"... neoliberal capitalism has constructed popular legitimacy of such resilient kind that it goes beyond management ideology and propaganda into the texture and common sense of everyday life in spite of severe and recurrent economic crisis; and indeed, worsening ecological conditions in the world today --all of which directly affect people's lives."
- Jim McGuigan, The Coolness of Capitalism Today, 2012
...
Jeno hanya mendengarkan cerita dari orang-orang yang berlalu-lalang. Tentang totalitas pesta ulang tahun Jaemin, atau mengira-ngira berapa besar biaya yang harus keluar kemarin malam. Benar-benar omong kosong.
Pertama, siapa yang masih merayakan ulang tahun sebesar itu setelah usia tujuh belas? Kedua, seberapa besar biaya pesta kemarin malam, tidak akan membuat Jaemin hari ini tiba-tiba puasa atau meminjam uang.
Renjun menyapanya di depan pintu ketika kelas berakhir. Dia segera menepuk-nepuk pundak Jeno. "Hari yang berat?"
"Muak denger soal pesta kemarin."
Anak itu tertawa, dia mengaitkan lengan pada milik temannya. Sama sekali tidak peduli akan tatapan orang-orang atau rumor yang selama ini beredar.
"Sabar ya, bakal berlangsung sekitar seminggu aja, kok."
Jeno jadi rindu masa di mana nama Jaemin hanya sebuah cerita legenda yang ia tidak peduli sedikit pun. Ini resiko yang harus diterima ketika mulut tajamnya terlalu gatal untuk menyindir pria itu.
"Lo mau makan di kos gue?" Jeno menawarkan.
Renjun, yang mudah membaca orang juga sudah mengenal lama temannya, mendengus. "No way. Paling juga lo belum nyuci piring."
Jeno menghela napas. "Gue gak tidur sampai jam 2 pagi."
"Gak usah kelihatan tersiksa, deh. Resiko kenapa lo suka banget begadang demi main game." Renjun mengambil duduk, membiarkan Jeno memesan makanan untuk mereka berdua.
Terlalu banyak hari dihabiskan makan bersama, di restoran yang sama, dengan menu itu-itu saja. Jeno tidak lagi perlu menanyakan apa yang Renjun inginkan. Pertemanan mereka sudah sampai pada titik tersebut.
Tapi karena itu, Renjun jarang ikut pergi memesan makanan dengan alasan mencari tempat duduk.
Jeno terlalu malas untuk protes, sebab tahu bahwa untuk urusan berdebat, temannya masuk peringkat pertama.
Kadang Jeno mengira-ngira kenapa Renjun terjebak bersama mahasiswa-mahasiswa seperti mereka dan tidak mendirikan organisasi skala global atau membuat sekte. Lelaki itu jelas memiliki bakat.
Dia tentu pernah menyampaikan hal ini pada Renjun. Dibalas tamparan di kepala, yang katanya demi membuat otak berjalan lebih lancar.
"Tapi Jaemin udah gak gangguin lo lagi, 'kan?" Tangan temannya segera menyambar makanan yang baru datang. Jeno bahkan belum duduk, nampan baru saja diletakkan di atas meja.
"Harusnya, sih. Ini baru seminggu. Gue masih menunggu dia mau bergaya kayak gimana lagi."
Renjun menaikkan satu alis. "Menunggu?" dia bertanya, nada menggoda.
Jeno memutar bola mata. "Please, deh, Jun. Lo tau maksud gue gimana."
Kentang goreng mereka disatukan dalam satu wadah, Renjun mulai memadukan makanan asin itu dengan es krimnya.
"Gak apa kali, Jen," katanya serius, "lo juga udah lama gak berhubungan sama siapa-siapa. Emang gak mendambakan buat tebar benih?"
Jeno tersedak, melotot di balik kacamata. Dia segera menoleh ke sekitar, kiranya ada yang mendengar. "Mulut lo bener-bener. Gak malu sama orang tua di kampung apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
nomin this and that
Randomjeno dan jaemin, fanfic tema lokal, a bit of satire here and there.