Chapter 1

734 110 7
                                    

"That's what this multi-billion dollar industry is all about anyway, isn't it? Inner beauty."

Nigel - The Devil Wears Prada


"Itu rambut asli?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Itu rambut asli?"

Tori mengambil sejumput rambut dari kucir kudanya, menelisik batang serta ujungnya berwarna cokelat muda yang masih terlihat bagus tanpa pecah atau indikasi patah. Lalu matanya menatap kembali talent scout di hadapannya. "Iya, aku gak pernah dicat rambut, Kak."

Senyum Tori sudah hampir luntur karena lelah melakukannya sejak pagi dan mendapatkan giliran paling terakhir, dua belas otot wajah itu akan putus serentak sebentar lagi. Menyeramkan, mungkin tidak begitu, tapi jelas Tori hampir menyerah.

Dia sudah menunggu berjam-jam sebelum gilirannya masuk ke dalam ruangan untuk audisi talent. Setelah mencari audisi terbuka dari talent management, Tori segera memesan tiket ke Pulau Dewata dari kota persembunyiannya di Yogyakarta. Menghabiskan seharian berlatih di hadapan cermin dalam kamar hotel untuk perkenalan, Tori bahkan tidak diminta untuk memperkenalkan diri di dalam ruangan.

"Kamu pendek, ya. Kurang dari seratus tujuh puluh?" tanya salah satu juri audisi yang paling menyebalkan. Tori mencoba tidak naik darah dengan sindiran pendek itu dan membalas masih dengan senyum melekat, "Hampir, Kak. Seratus enam puluh delapan."

Laki-laki yang berada di tengah, sepertinya yang paling senior dari ketiga juri itu, mengangguk-angguk mendengarkan jawaban Tori, kemudian menanyakan pertanyaan yang paling masuk akal selain dikritik mengenai tubuhnya sejak sepuluh menit Tori masuk ke dalam ruang audisi, "Kamu gak ada pengalaman akting sebelumnya?"

"Untuk yang profesional, belum ada, tapi sewaktu kecil saya dapat peran figuran di iklan susu anak, saya juga pengalaman sebagai figuran dadakan sewaktu ada syuting di dekat sekolah." Kurang dari sedetik Tori menyelesaikan kalimatnya, suara dengkusan sinis terdengar dan juri menyebalkan tadi membetulkan kacamata tebalnya, berkomentar, "Itu disebut akting?"

"Ih, Megan, cantik dia, gimana, sih!" Juri paling kanan, yang terlihat selalu senyum pada Tori, melambaikan tangan seakan memukul udara ke arah juri yang terdengar disebut Megan tadi. Megan terlihat jelas memutar bola matanya bahkan dari tempat Tori berdiri. "Jadiin model make up buat kamu aja kalau gitu, Michelle."

Juri yang berada di tengah berdeham dan Megan juga Michelle segera membenarkan posisi duduk. "Sebentar lagi kita ada audisi untuk salah satu desainer brand lokal, kalau kamu masuk ke kriteria mereka kita akan telepon kamu untuk audisi video. Makasih, ya."

"Apa saya masuk kualifikasi untuk masuk ke manajemen ini?" tanya Tori karena kebingungan. Entah kenapa aura ruangan itu berubah dan dua juri di kanan-kiri berubah posisi duduk menjadi tegak sementara juri di tengah menatap Tori dengan bibir yang sedikit terpisah, kemudian membentuk senyuman kecil tanpa mata yang berubah ramah.

"Terima kasih," jawab pria itu singkat dengan nada yang lebih pelan. Mata Tori melebar dan tahu dirinya harus segera keluar ruangan, dia mengucapkan terima kasih dan mencoba tersenyum lalu terburu-buru meraih pintu.

Tiffany, gadis yang sama-sama sedang audisi dan seumuran dengan Tori menyapanya begitu Tori keluar, bertanya bagaimana dengan audisinya. Tori menyiapkan senyum lagi dan mengatakan audisinya berjalan baik, menyampaikan semoga audisi Fany berjalan lancar sebelum berjalan kaki ke hotelnya yang berada di gedung sebelah.

Kakinya agak pegal begitu Tori sampai di kamar hotel dan merebahkan tubuh di atas kasur yang sudah rapi. Parfum Tori pun sudah lumayan pudar, tergantikan bau matahari Bali saat ia harus berjalan kaki saat matahari masih lumayan terik. Akhirnya Tori memutuskan mandi meski hari baru saja menginjak sore hari.

Saat teleponnya bunyi, Tori terperanjat dan segera keluar dari bak rendam. Hampir tergelincir, Tori mengambil ponsel yang ada di samping wastafel dan melihat telepon masuk dari papanya.

"Gimana audisinya?" tanya Stefan tanpa basa-basi. Tori mengambil napas dan membawa ponselnya bersandar kembali ke bak rendam. Dengan mata terpejam, Tori mengingat kembali kejadian sebelum dirinya keluar dari ruang audisi. "Kayaknya gak diterima, bilangnya, sih, nanti dikabarin."

"Papa bisa telepon LAMDA seka--"

"Papa!" sergah Tori sebelum Stefan bisa melanjutkan sarannya, logat Inggris miliknya muncul dan terdengar tawa Stefan dari seberang telepon. "Aku belum mau ke sana sampai aku punya karier."

Stefan tidak bersuara untuk beberapa saat dan Tori pikir akan diceramahi, tapi Tori malah mendengar senyum ketika Stefan akhirnya berkata, "Ya udah, nanti kalau ada kabar kabarin Papa, ya. Best wishes, My Darling'."

"Thank you. Love you, Papa."

Sewaktu layar ponsel berubah hitam, Tori tersenyum kecil. Benaknya mengulang bagaimana papanya tiba di rumah berlibur mereka di Yogyakarta, saat Tori akan mengambil beberapa pakaian yang ada di sana. Papanya tidak marah dan hanya bertanya apakah Tori sudah makan. Hingga sekarang pun, setelah Tori mengganti nomornya satu minggu sejak melarikan diri, hanya Stefan yang dapat menghubungi dan tahu ke mana harus mencari Tori tanpa diberi tahu. Lebih dari sekedar tahu bahwa keberadaan Tori sebisa mungkin dirahasiakan dari mamanya, Beth.

Baru saja Tori akan menaruh kembali ponselnya, telepon masuk dan senyum Tori kembali mengembang.

Dia harus segera tidur dan bersiap untuk audisinya besok.

Dia harus segera tidur dan bersiap untuk audisinya besok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo!

Ketemu lagi sama Tori di audisi pertamanya, dapet role gak, ya?

Buat cerita ini, ada playlist yang bisa kalian follow untuk dengerin sambil baca ceritanya. Jangan lupa follow mitadoeswrite dan mitadoesread di Instagram untuk bocoran cerita dan update bacaaku, ya ;)

With love,
Mee

But First ... Run, Bride!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang