Semenjak usianya legal, memiliki kartu tanda penduduk, dan tinggal sendiri, ini adalah kali pertama Jeno menginjakkan kaki ke kelab malam. Bahkan setelah menjadi mahasiswa di daerah yang memang terkenal sebagai wilayah bebas, Jeno sama sekali tidak tertarik.
Dia menghabiskan malam dengan bermain game bersama penghuni kos lain, atau menonton apa pun yang bisa mengisi waktu luang-kalau memang ada.
Di lain pihak, Renjun terlihat sudah akrab akan lampu-lampu yang menyilaukan, pun suara musik keras. Wajahnya memang tidak suka, namun sudah terbiasa.
"Lo kesetanan, ya? Ngajak gue ke Colo."
"Gue mainnya kurang jauh, Jun. Temenin, lha."
Renjun mendengus, menerima gelas minuman yang tadi segera ia pesan begitu sampai di table. Sang bintang utama belum terlihat sama sekali, membuat Jeno ragu akan keputusannya.
"Lo bakal jadi bahan ejekan, Jen. Habis ngata-ngatain hampir semua anak di kampus, tiba-tiba lo datang ke party salah satu dari mereka? Good luck, deh," begitu kata Renjun sebelum menghabiskan wiskinya.
"Gue gak akan order apa-apa." Jeno mengamati wajah-wajah yang tidak begitu asing tengah berdansa di hadapan mereka. Bagai dunia dalam genggaman.
"Gue mau tahu, kenapa dia bisa ngomong begitu," tambah Jeno kini menggunakan nada lebih pelan.
Renjun tertawa, wajahnya tepat di hadapan milik Jeno. Alkohol menguar dari mulut anak itu. "Oh, Jen, he's rich. He talks bullshit every day. Dia bisa bilang bunuh orang itu legal, dan semua bakal setuju."
Keseluruhan kalimat Renjun tidak ada yang salah. Namun bagaimana Jaemin bicara padanya kemarin, begitu penuh percaya diri, membuat Jeno penasaran bukan main.
Perhatian mereka teralihkan pada pria yang baru saja datang sambil membawa wine dalam buket es di tangan. Rambut hitam kemarin kini menjadi warna karamel. Pakaiannya terdiri dari loose shirt dengan celana ripped-jeans.
Oke, Jeno tidak bisa mengelak, kalau si bintang utama yang ada di tengah ruangan memang punya pesona. Mungkin dia tertarik, seperti mereka yang tengah mengelilingi Jaemin. Seperti serangga pada lentera.
"Gue pikir lo udah reach level dewa, Jen. Ternyata lo tetap ya, manusia yang bisa khilaf." Renjun tertawa mengejek tepat di depan telinga, begitu mudah menebak Jeno.
"Maksud lo?"
"Ya, kebencian lo sama kapitalisme kan, sampai ke tulang sumsum. Tapi ternyata, disodorin objek cakep sedikit udah lemah."
Jeno merengut, merutuk dalam nada rendah. "Taik lo, Jun."
"Aw, jangan bete gitu, dong. Gue cuma menyampaikan kebenaran," kata temannya sebelum meneguk gelas wiski kedua.
Sang bintang utama, yang akhirnya selesai berbasa-basi dengan seluruh orang di sana, berjalan ke arah mereka. Jeno mengambil duduk di sudut sofa, tepat menempel di sisi dinding.
"Evening, Lee Jeno. Udah pesen minum?"
Jeno menggeleng, memberi gesture menolak. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas pangkuan, berpura-pura sibuk. Berusaha tidak mencubit Renjun yang berusaha mengejek hanya lewat tatapan.
"Kok gak pesen apa-apa? Lo mau pesen makanannya aja? Tapas di sini enak-enak, lho."
Jeno, terlihat tak acuh, memandang Jaemin yang seenaknya duduk di atas meja kaca. Kini mereka berhadapan dalam jarak dekat. "Lo nyuruh gue ke sini ada apa?"
Jaemin memasang wajah sok terkejut. "Gue gak pernah nyuruh lo ke sini."
"Oke, undang."
"Emang gak boleh?" Jaemin tersenyum ketika merasakan seseorang memegang pundaknya. Dia menoleh ke belakang, pada salah satu anak kampus yang Jeno tidak pernah lihat. Kemudian dengan sopan, Jaemin melepaskan tangan si lelaki yang kini memasang wajah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
nomin this and that
De Todojeno dan jaemin, fanfic tema lokal, a bit of satire here and there.