tenggelam

686 108 11
                                    

Ayah Daniel menatapnya penuh kebencian, penuh bisa mematikan, seperti hendak meludah. Jeno hanya tersenyum puas, merangkul pundak perempuan yang ada di sampingnya.

Tubuh perempuan itu terasa dingin, mungkin karena berlama-lama di ruang sidang. Atau karena baru saja keluar dari momen penting dalam hidupnya.

Kini dia harus menjalani semua efek samping yang akan datang. Jeno sudah berjanji akan menemani, membantu apa pun yang ia bisa lakukan.

"Kak, kalo Daniel tiba-tiba dateng ke rumah terus tusuk aku pakai pisau gimana?"

Jeno tersenyum, meski tidak terlalu berhasil. Beberapa kali juga mengalami keraguan dan ketakutan bahwa aksi nekatnya ini akan membahayakan junior yang baru ia kenal. "Kalau sampai kejadian, gue bakal pastikan dia disanksi seberat-beratnya."

Dita mengangguk, meski masih terlihat gelisah.

"Gue tahu lo masih khawatir soal pihak kampus yang maksa untuk menyelesaikan dengan cara 'kekeluargaan' dan mulut-mulut julid netizen. Tapi ini demi lo, dan temen-temen lo yang mengalami hal sama. Lo udah setuju di awal, 'kan?"

Tangan Jeno menggenggam milik perempuan itu, memberi keyakinan.

Kali ini Dita tersenyum. Berusaha untuk menampilkan setidaknya sesaat.

"Iya, aku setuju. Sejak kakak nanya soal Daniel, aku setuju. Cuma... rasa takut tetep ada."

Jeno mengangguk mengerti. Perjalanan mereka selama sebulan terakhir ini bisa dikatakan sebuah keajaiban. Dari semua kejahatan yang dilakukan oleh mantan kekasih Dita, hanya KBGO (Kejahatan Berbasis Gender Online) yang berhasil sampai ke meja hijau.

Meski ada rasa kesal pun kecewa, putusan majelis hakim beberapa saat lalu menghasilkan helaan napas lega.

"Kita pulang bareng, ya?" Jeno menuntun mereka keluar dari lobi gedung pengadilan.

"Kak Jeno bawa motor tadi?"

Dita merasa aneh melihat senyum jenaka Jeno. Selama mereka berhubungan, sosok pria itu selalu serius dan tegas. Kali ini senyum Lee Jeno bukan seperti saat mereka mendengar bunyi ketuk palu di dalam ruang sidang. Seperti seseorang yang berbeda.

Keheranannya berlanjut ketika sebuah mobil biru metalik berhenti di depan jalan. Jeno membuka pintu mobil tersebut, yang mana Dita yakin bukan driver online. Tidak mungkin mobil seperti ini mendaftar di layanan transportasi online.

Penuh rasa ingin tahu, Dita menurut untuk ikut masuk ke dalam mobil. Lewat bangku penumpang di bagian belakang, dia bisa melihat sebagian profil si pengemudi. Seorang pria berambut pirang dengan hoodie kebesaran.

"Kok lo juga di belakang, sih?" suara familiar tersebut membuat Dita semakin penasaran. Dia berusaha melihat lewat pantulan kaca mobil. Sayangnya si pengemudi memakai kacamata.

"Gue nemenin Dita. Dia baru selesai sidang."

Tidak ada jawaban lagi dari lelaki di depan. Dia mulai memutar mobil, berkendara santai di tengah kemacetan ibu kota. Mungkin Jeno sudah memberitahu alamat rumahnya, atau mungkin keduanya punya tujuan lain, atau dia akan diturunkan di kampus.

Dita tidak peduli. Dia hanya ingin tahu siapa orang yang menjemput Jeno.

"Oh, ya," pria itu memecah keheningan di antara mereka, "selamat ya, atas sidang lo."

Tidak menyangka diajak bicara, Dita tergagap menanggapi ucapan tersebut. "Ya. Iya, Kak."

Refleks napasnya tertahan ketika si pengemudi membuka kacamata, bertukar pandang lewat pantulan cermin.

nomin this and thatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang