih memilih menghabiskan waktu di kamar kos. Sehingga terasa aneh ketika Jaemin memintanya menaruh motor dan pergi ke penthouse milik lelaki itu.

“Ada apa?”

Jaemin tersenyum di balik setir. “Gue mulai enjoy masak lagi, lo berkesempatan jadi yang pertama nyobain khinkali gue.”

“Apa tuh?”

“Masakan khas Georgia.”

Mereka naik ke penthouse yang terletak di atas perusahaan furniture terkenal di Jakarta Selatan, ke tempat tinggal Jaemin yang tidak masuk akal itu.

Jeno duduk di salah satu kursi bar, sementara Jaemin masuk ke dalam salah satu ruangan. “Tunggu, ya,” katanya.

Tidak lama lelaki itu keluar dengan kaus longgar abu-abu dan celana pendek kain. Dia tersenyum lebar, yang berbeda dari senyum pertama kali mereka mulai berhubungan.

“Lo tunggu di ruang tengah aja, mungkin sekitar sejam.”

Khinkali itu apa?”

Jaemin membuka kulkas built-in-nya, mengeluarkan bahan-bahan dari sana. “Sejenis pangsit, isinya bisa berbagai daging atau sayuran. Karena lo mengurangi makan daging, gue buat isiannya dua jenis, daging ayam dan sayuran.”

“Oke. What’s the occassion?

Dengan cekatan Jaemin menyiapkan adonan sebagai kulit pangsit, seolah berulang kali sudah membuat resep makanan ini.

“Gak ada, cuma keinget sama Georgia aja.”

Hening sesaat, hanya ada suara detik jam dinding di atas televisi. Jeno tidak berniat sama sekali menyentuh benda apa pun yang ada di sana.

nomin this and thatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang