Chapter 6

318 46 2
                                    

"The whole place seemed to have been stricken with a kind of creeping paralysis - out of beat with the rest of the world, crumbling apart in slow motion."

Joe Gillis - Sunset Boulevard

Pekerjaan pertama Tori tidak berjalan lancar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pekerjaan pertama Tori tidak berjalan lancar. Setiap gilirannya, sutradara selalu meminta Tori untuk lebih natural. Tori mencoba lebih rileks, tapi tidak begitu membuahkan hasil. Juga tatapan Will yang seakan menilai gerak-geriknya sepanjang proses syuting tidak membantu. Namun, setelah itu, Will berbicara pada Marco dan Marco memberinya beberapa petunjuk, barulah Tori mendapatkan beberapa adegan yang dianggap layak oleh sutradara.

"Makan malam dengan saya."

Tori berbalik di tengah tangannya yang sedang mengecek isi tas, mencari ponselnya. Seorang fotografer yang ada di set meminta kontaknya untuk kemungkinan photoshoot. Tori hanya bisa menatap Will untuk beberapa detik, kemudian tersadar bahwa Will tidak mengajaknya. Itu hanya kalimat berita. Menahan geraman lelahnya, Tori hanya meminta Will untuk menunggu sebentar sebelum menyerahkan kartu nama serta pamit kepada kru yang ada di sana. Meski jelas hampir semua tidak menanggapi, jelas karena Tori bukan siapa-siapa di tempat itu.

Begitu sampai di tempat parkir, Tori menyadari sesuatu. "Marco?"

"Dia ada jadwal lain hari ini."

"Will gak anter dia?" tanya Tori pada Will dengan nada bingung. Will tertawa kecil sembari menjawab, "Kenapa harus? Do you think I'm his manager or ... oh, you do think I'm his manager."

Realisasi di wajah Will membuat Tori lebih bingung dari sebelumnya. "Kamu bukan manajer Marco?"

Will hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyum dan menggelengkan kepala. "I'm starving, let's talk about it over dinner."

Perjalanan selama satu jam itu dipenuhi keheningan, dengan Will yang fokus pada jalan di depan mereka dan Tori yang memikirkan bagaimana hasil syuting tadi. Sutradara dalam produksi kali ini tidak galak, tetapi entah kenapa, meski berperilaku sopan, Tori rasa pria paruh baya itu tidak begitu menyukainya. "Kamu gak perlu terlalu pusing soal hasil syuting hari ini, produksinya pilih editor yang bagus, jadi akting jelek kamu bisa tertolong."

Tori terlalu terkejut dengan penghinaan tersebut, bahkan untuk bereaksi apa pun, hanya menatap melewati buku menu yang dipegangnya. Lalu, saat kembali pada kesadarannya dan akan bicara, Will menekan bel dan menyebutkan pesanannya begitu pramusaji tiba di meja mereka. "Ah, iya, tambah gintoki satu. Kamu gimana, mau pesan minum?"

"Salmon sashimi aja ... dan sparkling water. Saya gak minum alkohol. Thanks." Pria di depan Tori berterima kasih pada pramusaji dan menyerahkan buku menu.

"Shame, they make pretty good cocktails."

Tori tidak berkomentar untuk beberapa lama sebelum mengungkit perkataan Will, "You said my acting is horrendous."

"I said ugly, not bad." Tori terdiam, mencoba menjaga emosinya. "What I'm saying is that, akting kamu gak enak dilihat. Makanya Pak Putra minta kamu untuk lebih natural, walau wajah kamu bikin semuanya tolerable."

"Maksud Anda?"

"Kamu gak cocok dengan approach yang kamu pakai sekarang, makanya kelihatan jelek. You were too calculating." Minuman milik Will sampai dan pria di hadapan Vittoria meminum koktail miliknya sebelum melanjutkan, "Akting kamu gak buruk per se, but you've got this naive nature, so to speak. That's why being calculative doesn't fit you."

Tori mencoba mencerna masukan dari Will. Ketika proses syuting tadi, dia berperan sebagai salah satu wanita yang tidak sengaja berkenalan dengan Marco, kemudian Marco mencari media sosial Tori lewat mesin pencari dari brand lain dan kesulitan. Setelah Marco menggunakan mesin pencari terbaru dari Panels yang memiliki tampilan lebih mudah dan hasil pencarian akurat, barulah Marco bisa menemukan akun media sosial milik Tori.

Hal yang menjadi masalah adalah sutradara terus meminta Tori bersikap lebih menarik, "Muka kamu udah sangat menarik, Tori. Coba follow itu ke body language kamu. Bikin Marco ingin cari kamu di situasi itu."

Tori sudah mencoba menjadi lebih menggoda, lebih anggun, lebih misterius, tapi dari semua percobaan karakter yang Tori buat, sutradara hari itu tetap tidak puas dan meminta retake. Hingga Will menepuk pundah sutradara dan meminta istirahat lalu meminta Marco menghampirinya dengan dua jari. Mereka berbicara singkat sebelum Marco kembali ke set dan berkata, "Inget feeling sewaktu kamu ketemu Will dan saya di lobi rumah produksi minggu lalu? Act with that energy, tapi kali ini bicara sama saya, bukan Will."

Itu adalah hal terakhir yang Vittoria dengar dari Marco hari itu karena tidak lagi ada retake. Tori tidak sepenuhnya paham apa yang terjadi saat itu dan kenapa sutradara memutuskan Tori sudah cukup menarik dalam versi yang seperti itu.

"Naive?" tanya Tori, meminta penjelasan Will.

"Ya, naive. Mudah diperalat dan ditipu. Vulnerable," jelas Will santai dan lanjut menghabiskan setengah koktail miliknya seakan yang baru saja dikatakannya bukanlah hal yang mengerikan. Tori mendengus jijik, "And that's attractive?"

Mungkin tersadar bahwa Tori merasa tersinggung, Will menaruh gelasnya dan mengangkat kedua tangan seakan Tori menodongkan pistol padanya. "Itu yang targeted audience dari iklan ini anggap menarik. Kalau dikemas secara realistis tanpa romantisasi, peran Marco gak lebih dari seorang stalker."

"That's such rubbish!" Tori kesal sekaligus muak ketika tersadar sisi lain dari naskah yang baru saja diperankannya.

"A very posh thing for you to say," ujar Will sambil tertawa mendengar umpatan Tori, lalu lanjut berkomentar, "but welcome to real life, Sweetheart."

Right, the big question, is it done? Have I finished the story?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Right, the big question, is it done? Have I finished the story?

Maybe.

Cukup lama kalian menunggu, my apologies. Inginnya ada alasan bagus kenapa butuh waktu selama ini, tapi gak ada, satu pun. Life goes on, shit happens, and I go back to reading and writing by the end of the day.

Somehow, it's all that matters.

Aku lagi baca The Woman in White oleh Wilkie Collins sewaktu nulis ini. What about you?

With love,
Mee

But First ... Run, Bride!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang